Rabu, 18 Maret 2009

SIKAP DAN PANDANGAN IMAM GHOZALI TERHADAP ILMU KALAM

P E N D A H U L U A N

Dalam khazanah intelektual Islam, nama Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghozali at-Thusi tidaklah asing dan bahkan amat diperhitungkan. Ulama besar yang mendapat gelar Hujjatul Islam ini tidak diragukan lagi telah memberikan kontribusi yang amat besar dalam membina semangat keilmuan dan dorongan berfikir kritis dalam tradisi intelektual kaum muslimin.
Pribadinya yang cerdas, kritis, dan pola pikirnya yang brilian menjadikan sosok al-Ghozali kadang tampil dengan banyak kontroversi.
Al-Ghozali yang oleh gurunya--Imam al-Juwaini—di juluki Bahr Mughriq ini adalah seorang tokoh besar dikalangan para teolog Islam, bahkan mungkin yang terbesar diantara mereka. Dia telah memperkuat pendapat-pendapat Asy’arisme dan Ahlussunnah; dan mencoba mewarnai ilmu kalam dengan sufisme, setelah dia menguasai aliran rasional dan pemikiran-pemikiran filosofis. Meskipun dia berusaha mengendalikan orang awam dari memasuki kalam (dengan karyanya al-Iljam) dan pendapatnya agar orang bersifat moderat dalam aqidah (karyanya : al-Iqtishad), dia sampai pada pemikiran-pemikiran teologi yang dalam, terinci, rasional dan filosofis. Meskipun dia mengungkapkan kerancuan para filsuf (dengan karyanya : al-Tahafut) dan telah memukul mereka dengan pukulan bertubi-tubi, namun dia membuka pintu bagi masuknya filsafat ke dalam teologi; sehingga para teolog sesudahnya—seperti an-Nasafi dalam “al-Aqa’id” dan al-Iji dalam “al-Mawaqif”—mengkaji teologi dengan mengikuti apa yang telah dilakukannya.[1]
Gambaran diatas menunjukkan kerumitan sosok al-Gozali. Beliau pun sering dihujat dan dituding sebagai penyebab kebekuan dan kemunduran tradisi Islam karena pemikiran tashawwuf-nya, dianggap sebagai orang yang plin-plan dalam berpendapat serta berbagai cibiran sinis lainnya. Namun semua itu tidaklah membuat nama mujaddid Islam yang berhasil mempertemukan dua aliran besar yang selalu berseteru, sufisme dan teologi—itu menjadi tenggelam. Semua itu dikarenakan masih kurangnya pemahaman mereka terhadap pola pikirnya secara menyeluruh.
Dalam makalah ini, penulis mencoba menguraikan sosok pribadi al-Ghozali yang penulis batasi hanya berkenaan dengan sikap dan pandangannya terhadap ilmu Kalam dimana agar mempermudah pembaca dalam mengkaji, maka penulis akan bagi dalam beberapa sub pokok bahasan, sebagai berikut :
1. Terminologi kalam
2. Materi Kalam
3. Fungsi Kalam
4. Metodologi Kalam
5. Hukum mempelajari Kalam

SIKAP DAN PANDANGAN AL GHOZALI
TERHADAP ILMU KALAM

1. Terminologi kalam
Menurut Ibnu Khaldun (w. 806 H/1406 M), ilmu Kalam didefinisikan sebagai “Ilmu yang mengandung perdebatan tentang akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional, dan penolakan terhadap ahli bid’ah yang menyeleweng dari faham salaf dan ahlussunnah”.[2]
Munculnya terminologi Kalam ini, menurut al-Ghozali dalam kitabnya Al-Munqidz, dipandang berawal dari para pemikir ilmu tauhid yang mula-mula berpegang pada ayat-ayat al-Qur’an, lalu dengan hadits-hadits Nabi Muhammad, kemudian dengan dalil-dalil rasional dan argumen-argumen silogisme dari logika filsafat seperti jauhar [substansi] dan ‘aradh [aksiden] tetapi tidak dengan pengertian semula. Para pemikir tersebut banyak berbicara tentang argumen-argumen rasional disekitar obyek-obyek material ilmu tauhid, karena itulah mereka di sebut Mutakallimun [orang-orang yang banyak berbicara]. Dari sinilah lahir istilah kalam dalam ilmu tauhid.[3]
Bagi al-Ghozali, ilmu Kalam tidaklah identik dengan ilmu Tauhid. Karena itulah di dalam Ihya’ nya, al-Ghozali menyesalkan adanya pergeseran istilah dari tauhid kepada Kalam. Tauhid yang berarti mengesakan Allah, merupakan inti akidah Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Sedangkan kalam, yang berarti perkataan, hanya merupakan cara yang banyak dipergunakan dalam membahas masalah-masalah akidah. Proses pergeseran terminologi ini bermula dari adanya sekelompok ahli dialektik dibidang akidah yang mengaku sebagi ahl al-‘Adl wa al-Tauhid [pendukung keadilan dan ke-esa-an Tuhan] sehingga mereka yang disebut sebagai Mutakallimun [ahli kalam] itu juga dianggap sebagai ulama’ tauhid. Padahal isi doktrin tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan dihayati oleh umat periode pertama [salaf] sama sekali berbeda dari pengertian kalam yang sudah diidentikkan dengan tauhid itu, malahan kalau dalam pengertian sebagai pembahasan masalah-masalah akidah dengan cara dialektis rasional merupakan suatu bentuk yang tidak dikenal, bahkan bibit pertumbuhan yang menjurus ke sana sudah ditentang oleh umat Islam periode pertama. [4] Pengertian tauhid yang dipahami umat Islam pada periode pertama tidak tertampung sepenuhnya dalam fungsi ilmu kalam. Ilmu tauhid memiliki pengertian yang jauh lebih luas daripada hanya sekedar ilmu kalam.
2. Materi Ilmu Kalam
Ilmu Kalam, menurut al-Ghozali, hanya merupakan bagian daripada ilmu tauhid yang menjadi salah satu dari dua macam ilmu syariat berkenaan dengan pokok agama [Ushuluddin]. Di dalam Risalat al-Laduniyyah, al-Ghozali menjelaskan bahwa ada tiga obyek material ilmu tauhid, yaitu
· Allah dengan segala sifat-sifat-Nya
· Kenabian dengan segala kaitannya
· Hari akhir dengan segala kandungannya,
Ketiga hal tersebut merupakan materi ilmu Tauhid yang wajib diimani dimana ilmu yang membahas pokok-pokok keimanan ini dinamakan ilmu tauhid. Sedangkan kalam, oleh al-Ghozali, dipandang hanya sebagai cara atau metode yeng banyak dipergunakan dalam membahas masalah pokok-pokok keimanan [akidah]. Jadi, ilmu tauhid adalah inti pembahasan akidah Islam sedangkan ilmu kalam merupakan metode pembahasannya.
Adanya pergeseran istilah dari tauhid kepada kalam menjadikan timbulnya kekaburan makna term tauhid dan kalam dalam pemahaman kaum muslimin sehingga banyak terjadi kekeliruan dengan menganggap antara tauhid dan kalam adalah identik. Hal ini perlu diluruskan sebab pengertian dan materi tauhid yang yakini oleh umat Islam periode pertama [salaf] tidak sepenuhnya tertampung dalam fungsi kalam sesuai dengan konsepsi al-Ghozali.
3. Fungsi Ilmu Kalam
Al-Ghozali berpendirian bahwa kalam hanya bisa digunakan untuk menghadapi tantangan terhadap akidah yang telah dianut oleh umat Islam, menghadapi ahli-ahli bid’ah yang berusaha memalingkan umat dari akidah yang benar.
Kalam tidak dapat digunakan untuk menanamkan akidah yang benar kepada umat yang belum menganutnya, apalagi untuk menuntut orang agar bisa menghayatinya.[5] Bentuk-bentuk dialektik dengan dalil-dalil rasional seperti yang digambarkan dalam karya-karya kalam tidak bisa menanamkan akidah yang benar kepada anak-anak yang baru belajar ataupun orang-orang Islam yang sehari-harinya selalu disibukkan oleh kerja atau kehidupan mereka, karena mereka merasa berat untuk bisa menyerap segala argumen yang rasional dan filosofis itu. Begitu pula kepada orang-orang yang sudah menganut paham yang mau dibantah, bentuk dialektis tersebut juga tidak bermanfaat karena akan ditolak dengan dasar fanatisme golongan.[6]
Meskipun demikian, al-Ghozali tetap mengakui pentingnya eksistensi dan tujuan ilmu kalam serta peranannya bagi masyarakat Islam, yakni membela kepercayaan relegius komunitas dengan menolak kesesatan bid’ah serta menghilangkan keraguan dan kerancuan berkenaan dengan kepercayaan itu. Dia bahkan memuji Mutakallimun dengan meng-gambarkan mereka sebagai orang-orang yang diberi ilham oleh tuhan untuk mem-perjuangkan ortodoksi dengan suatu diskusi sistematik [ kalam] yang dirancang untuk menyingkap tipu muslihat yang diperkenalkan oleh para inovator [ahli bid’ah] yang bertentangan dengan ortodoksi tradisional.[7] Ilmu ini dapat dijadikan sebagai obat terakhir terhadap penyakit akidah yang di derita orang awam yang tak bisa lagi diobati dengan cara lain[8] walaupun hal ini tidaklah mencukupi untuk mengobati penyakit yang pernah ia derita.
4. Metodologi Kalam
Sikap kritis al-Ghozali juga ditunjukkan pada metodologi yang biasa digunakan oleh Mutakallimun. Menurut al-Ghozali, mereka banyak terpengaruh oleh filsafat dalam pembahasan Kalam. Kaum Mutakallimun mengandalkan premis-premis [muqaddimat] yang mereka ambil alih dari lawan mereka [dalam hal ini adalah para filsuf] lantas mereka terima, baik dengan jalan taklid, berdasarkan ijma’ ataupun dengan penerimaan sederhana yang dijabarkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Kenyataan ini dikarenakan kurangnya perangkat metodologi yang dimiliki kalam untuk melawan para penentang intelektualnya sehingga mereka mengadopsi unsur-unsur filsafat dalam mengetengahkan argumentasi kalamnya. Dalam hal ini, sebenarnya al-Ghozali tidak menentang peminjaman premis-premis mereka oleh para Mutakallimun, akan tetapi penerimaan premis-premis mereka secara membabi buta [taklid] dengan tanpa melalui pemikiran kritis terlebih dahulu amat tidak disukai. Disamping itu, pemakaian akal dalam ilmu kalam belum dilakukan sampai batas kemampuan maksimalnya. Al-Ghozali menilai masih banyak ruang bagi pengembangan metodologi kalam yang belum tersentuh.
Selanjutnya, al-Ghozali juga memandang kaum Mutakallimun pada masanya begitu terpaku pada otoritas-otoritas pendahulunya, seperti al-Asy’ari dan al-Baqillani, sebagaimana dipaparkan dalam Faishal al-Tafriqat bain al-Islam wal Zandaqah dimana al-Ghozali mengecam mereka yang menyatakan bahwa “menyimpang dari doktrin al-Asy’ari—bahkan hanya selebar daun kurma—adalah tidak beriman [kufr] dan bahwa berbeda darinya [al-Asy’ari] sekalipun dalam soal remeh adalah sesat dan tercela”.[9]
Begitu juga penekanan Mutakallimun pada ketidak konsistenan logis dalam argumen-argumen penentangnya sebenarlah tidaklah perlu. Akan tetapi yang lebih penting bagi mereka adalah seharusnya mereka memusatkan diri pada penyangkalan atas doktrin-doktrin mendasar dari para penentangnya, jika doktrin-doktrin tersebut dianggap bid’ah.
Dalam pandangan al-Ghozali, metodologi kalam yang terdiri dari kepercayaan [iman] dan rasiosinasi itu telah dicemari oleh silogisme palsu. Ia menemukan beberapa cacat dalam pemakaian silogisme oleh para Mutakallimun dan untuk memperbaiki cacat tersebut, disusunlah beberapa karyanya tentang logika aristotelian dalam cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh seorang fuqaha’ dan teolog.
Metodologi Kalam menurut al-Ghozali memiliki keterbatasan yang inheren sebagai alat untuk mencari pengalaman spiritual secara langsung [kasyf] dan pencarian tentang sifat hakiki berbagai hal. Ilmu Kalam tidak memusatkan perhatiannya terhadap pengetahuan intuitif [kasyf] tentang realitas dan pembahasannya atas sifat hakiki berbagai hal kurang mendalam karena memang bukan merupakan tujuan ilmu itu sendiri.[10] Dengan demikian, al-Ghozali menilai bahwa Kalam sebagai suatu ilmu yang tak dapat mengungkap hakekat kebenaran obyek-obyek kepercayaannya secara tuntas sebagaimana tertera dalam Ihya’[11].
5. Hukum mempelajari Kalam
Sebelum mengemukakan pendapatnya tentang hukum mempelajari ilmu Kalam, al-Ghazali di dalam Ihya’ nya terlebih dahulu menyebutkan dua macam pendapat yang dipandangnya ekstrem (Ghulluw dan ifrath) berkenaan dengan kalam.
Pertama, golongan yang berpendapat bahwa Kalam hukumnya haram bagi kaum muslimin karena dianggap sebagai bid’ah dalam agama. Golongan ini terdiri daripada para ahli hadits, termasuk diantaranya para pendiri madzhab fiqih seperti asy-Syafi’i, Malik bin Anas, dan Ahmad ibn Hambal. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa Kalam hukumnya wajib bagi setiap muslim dan dianggap sebagai amal paling utama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka adalah kaum Mutakallimun.
Menurut al-Ghazali, memberikan penilaian terhadap Kalam sebagai suatu hal yang tercela dalam segala situasi atau sebagai hal yang perpuji dalam setiap kondisi adalah suatu penilaian yang keliru. Dalam pandangannya, hukum mempelajari Kalam ditentukan oleh keadaan pribadi atau situasi dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat. Al-Ghozali telah menggunakan metode pendekatan fiqhiyyah dalam menentukan boleh-tidaknya mempelajari Kalam.
Menurut al-Ghazali, ada dua alasan sesuatu dianggap haram. Pertama, karena esensinya (Li Dzatihi), seperti haramnya arak (karena memabukkan) dan bangkai (karena telah mati). Kedua, karena faktor lain diluar dirinya (Li Ghoirihi) seperti haramnya jual beli pada waktu adzan sholat jum’at dikarenakan adanya mudlarat yang ditimbulkan.
Mudlarat menurut al-Ghazali ada dua macam. Pertama, mudlarat secara muthlak, baik besar maupun kecil, seperti minum racun, dan kedua, mudlarat yang timbul karena susautu yang dilakukan secara berlebihan,seperti minum madu. Mudlarat yang pertama menjadikan hukumnya haram secara muthlak, sedangkan yang kedua hukumnya adalah boleh. Dengan demikian, penentuan hukum dalam hal-hal tersebut diatas adalah bersifat kondisional, yaitu sesuai dengan kadar mudlarat yang diakibatkan.[12]
Menurut al-Ghazali, penentuan tersebut juga berlaku terhadap ilmu Kalam. Karena aspek mudlaratnya, Kalam bisa haram, tetapi karena aspek manfaatnya Kalam bisa mejadi wajib. Hal ini sesuai dengan keadaan dan kondisi obyeknya.
Mudlarat kalam bagi i’tikad yang sudah benar, menurut al-Ghazali, ada dua, yaitu : Pertama, mengesankan ketidak pastian, keraguan, menggoyahkan akidah dan melonggarkan keyakinan yang sudah mantap. Kedua; Bisa melanggengkan akidah yang bid’ah bagi penganutnya karena dengan Kalam mereka tambah fanatik terhadap akidah yang dipeluk meskipun tidak benar.
Adapun manfat Kalam menurut al-Ghazali hanya satu, yaitu mengawal akidah yang benar yang sudah menjadi i’tikad orang awam dan memeliharanya dari gangguan ahli bid’ah dengan argumen rasional-dialektis.
Dengan memperhatikan hal tersebut, al-Ghazali merinci hukum mempelajari Kalam sesuai dengan keadaan obyektif pada pribadi seseorang atau pada kondisi sosialnya. Karenanya beliau mengharamkan memberi Kalam kepada orang-orang awam, baik yang sudah berakidah dengan benar maupun yang berakidah bid’ah karena dalam hal ini akan menimbulkan mudlarat, yaitu : Pertama, bisa menggoyahkan akidah dan kedua, bisa melanggengkan kebid’ahan akidah mereka.
Dalam situasi yang lain, al-Ghozali membolehkan (bahkan mewajibkan) Kalam kepada mereka yang berakidah benar, lalu diragukan oleh argumentasi ahli bid’ah dan tidak ada jalan lain untuk menyadarkannya kecuali dengan argumentasi Kalam.
Berkenaan dengan kondisi sosial, al-Ghozali melarang Kalam diberikan kepada masyarakat yang tidak dikhawatirkan adanya gangguan dan intimidasi ahli bid’ah terhadap akidah yang benar. Akan tepai bila terjadi ke khawatiran disebabkan oleh merajalelanya ahli bid’ah disuatu negeri, maka Kalam boleh diberikan kepada anak-anak muslim sebagai benteng mereka bagi pengaruh atau intimidasi ahli bid’ah dengan materi Kalam yang disesuaikan menurut tingkat keraguan yang mungkin ditimbulkan dan kemampuan penyerapan materi tersebut.
Keberadaan ahli Kalam dalam komunitas muslim tetap muthlak diperlukan sebagai benteng pertahanan manakala ada serangan dari ahli bid’ah terhadap akidah yang benar Akan tetapi hal tersebut tidaklah berlaku segenap kaum muslimin. Al-Ghazali telah menegaskan pandangannya tentang hal ini dalam Iqtishad Fil I’tiqad dengan menegaskan bahwa hukum mempelajari Kalam adalah Fardlu Kifayah. Setiap negera harus memiliki ahli Kalam karena itu Kalam harus diajarkan secara khusus dalam rangka pengkaderan, tidak boleh diajarkan secara luas kepada masyarakat umum. Dan orang yeng berhak mendapatkan pelajaran Kalam ini adalah mereka yang memenuhi tiga persyaratan berikut :
1. Seorang yang bermental ilmu, tidak terlibat dengan segala rupa usaha yang menyibukkan,
2. Berotak cerdas, dan fasih berbicara,
3. Mempunyai karakter yang Relegius, bertakwa dan membangun..
Orang yang tidak memenuhi ketiga persyaratan diatas, sulit diharapkan bisa sukses dalam mempelajari Kalam dan berhasil menunaikan tugasnya sebagai ahli Kalam dalam masyarakat.[13]
Sementara itu didalam Iljaam al-Awwam ‘an Ilm al-Kalam, al-Ghazali melarang orang awam dari beberapa hal, seperti : Menakwilan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang dianggap mutasyabbihat, memperdalam pembahasan masalah aqidah, mempelajari argumentasi-argumentasi rasional selain dari ak-Qur’an karena dianggap sebagai bid’ah yang madzmumah (tercela) dan bertentangan dengan sunnah yang terpuji (mahmudah). Hal ini berlaku pula bagi para ulama’.
Namun mengenai kebid’ahan Kalam bagi ahlinya, al-Ghazali merincinya dengan menyatakan bilamana hal tersebut dimaksudkan untuk memukul dan membabat habis lawan. Sebab hal tersebut menyalahi sunnah ( dianggap bid’ah). Apabila dalam pertukaran pikiran (mudzakarah) mereka bersifat saling tolong-menolong dalam pembahasan terhadap sumber-sumber syariat, maka hal tersebut termasuk sunnah golongan salaf (artinya bukan bid’ah) karena para shahabat pun saling bertukar pikiran sesama mereka entang masalah Fiqih. Adapun penggunaan konsep-konsep baru dengan maksud menjelaskan hal-hal yang dibenarkan, maka hal tersebut diperbolehkan.[14]
Dari uraian diatas, ada tiga esensi pendapat al-Ghazali berkenaan dengan hukum mempelajari Kalam, yaitu :
1. Kalam tidak boleh (haram) diberikan bagi kepada orang umum (awam)
2. Kalam bisa (boleh) dimanfaatkan dalam situasi yang amat mendesak, baik untuk kepentingan pribadi maupun masyarakat.
3. Ahli Kalam tetap diperlukan dalam suatu masyarakat Islam.[15]
KESIMPULAN
Dari berbagai hal yang penulis paparkan diatas, maka dapat disimpulkan sikap dan pandangan al-Ghozali terhadap Kalam sebagaimana sebagai berikut :
1. Fungsi kalam adalah mengawal akidah Islam yang benar dari serangan ahli bid’ah dengan menggunakan dalil-dalil rasional.
2. Dalam pandangan al-Ghozali, metodologi kalam yang terdiri dari kepercayaan [iman] dan rasiosinasi itu telah dicemari oleh silogisme palsu. Ia menemukan beberapa cacat dalam pemakaian silogisme oleh para Mutakallimun dan untuk memperbaiki cacat tersebut, disusunlah beberapa karyanya tentang logika aristotelian dalam cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh seorang fuqaha’ dan teolog.
3. Al-Ghozali tetap mengakui pentingnya eksistensi kalam dan peranannya dalam masyarakat Islam, walaupun Kalam tidak dapat memuaskan kebutuhan dirinya. Kalam dapat dijadikan sebagai obat terakhir terhadap penyakit akidah yang diderita orang awam yang tidak dapat lagi diobati dengan cara lain.
4. Al-Ghazali merinci hukum mempelajari Kalam sesuai dengan keadaan obyektif pada pribadi seseorang atau pada kondisi sosialnya. Beliau mengharamkan memberi Kalam kepada orang-orang awam Dari uraian diatas, ada tiga esensi pendapat al-Ghazali berkenaan dengan hukum mempelajari Kalam, yaitu
(1). Kalam tidak boleh (haram) diberikan bagi kepada orang umum (awam),
(2). Kalam bisa (boleh) dimanfaatkan dalam situasi yang amat mendesak, baik untuk kepentingan pribadi maupun masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Al Ghozali, Ihya’al-Ulum al-Din, juz I, Darul Fikr, Bairut, 1980.
Charless Issawi, MA, An Arab Philosopy of History : Selection from the Prolegonema of Ibnu Khaldun of Tunia (1332-1406); Filsafat Ibnu Khaldun tentang Sejarah: Pilihan dari Muqaddimah karya Ibnu Khaldun dari Tunia (1332-1406), Penyalin bahasa : Dr. A. Mukti Ali, Tinta Mas, Jakarta, 1962.
DR. HM. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghozali : Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Cet. I, jogyakarta, 1996.
Osman Bakar, Hierarki Ilmu : Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Cet. I, Mizan, Bandung, 1997.

[1] Lihat Ibrahim Madkour, Fi’l falsafat al-Islamiyah, dalam Ghoazali al-Filsuf, Dar al-Ma’arif, Mesir,tt, hal 212
[2] Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah,
[3] DR. HM. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghozali : Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Cet. I jogyakarta, 1996, hal.81.
[4] Ibid, hal. 82.
[5] Ibid, hal. 71.
[6] Ibid, hal. 73
[7] Osman Bakar, Hierarki Ilmu : Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Cet. I, Mizan, Bandung, 1997, hal 209.
[8] DR. HM. Zurkani Jahja, Op.Cit, hal 73.
[9] Osman Bakar, Op.cit, hal. 211.; Lihat pula Mc.Carthy, Freedom and Fulfillment, Boston, 1980 hal. 146.
[10] Ibid, hal. 211.
[11] Al Ghozali, Ihya’, juz I, Darul Fikr, Bairut, 1980, hal 167.; DR. HM. Zurkani jahja, Op.cit, hal. 94.
[12] Ibid, hal 167.
[13] Ibid, hal. 170-171.
[14] Dr. Zurkani Jahja, Op.Cit, hal. 93.
[15] Ibid, hal. 94.

1 komentar: