Sabtu, 21 Mei 2011

AS-SUNNAH QOBLA TADWIN :

Jumat, 20 November 2009
AS-SUNNAH QOBLA TADWIN :
Periwayatan dan Perkembangan Hadis Rasul sebelum dilakukan Kodifikasi pada Masa Umar ibn Abd al-Aziz

Oleh : KHOIRUL FALIHIN


PENDAHULUAN
Sunnah adalah salah satu wahyu tuhan yang disampaikan Allah kepada nabi-Nya. Al-Qur’an telah menandaskan bahwa Rasul tiada berkata menurut hawa nafsunya, tetapi apa yang beliau katakan adalah wahyu yang diberikan.[1] Dengan demikian, sunnah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syar’i dan mengikutinya hukumnya wajib, karena Allah swt telah memerintahkan kita untuk mentaati Rasul sebagaimana mentaati Allah sendiri, baik terhadap perintah-perintahnya maupun larangannya.[2] Namun, fakta sejarah menunjukkan ada sebagian kelompok di kalangan umat Islam yang secara terang-terangan menolak hadis (as-sunnah) sebagai dasar pokok hukum agama (inkarus-sunnah), baik menolak secara keseluruhan, ataupun menolak sebagian darinya. [3]
Mereka yang berpaham inkarus-sunnah ini, seperti dinyatakan M. Syuhudi Ismail dalam Metodologi Penelitian hadis (1991), umumnya orang-orang yang tidak memiliki pemahaman yang luas tentang bahasa arab, ul}umut-tafsir, ulumul hadis, khususnya berkenaan dengan sejarah penghimpunan hadis, pengetahuan islam, dan bahkan dasar-dasar pokok dari pengetahuan islam.
Makalah ini membahas secara khusus tentang metode periwayatan hadis dan perkembangannya sebelum dilakukan kodifikasi hadis oleh Imam Syihab Az-Zuhri[4] (w.124 H) pada kurun awal abad kedua hijriah, dimasa pemerintahan khalifah Umar ibn abd. Al-Aziz ( 99 – 101 H.).
Isi makalah ini penulis bagi dalam 3 (tiga) segmen sebagai topik utama, dan masing-masing segmen memiliki sub-topik yang dapat diuraikan sebagai berikut :
HADIS PADA MASA RASULULLAH SAW
A. Metode Dan Transmisi Hadis (As-Sunnah) Di Masa Rasul
B. Tradisi Tulisan (Al-Kitabah) Di Masa Rasul
C. Penyebaran Hadis Di Masa Rasul

HADIS PADA MASA SAHABAT
A. Kontribusi Sahabat Dalam Periwayatan Hadis
B. Membatasi Hadis Dan Menyedikitkan Riwayat
C. Penulisan Dan Kumpulan Hadis (Sahifah) Di Masa Sahabat
D. Penyebaran Hadis Di Masa Sahabat
E. Rihlah (Perjalanan Ilmiyah) dalam mencari Hadis Rasul

HADIS PADA MASA TABI’IN
A. Peran Sahabat Dalam Transmisi Hadis Di Masa Tabi’in
B. Asas Pendidikan (Tarbawi) Hadis Di Masa Tabi’in
C. Penulisan Hadis (Al-Kitabah) Di Masa Tabi’in
D. Penyebaran Hadis Di Masa Tabi’in

HADIS DI MASA RASULULLAH SAW
A. METODE DAN TRANSMISI HADIS (AS-SUNNAH) DI MASA RASUL
Rasulullah saw menggunakan 3 (tiga) metode dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu : (1) Pengajaran secara verbal, (2) Media tulisan, dan (3) Praktek atau demonstrasi langsung [5]
1. Pengajaran hadis oleh Rasul secara verbal (secara lisan)
Rasul biasa mengajarkan hadis-hadisnya dengan menggunakan pengajaran verbal (metode safawi), dan untuk memperkuat hafalan dan pengertian mereka, Rasul mengulangi hal-hal yang dianggap penting hingga tiga kali. Selanjutnya, beliau mendengarkan kembali apa yang telah dipelajari para sahabat.[6]
Para sahabat biasa menyempatkan diri berdiskusi tentang hadis yang telah diterima dari Rasul ketika beliau beranjak dari majelis sampai mereka benar-benar menghafalnya dengan baik, seperti dinyatakan sahabat Anas bin Malik[7]. Bahkan, ada sebagian sahabat yang sengaja mencurahkan waktunya untuk menghafal hadis Rasul, seperti yang dan dilakukan oleh Abu Hurairah r.a. :[8]
2. Pengajaran hadis oleh Rasul dengan media tulisan
Seluruh surat (risalah) Rasul yang dikirim kepada para Raja, pembesar negeri dan kepala suku serta gubernur muslim dapat dikategorikan sebagai hadis yang menggunakan metode tulisan. Sebagian dari surat-surat beliau ada yang sangat panjang dan memuat hukum legal meliputi zakat, sedekah dan bentuk peribadatan. Sekurang-kurangnya ada 45 buah surat telah ditulis di masa beliau hidup,[9] disamping apa yang beliau diktekan kepada beberapa sahabat, seperti Ali bin Abi-Thalib, beberapa catatan yang dibuat Abdullah bin Amr ibn al-Ash dan perintah Rasul untuk membuat salinan khutbah beliau untuk Abu_Shah, seorang penduduk Yaman.[10]
3. Pengajaran hadis oleh Rasul dengan demontrasi langsung
Rasul mengajarkan tata-cara wudlu, shalat, berpuasa dan manasik haji dengan demonstrasi langsung. Sepanjang hidup beliau, Rasul telah memberikan pelajaran praktek dengan sempurna, petunjuk yang jelas untuk mengikuti tindakan beliau, semisal sabda beliau :”Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”[11] atau sabda beliau : ”Belajarlah dariku tentang ritual manasik haji” [12].
Untuk menjawab beberapa pertanyaan, Rasul biasa meminta si penanya untuk tinggal dan belajar hadis darinya dengan menunjukkannya dalam praktek langsung.[13]
Ketiga metode sebagaimana termaktub di atas, didapatkan para sahabat melalui 4 (empat) model pengajaran dalam pewarisan (transmisi) hadis Rasul, yang dapat diurai sebagai berikut :
1. Majelis ilmu yang dilakukan oleh Rasul bersama para sahabat
Para sahabat sangat antusias untuk mengikuti majelis Rasul saw, di sela-sela kesibukan mereka dalam berkerja, bahkan jika salah seorang dari mereka berhalangan hadir karena suatu keperluan, mereka sepakat untuk saling bergiliran datang dan memberikan informasi sepulang dari majelis Rasul agar tidak ketinggalan kabar tentang wahyu, baik al-Qur’an maupun hadis nabi, seperti yang dilakukan Umar ibn Khaththab dengan ibn Zaid :
كنت أنا و جـار لى من الأنصـار فى بني أمية أبن زيــد ، وهي من عـوالي المــدينة ، وكنـّا نتــناوب النزول عــلى رســول الله صلعم ، ينزل يوما ، و أنزل يوما، فـإذا نزلت جـئته بخـبرٍ ذلك اليـوم من الوحي و غيره ، وإذا نزل فعـل مثل ذلك[14]
2. Adanya suatu peristiwa yang terjadi pada diri Rasul, kemudian beliau menjelaskan ketentuan hukumnya.
Penjelasan Rasulullah saw terhadap suatu peristiwa yang dialami langsung oleh beliau menjadi salah-satu sumber pokok dalam penetapan hukum syar’i. Fatwa Rasul, selanjutnya menyebar dikalangan para sahabat. Contoh kasus yang menggambarkan model ini adalah peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra :
أَنَّ رسـول الله صلعم مـرّ برجل يبيع طعـاما فسأله كيف تبيع فأخـبرَه , فأوحي إليه أُدخلْ يدك فيه , فأدخل يده , فإذا هو مبـلوْلٌ , فقـال رسـول الله صلعم} لَيْسَ مِنَّـا مَنْ غَـشَّ[15]{
3. Adanya suatu peristiwa yang terjadi dikalangan sahabat, kemudian mereka bertanya kepada Rasul, dan beliau memberikan fatwa sebagai jawaban dan putusan hukum.
Para sahabat biasa meminta fatwa dan jawaban atas persoalan hukum yang mereka hadapi kepada Rasulullah saw. Contoh kasus yang menggambarkan model ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib r.a.:
كنت رجـلاً مـذاء فكنت أستـحي أن أسأل رَسُـوْلَ اللهِ صلعم لمكان إبنته فأمر المقداد بن الأسواد فسأله يغسل ذكره و يتوضّـأ[16]
4. Kesaksian para sahabat terhadap tindakan yang telah diperbuat Rasul.
Sikap dan tindakan Rasul dalam menghadapi sesuatu tidak luput dari pantauan sahabat dan menjadi salah-satu model dalam penyampaian hadis, contoh kasus adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abd Salim bin Abdillah tentang tindakan Rasul ketika mengantarkan jenazah :
عَنْ عَبْدِاللهِ بن عمرأَنَّه رَأَي رَسُـوْلَ اللهِ صلعم وَ أَبا بكـر و عمـر يمشـون أمـام الخـنازة. [17]
B. TRADISI TULISAN (AL-KITABAH) DI MASA RASUL
Disamping tradisi lisan (safawi), transmisi hadis Rasul kepada para sahabat juga dilakukan dengan metode kitabah (penulisan). Walaupun diketahui adanya larangan langsung dari Rasul terhadap penulisan hadis[18], namun dapat dipahami bahwa larangan tersebut tidak bersifat umum (am) [19]. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa sahabat yang aktif menulis hadis[20] dan memiliki shahifah berisi kumpulan hadis tatkala beliau masih hidup[21]. Rasul juga pernah mengirimkan surat berisi ajakan mengikuti risalah (dien al-Islam) kepada sejumlah kepala suku, pejabat dan kepala negara yang belum memeluk islam[22]
Silang pendapat tentang larangan penulisan (al-Kitabah) hadis dan diperbolehkannya (ijazat al-kitabah), menurut penulis dapat dipahami sebagai berikut : Hadis tentang larangan menulis (al-Kitabah) sunnah riwayat Abu Sa’id Al Hudriy didasari kekhawatiran akan bercampurnya nash, antara kalam Allah (Al-Qur’an) dengan sunnah terjadi pada masa-masa awal perkembangan islam. Setelah Al-Qur’an hampir tuntas diturunkan dan risalah mendekati kesempurnaannya, Rasulullah saw memperkenankan sahabat melakukan penulisan terhadap hadis, hal ini dapat dilihat dari asbab al-wurud al-hadith diperbolehkannya kitabah yang terjadi pada masa-masa akhir kehidupan Rasul saw : (1) Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash masuk islam pada awal tahun 7 H ; (2)Kisah penulisan hadis untuh Abu- Sah, terjadi pada saat pembebasan kota mekah (Fath al-Makkah) di tahun 8 H ; (3) Hadis yang menceritakan bahwa Rasul meminta sahabat menulis ketika beliau sakit terjadi menjelang akhir hayat beliau. Hal ini menguatkan pendapat sebagian ulama’ atas di naskhnya hadis larangan Al-Kitabah dengan kebolehannya[23]
C. PENYEBARAN HADIS DI MASA RASUL
Di masa Rasul, Al-hadith menyebar bersama Kitabullah sejak awal perkembangan islam, di mulai dari sebuah perkumpulan rahasia kaum muslimin di rumah al-Arqam bin Abdi Manaf. Mereka mempelajari hukum islam, kitabullah dan tata-cara ibadah dari Rasul saw, hingga menyebarnya agama islam di seluruh jazirah Arab. Selama itu pula Rasul berdakwah, memberi fatwa, menyampaikan khutbah baik diwaktu senggang maupun sibuk.
Proses penyebaran hadis di masa Rasul tidak lepas dari dukungan berbagai faktor yang dapat diurai sebagai berikut :
1. Semangat Rasul dalam menyampaikan dakwah islam
Rasulullah saw berjuang siang malam berdakwah menyampaikan risalah islamiyah kepada para kabilah dan suku dengan menanggung kesukaran dan kepedihan. Beliau tiada henti berdakwah hingga islam menjadi jaya dan kuatlah daulah al-islamiyah.
2. Karakteristik Islam dan aturan-aturannya yang baru.
Karakteristik agama Islam dan aturan-aturan baru yang dibawa Rasul mampu menarik perhatian dan membuat sebagian umat penasaran, bertanya dan mempelajari ajaran serta hukum dari Rasul. Setelah mendengarkan dakwah rasul, sebagian dari mereka ada yang membenarkan dan menyatakan diri masuk islam, lalu kembali kepada kaumnya untuk menyampaikan apa yang mereka dengar dari Rasul saw.
3. Antusias Sahabat Rasul.
Semangat sahabat dalam mempelajari hadis Rasul begitu tinggi dalam menghafal, menghayati dan mengamalkan hadis Rasul. Mereka juga menyampaikannya kepada para sahabat rasul yang lain dan generasi selanjutnya.
4. Istri-istri Rasul (ummahat al-Mu’minin) memiliki peranan penting dalam penyebaran hadis.
Sebagian wanita muslimah segan untuk bertanya langsung kepada Rasul saw, sehingga mereka menyampaikannya melalui istri-istri beliau yang senantiasa mendampingi Rasul untuk mendapatkan jawaban dan kepastian hukum. Dari para istri Rasul inilah, sahabat muslimah banyak mendapatkan jawaban atas hukum dan informasi berkenaan dengan as-Sunnah.
5. Sahabat di kalangan muslimah.
Sahabat muslimah memiliki pengaruh yang besar dalam melestarikan dan menyebarkan sunnah tidak kalah dengan kaum pria. Mereka sangat antusias mengikuti majelis rasul, dan bahkan, meminta untuk diadakan majelis khusus kaum muslimah agar mereka dapat bertanya tentang urusan mereka dan belajar tentang hukum Islam. [24]
6. Delegasi, utusan dan risalah yang dikirim nabi kepada para kabilah, pejabat dan kepala negara.
Pendelegasian sahabat oleh Rasul setelah perjanjian Hudaibiyah, turut berperan dalam menyebarkan sunnah. Rasul mengutus sebagian sahabatnya ke berbagai wilayah untuk melakukan dakwah islam. Beliaupun berkirim surat kepada beberapa kepala negara tetangga. Delegasi yang dikirim Rasul memiliki peran penting dalam penyebaran hadis mengingat rasul memberikan petunjuk tentang bagaimana cara berdakwah, seperti wasiat yang disampaikan Rasul kepada Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-‘Asy’ari ketika hendak dikirim ke negeri Yaman.[25]
7. Penaklukan Kota Mekkah (Fath al-Makkah) terjadi pada tahun 8 H.
Rasul menaklukan kota mekkah bersama dengan 10.000 kaum muslimin. Sesudah menghancurkan berhala, beliau berkhutbah dihadapan puluhan ribu kaum muslimin dan musyrikin, memaafkan musuh-musuh nabi dan banyak menerangkan tentang hukum islam. Pertemuan dalam fath al-Makkah yang melibatkan kaum muslimin dari berbagai penjuru memberi implikasi yang amat besar bagi tersebarnya dakwah islam, termasuk as-sunnah.
8. Haji perpisahan (Haji Wada’) pada dzul hijjah tahun 10 H.
Rasul melakukan Haji Wada’ bersama serombongan besar umat islam yang mencapai jumlah 90.000 orang.. Ketika wukuf di Arafah, Rasul saw berkhutbah di hadapan kaum muslimin tentang hukum islam, seperti keharaman darah (jiwa) dan harta kaum muslimin, menepati amanah dan lain sebagainya. Khutbah Rasul di haji wada’ merupakan sarana yang paling penting dalam penyebaran sunnah diantara kabilah-kabilah arab, karena khutbah tersebut disampaikan dan didengarkan oleh kaum muslimin dalam jumlah yang sangat besar.
9. Delegasi yang datang kepada nabi sesudah Fath al-Makkah dan Haji Wada’.
Kedatangan delegasi atau utusan dari berbagai kabilah untuk memberikan ba’iat kepada Rasul digunakan oleh beliau untuk menyampaikan pengetahuan tentang islam, nasehat dan petunjuk tentang risalah. Delegasi-delegasi tersebut antara lain : delegasi Dhimam bin Tsa’labah, Delegasi Abd al-Qais, Delegasi Bani Hanifah, al-Tha’i, Kindah, dan delegasi yang lain. Keberadaan delegasi ini turut memberikan pengaruh besar bagi penyebaran dakwah islam dan hadis.[26]
*******
HADIS DI MASA SAHABAT
A. KONTRIBUSI SAHABAT DALAM PERIWAYATAN HADIS RASUL
Tradisi lisan (safawi) dalam mendapatkan pengajaran tentang hadis Rasul terus berlangsung pada masa sahabat, mereka melakukan transmisi hadis dengan jalan sima’i (mendengarkan ucapan) sahabat yang pernah mendapatkan hadis dari Rasulullah saw lalu menyampaikannya kepada sahabat lain secara getok-tular (melalui lisan). Disamping metode yang telah ghalib digunakan masa itu, sebagian kecil sahabat juga mengembangkan tradisi tulisan (al-kitabah). Para sahabat memberikan kontribusi yang amat besar bagi perkembangan tasyrik Islami. Jasa mereka dalam mengumpulkan hadis Rasul yang menjadi sumber rujukan utama setelah al-Qur’an menjadi warisan amat berharga bagi dunia Islam sepanjang masa.
Sejarah telah mencatat beberapa beberapa sahabat utama yang telah memberikan kontribusi perbendaharaan Hadis, seperti : Abu Hurairah (5374 hadis), Ibn Umar ibn Al-Khaththab (2630 hadis), Anas ibn Malik (2286 hadis); ‘Aisyah umm al-Mu’mi-nin (2210 hadis), Ibn Al-Abbas (1660 hadis); Jabir ibn Abdillah (1540 hadis), Abu Sa’id Al-Hudriy (1170 hadis), ibn Mas’ud (748 hadis), Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash (700 hadis), Umar ibn Al-Khaththab (537 hadis), Ali ibn Abi-Thalib (536 hadis), Abu Musa al-Asy’ari (360 hadis), al-Barra’ ibn ‘Azib (305 hadis)[27]
B. MEMBATASI HADIS DAN MENYEDIKITKAN RIWAYAT
Para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis Rasul. Mereka hanya mau meriwayatkan hadis ketika dalam keadaan yang dibutuhkan saja. Hal ini mereka lakukan demi menghindari kekeliruan atau salah tafsir terhadap sumber tasyri’ yang kedua setelah Al-Qur’an[28] dan sebagai penghormatan atas sunnah seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar ibn Al-Khaththab[29]. Tak cukup sampai di situ, dalam meriwayatkan sebuah hadis, para sahabat berupaya menguatkannya dengan kesaksian sahabat lain, seperti tindakan yang diambil Abu Bakar as-shiddiq dalam hadis tentang hak waris bagi seorang nenek yang diriwayatkan ibnu Syihab[30].
Begitu berhati-hatinya para sahabat dalam meriwayatkan hadis, menjadikan masa ini dikenal sebagai periode Tasabbut Wa al-Iqlal min ar-Riwayah (Periode membatasi hadis dan menyedikitkan Riwayat) yang berlangsung di masa khulafaaur-Rasyidin, terutama zaman khalifah Abu Bakar dan Umar ibn al-Khaththab. Kedua khalifah tersebut menerapkan kebijakan yang amat ketat dalam meriwayatkan hadis Rasul. Abu Bakar dan Umar tidak mau menerima hadis jika tidak disaksikan kebenarannya oleh orang lain seperti kejadian yang telah penulis uraikan dari riwayat ibnu Syihab di atas. Khalifah Umar pun menekan para sahabat supaya menyedikitkan riwayat.[31]
Periwayatan hadis pada masa kekhalifahan Uthman bin affan dan Ali bin Abi-Thalib meneruskan ciri dari kedua pendahulunya. Tetapi perkembangan masyarakat waktu itu sudah berbeda dengan waktu sebelumnya. Perkembangan dan perubahan tersebut membawa pengaruh, misalnya, bila di zaman Umar larangan periwayatan hadis dilakukan dengan tegas, maka pada masa Utsman dan Ali larangan itu tidak setegas zaman sebelumnya. Para sahabat sebagai nara sumber hadis tidak lagi hanya bermukim di madinah sebagai akibat kebijakan yang ditetapkan umar yang melarang para sahabat pindah keluar kota tersebut, tetapi mereka terpencar-pencar ke beberapa daerah baru. Akibatnya, penyebaran hadis dan pengembangan riwayat secara lebih jauh mulai tak terhindarkan.[32]
C. PENULISAN DAN KUMPULAN HADIS (SAHIFAH) DI MASA SAHABAT
Penulisan hadis pada masa sahabat telah terjadi semenjak awal masa pemerintahan Khulafaur-Rasyidin . Kala itu, Abu Bakar as-Shiddiq telah menulis hadis dan sunnah yang berkaitan dengan zakat dan shadaqah dan memerintahkan kepada Anas ibn Malik untuk mengutipnya sebagai acuan hukum bagi penduduk Bahrain.[33] Demikian pula pada masa kepemimpinan khalifah Umar ibn al-Khaththab. Beliau pernah berkeinginan mengumpulkan hadis dan menyusunnya menjadi kitab sunnah. Kepada para sahabat, Umar meminta nasehat dan masukan, maka para sahabat pun menyarankan untuk menulisnya. Setelah beristikharah selama sebulan, Umar akhirnya mengurungkan niatnya untuk menulis hadis karena khawatir para sahabat menjadi tersibukkan dengan mempelajari penulisan dan kitab hadis, meninggalkan pedoman dasar kaum muslimin, yakni Kitabullah, dan beliau pun berkata :
إنّى كنت أردت أن أكتـب السنن وإنّى ذكـرت قـوما كـانوا قبـلكم كتـبـوا كتبًا فأكـبوا عليـها وتركـوا كتـاب الله ، و إنّى والله لا ألبــس كتـاب الله بشيءٍ أبـدّا)رواه البيهـقى فى المـدخل[34](
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penulisan (Al-Kitabah) hadis telah terjadi pada masa awal khulafaur Rasyidin, namun bukan merupakan kebijakan resmi negara karena larangan dan diperbolehkannya masih dipertentangkan. dikalangan sahabat[35] . Beberapa sahabat yang diketahui pernah menulis hadis dan diantaranya memiliki sahifah hadis, antara lain : (1) Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash, (2) Abu Bakar[36], (3) Umar ibn Al-Khaththab, (4) Ali ibn Abi-Thalib, (5) Al-Hasan ibn Ali, (6) Abdullah ibn Al-Abbas, (7) Anas ibn Malik, (8) Abu Hurairah, (9) Samurah ibn Jundub, (10) Jabir ibn Abdillah, (11) Abu Umamah al-Bahily, (12) Abdullah ibn Abi ‘Aufa, (13) Mughirah ibn Syu’bah,(14)Abdullah ibn Umar[37]
Adapun Sahifah Hadis yang termasyhur dari kalangan sahabat Rasul adalah As-shahifah al-shadiqah milik Ibn Amr ibn Al-‘Ash, Ar-Risalah milik Samurah ibn Jundab, Shahifah Jabir milik Jabir ibn Abdillah dan Shahifah Abu Hurairah.[38]
D. PENYEBARAN HADIS DI MASA SAHABAT
Sebelum Rasul wafat, beliau telah menyiapkan pasukan dibawah pimpinan Usamah bin Zaid untuk menaklukkan negeri Syam. Cita-cita rasul ini, selanjutnya diteruskan oleh pengganti beliau, khalifah Abu Bakar as-Shiddiq. Misi tersebut berlangsung sukses sehingga makin luaslah wilayah Daulah- Al-Islamiyah, hingga keluar jazizah Arab.
Islam berhasil menaklukkan seluruh wilayah Syam--yang meliputi Palestina, Ardan, Suriah dan Libanon, demikian juga negeri Irak pada tahun 17 H., selanjutnya Mesir (20 H), kemudian wilayah Persi dikuasai pada masa khalifah Uthman (21 H). Pada masa khilafah bani Ummayah, islam berhasil menguasai beberapa wilayah, seperti Samarkand (56 H), seperempat wilayah Andalusia (spanyol) di daratan eropa (93 H), Daratan tinggi Gunung Barnes (96 H) dan daratan Cina bagian timur (96 H).
Semakin luasnya wilayah daulah al-Islamiyah menjadikan sebagian sahabat rasul ber-migrasi ke negeri-negeri taklukan guna mengajarkan ilmu agama dan pengetahuan islam, termasuk hadis Rasul. Mereka mendirikan masjid dan sebagian sahabat bermukin di negeri tersebut untuk mengurus dan mengelola negara serta menyebarkan risalah islam.
Beberapa kota yang menjadi pusat penyebaran al-hadith, setelah datangnya para sahabat, antara lain :

1. Madinah al-Munawarah.
Sebagai pusat berkembangnya risalah islam. Para tokoh di kalangan sahabat yang terkenal, antara lain : Abu Bakar as-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Uthman, Ali, Abu Hurairah, Aisyah—umm al-mukminin, Abdullah ibn Umar, Abu Sa’id al-Hudriy, dan Zaid bin Tsabit.
2. Makkah al-Mukarramah.
Tatkala terjadi Fath al-Makkah (8 H), Rasul mengutus Mu’adz bin Jabal tetap tinggal untuk mengajarkan pengetahuan islam tentang halal-haram, dan berbagai hukum islam. Selain beliau, tokoh lain dikalangan sahabat yang pernah singgah atau berdiam di Makkah adalah Ibn Al-Abbas, ‘Utab ibn Asid, Khalid bin Asid, Al-Hakim bin Abi al-Ash, Utsman bin Abi Thalhah dan lainnya.
3. Kufah.
Banyak tokoh di kalangan sahabat yang berdiam di kota ini [39] , yang termasyhur adalah Ali bin Abi-Thalib, Saad bin Abi Waqash, Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail, serta Abdullah bin Mas’ud.
4. Bashra.
Tokoh terkenal dikalangan sahabat, antara lain Anas ibn Malik, Abu Musa al-‘Asy’ari, dan Ibn Al-Abbas
5. Syam
Tatkala negeri ini jatuh ke tangan kaum muslimin[40], Yazid bin Abi Sofyan berkirim surat kepada khalifah Umar untuk mengutus para ulama ke negeri itu. Umar ibn Al-Khaththab mengirimkan Mu’adz bin Jabal ke Palestina, Ubadah bin Shamid ke Hims, Abu Darda’ ke Damsyik, lalu mengirimkan Abdurrahman bin ghanim. Disamping nama-nama tersebut, tokoh-tokoh sahabat yang pergi ke negeri syam, antara lain : Abu Ubaidah bin Jarrah, Bilal bin Rabah, Syurahbil bin hasanah, Khalid bin Walid, ‘Iyad bin Ghanim, al-Fadhl ibn al-Abbas bin Abdul-Muthalib—tinggal di Ardan, ‘Auf bin Malik al-Asyja’i, dan Al-‘Irbadh bin sariyah.
6. Mesir
Kaum muslimin memasuki kota Mesir pada masa khalifah Umar, di bawah kepemimpinan Amr ibn Al-Ash. Bersamanya terdapat tokoh-tokoh sahabat, antara lain : Zubair bin Awwam, Ubadah bin Shamid, Maslamah bin Mukhallad, Miqdad bin Al-Aswad. Datang pula ke negeri ini, Uqbah bin Amr al-Juhni, Kharijah bin Hudafah, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah, Muhammiah bin Juz’i, Abdullah bin Juz’i , Abdullah bin Harist bin Juz’i , Abu Busrah al-Ghifari, Abu Said al-Hudriy, Mu’ad bin Anas al-Juhni, Mu’awiyah bin Hudaij dan Ziyad bin Al-Harith al-Shada’i.
7. Marokko dan Andalusia.
Para sahabat yang pergi ke negeri ini, antara lain Abdullah ibn al-Abbas, Abdullah bin Amr ibn al-Ash, Abdullah bin Ja’far, Al-Hasan dan al-Husain, Abdullah bin Zubair, Uqbah bin Nafi’ (bergabung di daerah Burqah). Datang pula sahabat Mas’ud bin al-Aswad al-Balwa, Miswar ibn Makhramah, Miqdad bin al-aswad al-Kindi, Bilal bin Harith bin Ashim al-Mazani, Jablah bin amr, Ibnu Tsa’labah, abi Mas’ud Al-Badari dan salimah ibn Akwa’
8. Yaman
Rasul telah mengutus dua orang sahabat ke negeri itu, yaitu Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
9. Khurasan
Sahabat nabi yang pergi ke negeri ini adalah Abu Barjah al-Aslami, al-Hakim bin Amir al-Ghifari, Abdullah bin Hazm al-Aslami, Qatsam bin Al-Abbas (dimakamkan di samarkand). Wilayah Bukhara : Isa bin Musa, Ahmad bin Hafs al-Faqih, Muhammad bin Salam al-Baikindi, Abdullah bin Muhammad al-sindi, Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-bukhari. Wilayah Samarkand : Abu Abdillah bin Abdullah bin Abdur-Rahman ad-Darimi dan Muhammad ibn Nasr al-Marwazi.
E. RIHLAH (PERJALANAN ILMIYAH) DALAM MENCARI HADIS
Sebagai akibat menyebarnya para sahabat ke berbagai penjuru dalam wilayah Daulah al-islamiyah telah memberikan implikasi penting bagi tersebarnya hadis Rasul saw ke seluruh penjuru negeri. Hal ini juga menjadi penyebab timbulnya tradisi Rihlah (perjalanan ilmiyah) dalam mencari hadis rasul baik di kalangan Sahabat, para Tabi’in maupun generasi sesudahnya.
Beberapa contoh perjalanan dalam mencari hadis dari kalangan Sahabat dapat kita lihat seperti yang dilakukan sahabat Abu Ayyub al-Anshari yang berangkat dari Madinah menuju Mesir untuk menemui Uqbah bin Amir guna menanyakan hadis yang beliau dengar dari Rasulullah saw, yang tiada didengar oleh seorang pun dari sahabat, kecuali dirinya dengan Uqbah bin Amir.[41] Demikian pula sahabat Jabir bin Abdullah, yang melakukan perjalanan selama satu bulan dari Madinah ke negeri Syam untuk mengecek kebenaran suatu riwayat hadis Rasul yang ia dapatkan kepada Abdullah bin Unais. Jabir berkata : ” telah sampai kepadaku sebuah hadis yang dikatakan berasal dari anda, sesungguhnya anda mendengar Rasulullah saw telah bersabda tentang al-madhalim yang aku tidak mendengarnya.. dst…”[42]
Tradisi Rihlah tersebut menjadi warisan budaya ilmiyah bagi para pencari hadis dikalangan Tabi’in dan generasi selanjutnya. Abi al-Aliyah berkata : “Kami mendengar sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Rasul di Basrah, maka kami tidak pernah merasa lega sehingga kami pergi ke Madinah dan mendengarkan langsung dari lisan mereka.”[43]
Para Tabi’in ahli ilmu gemar melakukan Rihlah dalam pencarian hadis, dan berpandangan bahwa perjalanan panjang dalam pencarian hadis sama sekali bukan merupakan pekerjaan yang sia-sia, seperti dinyatakan Amir al-Sya’bi :
لو أنّ رجـلا سـافــرمن أقــصى الشـام إلى أقــصى اليــمن لســمع كلمــة حـكمــة ما رأيـــته أن ســفــره ضــاع[44]
*******

HADIS DI MASA TABI’IN
A. PERAN SAHABAT DALAM TRANSMISI HADIS DI MASA TABI’IN
Aktivitas Tabi’in dalam melestarikan hadis tidak lepas dari peran besar para sahabat yang menjadi murid dan penyambung lidah Rasulullah saw. Sahabat Rasul adalah guru langsung para tabi’in dalam ilmu agama --termasuk hadis, yang menjadi panutan dan rujukan baik dalam pandangan, sikap dan amaliyah dalam menjaga dan melestarikan As-Sunnah.
Para sahabat, tidak pernah merasa cukup dengan mendiskusikan hadis yang telah diterimanya dari Rasul bersama rekannya dari kalangan sahabat, akan tetapi, mereka pun membahas hadis bersama para pelajar –dari kalangan tabi’in, memintanya menghafal dan menganjurkan para tabi’in untuk menghadiri majelis ahlul-ilm untuk mendapatkan hadis dari mereka.[45]
Para sahabat menunjukkan kecintaan mereka yang besar kepada para pencari ilmu[46] dan menyerukan kepada para pelajar untuk menyebarkannya, seperti yang ungkapkan oleh Abi Umamah Al-Bahily :
أنّ هــذا المجـلس من بـلاغ الله إيّـاكم ، و أنّ رسـول اللهِ صلعم قـد بلـغ ما أرسـل به ، وأنتم فبلِّـغـوا عـنّاأحـسن ما تسمـعون. وفي رواية كان يحـدثهم حديـث كثيْرًا عن رسـول اللهِ صلعم فإذا سكـت قـال: )أعقلـوا بـلّغـوا عـنّا كمـا بلّـغناكـم(.. [47]
Amaliyah para sahabat nabi dalam melestarikan hadis Rasul sebagaimana termaktub, selanjutnya diteruskan oleh para pelajar beliau yang menjadi ulama’ dari kalangan Tabi’in, seperti Said bin al-Musayyab, Ibnu Sirin. As-Sya’bi, Sa’id bin Urwah dan tokoh lainnya. Bahkan, sebagian dari ulama’ hadis Tabi’in ada pula yang suka mengumpulkan anak-anak kecil lalu mengajarinya hadis, seperti Ismail bin Raja’ dan al-A’masy, sehingga ketika Sulaiman bin Mahran bertanya,”anda mengajari al-hadith kepada mereka (anak-anak kecil) itu ?, Al-A’masy menjawab :”mereka (anak-anak kecil) itu yang akan menjaga agamamu..” [48]. Demikian juga dari kalangan Tabi’in, Sufyan al-Thauri, berkata:”bilamana mereka—para pelajar hadis, tidak mendatangiku, maka aku akan mendatangi mereka di rumahnya”[49].
B. ASAS PENDIDIKAN (TARBAWI) HADIS DI MASA TABI’IN
Dalam melakukan transmisi hadis, para ulama’ baik di kalangan sahabat maupun tabi’in memiliki prinsip-prinsip dasar yang dijaga dan diterapkan secara ketat sehingga kualitas hadis, baik matan maupun sanad, tetap terjaga dengan baik.
Ada pun beberapa hal yang mendasari bagaimana proses pendidikan (tarbawi) al-hadith dilakukan pada masa Tabi’in, dapat diurai sebagai berikut :
1. Mengamati kondisi orang yang menerima hadis.
Dalam menyampaikan hadis harus disesuaikan dengan kadar kemampuan berfikir si penerima, jika tidak demikian, maka akan menyebabkan timbulnya fitnah, seperti dinyatakan ibnu Mas’ud :
أنّ الرّجـل ليحـدث بالحـديـث فيسمـعه من لا يبـلغ عـقــله فهم ذلك الحـديـث, فيـكـون عليه فـتنة [50]

2. Hadis diberikan hanya kepada mereka yang ahli di bidangnya
untuk menghindari jatuhnya hadis Rasul yang mulia ke tangan orang yang tidak tepat, seperti teguran al-A’masy kepada Syu’bah bin Al-Hajjaj :
رأي الأعـمــش شعـبـه بن الحـجـاج يحــدث قـوما فقـال لـه : }ويحـاك يـا شعـبـه ...تعـلّــقَ الــدّرفي أعـناق الخـنـازيـر.{ [51]
3. Mempelajari hadis setelah Al-Qur’an al-Karim.
Para ahlul-Hadis bersepakat bahwa tidaklah layak bagi sesorang mempelajari hadis kecuali ia telah membaca dan menghafal al-Qur’an, baik seluruhnya atau sebagian besar dari Kitabullah, seperti yang dialami oleh Hafs bin Ghiyats tatkala hendak belajar hadis kepada al-A’masy.[52]
4. Tidak menyampaikan hadis yang tidak dikenal.
Kekhawatiran sahabat dan tabi’in dalam menyampaikan hadis dhaif membuat mereka membutuhkan penguat (isbath) bagi hadis yang diriwayatkan. Mereka juga menganjurkan untuk meriwayatkan hadis-hadis yang dikenal dan menyebarkannya diantara para pencari ilmu, terutama bagi para pemula. Seperti ucapan Ali bin Abi-Thalib :
أيّهـالنّـاس! تحـبّــون أن يكــذّب الله و رســوله ؟ حـدّثـواالنّـاس بما يـعـرفـون ، و دعـوا ما ينكـرون...[53]
5. Aneka ragam metode dalam penyampaian hadis.
Para sahabat menggunakan metode yang bervariasi dalam menyampaikan hadis Rasul. Terkadang mereka melantunkan syi’ir atau menceritakan masa lalu di jaman jahiliyah, setelah menyampaikan hadis.[54] Atau tidak mengulur-ulur waktu pengajaran hadis di suatu majelis [55] semua itu dilakukan untuk mengusir kejenuhan dan menghindari hilangnya faidah dalam majelis ilmu.
6. Penghormatan terhadap hadis rasul.
Para sahabat dan tabi’in amat menghormati as-Sunnah melebihi apa pun selain Kitabullah. Mereka tidak mau mencampurkan antara sunnah dengan ra’yi, menghormati majelis-majelis hadis dan mendidik setiap orang, baik tua maupun muda, dalam memperlakukan hadis Rasul. Dalam menyampaikan atau membaca hadis, mereka terlebih dahulu berwudlu, seperti dinyatakan oleh al-A’masy[56] dan Qotadah[57]. Bahkan, saat Said bin al-Musayyab hendak menyampaikan hadis sedangkan dirinya dalam keadaan terbaring sakit ditempat tidur, beliau meminta agar dibantu duduk demi menghormati hadis Rasul.[58]
7. Mudzakarah terhadap hadis.
Sebagaimana yang telah para sahabat lakukan, para tabi’in juga mendiskusikan hadis Rasul, baik secara berjamaah maupun sendirian. Bahkan, terkadang mudzakarah hadis berlangsung sepanjang malam hingga menjelang fajar[59] Hal ini mereka lakukan agar hadis Rasul mampu mereka hapal dan membekas dalam hati mereka sehingga tak terlupakan seperti dinyatakan oleh Sufyan :
إجـعلوأ الحديث حديـث أنفسكم, و فكّروا قلـوبكم تخفظوه[60]
C. TRADISI PENULISAN (AL-KITABAH) HADIS DI MASA TABI’IN
Seperti pada masa sahabat, ulama’ Tabi’in berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya penulisan (al-Kitabah) hadis Rasul. Sebagian ulama’ Tabi’in dari generasi awal, melarang menulis hadis, seperti; Ubaidah bin Amr al-Salmani al-Muradi[61] (w.82 H), Ibrahim bin Zaid at-Taimy (w.92H), Jabir bin Zaid (w.93 H), dan Ibrahim an-Nakha’i (w.92 H).
Mereka yang tidak menyukai penulisan (al-Kitabah) hadis menjadi semakin kuat penolakannya setelah melihat bahwa pendapat-pendapat pribadi mereka semakin dikenal masyarakat, karena takut murid-muridnya akan menulis bersama dengan hadis Rasul sehingga menjadikan bercampurnya hadis dengan pendapat pribadi (al-Ra’yu).[62]
Adapun kelompok ulama’ Tabi’in yang membolehkan penulisan (al-Kitabah) hadis, diantaranya : Said bin Jabir (w.95 H), Sa’id bin al-Musayyab (w.94 H), Amir al-Sya’bi (w. 101 H), al-Dlahak bin Muzahim (w.105 H)[63], dan lainnya.
Bila kita cermati bagaimana cara Sahabat mengajarkan hadis kepada para Tabi’in, banyak khabar yang menguatkan bahwa sesungguhnya para Sahabat mem-perbolehkan penulisan hadis, baik mereka menulis hadis untuk diri sendiri, atau para pelajar –dari kalangan Tabi’in-- menulis didepan guru-guru mereka -dari kalangan sahabat. Para sahabat juga menyeru kepada Tabi’in untuk mempelajari ilmu dan mencatatnya, seperti ucapan Umar ibn al-Khaththab :”ikatlah ilmu dengan Tulisan…”[64] atau perintah Anas bin malik kepada anak-anaknya ;”Wahai anakku, ikatlah ilmu dengan tulisan..”[65], dan sewaktu Anas sedang mendiktekan hadis , berkumpullah banyak orang, maka ia pun datang membawa kumpulan shahifah lalu diulurkan kepada mereka seraya berkata : “ini adalah hadis-hadis yang aku dengar dan aku catat dari Rasulullah saw, serta aku perlihatkan kepada beliau.”[66] Demikian pula perintah al-Hasan kepada anak-anaknya dan putra al-Husain :
تعـلّموا تعـلّموا ، فإنّكم صغـارقـومٍ اليوم, تكـونون كبـارهم غـدًا ، فمن لم يحـفظ منـكم فليكتـب. وفي رواية) : فليكتـب ، وليضـعه في بيته([67]
Para Tabi’in meneladani perilaku Sahabat dalam melestarikan hadis Rasul. Tatkala ditemukan kesulitan dalam menghafal hadis, mereka pun menulisnya, atau meminta izin untuk menulis hadis, seperti permintaan izin Abdur-Rahman bin Hirmalah kepada Sa’id bin al-Musayyab dalam menulis hadis[68] Tak hanya itu, sebagian Tabi’in melakukan pencatatan secara intensif terhadap apa yang mereka dengar dari Sahabat, seperti diceritakan oleh Sa’id bin Jabir : “Ibnu Abbas mendikteku di shahifah sehingga aku memenuhinya, dan aku menulis di sepatuku hingga aku memenuhinya[69]…” , dalam riwayat yang lain, “aku mendengar Ibnu Umar dan Ibnu Abbas memperbincangkan hadis di waktu malam, maka aku menulisnya di tengah pelana unta sehingga datanglah waktu subuh, lalu aku menghapusnya[70]
Dengan demikian, tradisi penulisan (al-Kitabah) hadis yang telah berkem-bang semenjak zaman Rasulullah saw dan para Sahabat, diteruskan secara intensif oleh para Tabi’in dalam setiap generasinya[71], sebelum kodifikasi hadis dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn abd al-Aziz (w.101 H).
D. PENYEBARAN HADIS DI MASA TABI’IN
Penyebaran hadis pada masa Tabi’in juga tidak dapat dipisahkan dari prestasi gemilang para sahabat Rasul dalam menegakkan panji daulah al-Islamiyah di beberapa negeri sebagaimana telah penulis uraikan pada bagian sebelumnya. Di setiap negeri yang ditaklukkan, berdiam para sahabat untuk membina dan mengelola negara serta memberikan pengajaran tentang Islam. Para pelajar muslim dari zaman Tabi’in mendapatkan pengetahuan Islam dari para sahabat ini. Pada periode selanjutnya, para tabi’in berperan sebagai guru bagi generasi berikutnya ( tabi’ al-Tabi’in ) yang mengajarkan tentang pengetahuan keislaman dan melakukan transmisi hadis.
Beberapa tokoh ulama’ hadis dari kalangan Tabi’in di berbagai wilayah daulah al-Islamiyah, antara lain :
1. Madinah : Sa’id bin al-Musayyab (w.93 H), Urwah bin Zubair (w.94 H), Salim bin Abdullah bin Umar(w.106 H), Nafi’ (w.117 H), Ibnu Syihab al-Zuhri (w.124H) , Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, Muhammad bin al-Munkadir
2. Makkah :‘Ikrimah (w.105 H), ‘Atha’ bin Abu Rabah (w.115 H), Mujahid bin Jabr, Thawus bin Kaisan,
3. Kufah : Amir bin Syurahil al-Sya’bi (w.104 H), Ibrahim al-Nakha’i (w.96 H), Alqamah (w.63 H), Kamil bin Zaid al-Nakha’i, Said bin Zubair al-Asadi, Abu Ishaq al-Sabi’i, Abdul Malik bin Umair.
4. Basrah : al-Hasan al-Basri (w.110 H), Muhammad bin Sirin (w.110 H), Ayyub al-sakhtiyani, Bahz bin Hakim al-Qusyairi, Yunus bin Abid, Khalid bin Mahran al-hida’i, Abdullah bin Aun, Ashim bin Sulaiman , Qotadah bin Du’amah al-Sudusi, Hisyam bin Hisan.
5. Syam : Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H) , Ka’ab al-Akhbar (w. 132 H), Salim bin Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al-Khaulani, Abu Sulaiman al-Darani, Umair bin Hani’ al-Anasi al-Darani, Abdur-Rahamn bin Umar al-Auza’i, Abu Hanifah, Mahqul al-Dimsaqi, Raja’ bin Haiwah, Buhair bin Said al-Kala’i , Tsaur bin Yazid al-Kala’i, Abdur-Rahman bin yazib bin Jabir.
6. Mesir : Yazib bin Abu Habib (w.126 H), Umar bin Harits, Khair bin Na’im al-Hadhrami, Abdullah bin Sulaiman al-Thawil, Abdur-Rahman bin Syuraih al-Ghafiqi, Haiwah bin Syuraih al-Tajiy.
7. Marokko (afrika) dan Andalusia : Saib bin Amir bin Hisyam, Ma’bad—saudara Abdullah bin Abbas, Abdur Rahman bin al-Aswad, Ashim ibn Umar ibn al-Khaththab, Abdul Malik bin Marwan, Abdur Rahman bin Zaid ibn al-Khaththab, Sulaiman bin Yasar—ulama’ Madinah, Ikrimah maula Ibn Abbas, Abu Manshur. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun pernah mengutus sepuluh ulama’ tabi’in ke afrika, diantaranya Hibban bin Abi Jablah, Ismail bin Abdullah al-Amur, Ismail bin Ubaid, Abur-Rahman ibn Rafi’ al-Tanwikhi, Sa’id bin Mas’ud al-Tajiy
8. Yaman : Hamam dan Wahab bin Munabbih (w.110 H), Thawus dan anaknya, Mu’ammar bin Rasyid, Abdur Rozaq bin Hamam.
9. Qozwaini : Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, Said bin Jabir, Samr ibn ‘Athiyah bin Abdur-Rahman, Syahr bin Hausib, Thulaihah bin Khuwailid al-Adasi
PENUTUP
Hadis berkembang melalui berbagai cara dan metode. Rasul sebagai guru agung telah memberikan teladan (uswah) kepada para sahabat dalam melestarikan Sunnah. Sepeninggal Rasul, pada gilirannya, tampillah para sehabat sebagai pembimbing dan guru bagi generasi Tabi’in dan seterusnya.
Tidak seperti al-Qur’an, yang sejak awal Rasulullah saw memerintahkan untuk mencatatnya, al-hadith membutuhkan waktu yang cukup panjang dalam pembentukan ilmiyah menuju fase Kodifikasinya (Tadwin al-hadith). Namun, beranggapan bahwa penulisan hadis sebagai tindakan yang dilarang secara mutlak di zaman Rasul maupun sahabat, adalah perbuatan yang naïf dan menafikan fakta sejarah. Kontroversi penulisan hadis harus dilihat dari bagaimana dan mengapa hal tercebut terjadi untuk memperoleh gambaran yang komprehensif tentang sejarah periwayatan Hadis.
Generasi Sahabat dan Tabi’in telah memberikan kontribusi yang sangat berharga dan warisan penting bagi lestarinya al-Sunnah dan penyebarannya sebagai sumber pokok agama Islam yang kedua, setelah al-Qur’an. Disamping itu, berkembangnya
Dipenghujung tulisan ini, penulis sampai pada kesimpulan bahwa hadis sebagai warisan tak ternilai bagi umat Islam merupakan pusaka yang senantiasa dijaga dan dilestarikan. Tiap generasi dari golongan Sahabat dan Tabi’in, khususnya kalangan ahlul-hadis berupaya menjaga kemurnian hadis dengan berbagai metoda dan tradisi ilmiah, seperti melalui hafalan, tulisan maupun Rihlah ilmiyah. Hadis sebelum kodifikasi, menapaki jalan terjal menuju pembentukannya sebagai disiplin ilmu yang sistematis dan menghadapi berbagai tantangan dalam upaya pemurniannya. Karena itu, karya besar para ulama’ dalam melestarikan hadis amat layak untuk diapresiasi, karena alHadis adalah mashdar al-tasyri’ yang utama setelah al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup ummat Islam. Semoga tulisan ini bermanfaat. Amin….
BIBLIOGRAFI
Al-Baghdadi, Imam Ahmad bin Ali al-Khatib, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Saami’, Muassasah al-Risalah, Bairut 1994.
------- Syarf ashbab al-hadith, Dar Ihya’ l-Sunnah al-Nabawiyah, 1971.
------- Taqyiid al-Ilm, Dar Ihya’ l-Sunnah al-Nabawiyh, 1974.
al-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad, Tadzkirah al-Huffadh, jilid 1..
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Tarikh Kabir, Vol. 1
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Al-Sunnah Qabl Al-Tadwin, Maktabah Wahbah, Kairo, 1963.
------- Ushulul Hadis, Dar al-Fikr, Bairut 1989.
Al-Qurtubi, Abu Omar Yusuf, Jami’ bayan al-Ilm, vol. 1, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut..
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Bari, juz.1, Musthafa alBani al-Halabi, Mesir
Al-Syafi,i, Muhammad bin Idris, Al-Umm, Bairut : darul ma’arif, 1975,
Al-Azami, M. Musthafa, Studies in Hadis Methodologi and Literature, Chicago, Illinois
Fauzi Rifat,Al-Madkhal ila Tautsiq al-Sunnah, Muassasah al-Khanji, Mesir 1989.
Ibnu Shalah, Ulum al-hadith wa mustalatuhu, Maktabah Al-Malayiin.
Al-Dimsyaqi, Abu al-Fida’ Ibnu Kathir, Ihtishar Ulum Al-hadith, Dar al-Kutub Al-Ilmiyah.
Muhammad Abu Shuhbab, Al-Wasith fi ulum al-Musthalah al-hadith, Dar al-Fikr al-Arabi, Kairo.
Musnad Imam Ahmad, Dar al-Ma’arif, Kairo.
Al-Ramharmuzi, Hasan bin Abdur-Rahman, Al-Muhaddith al-Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’i, Maktabah Kulliyah Dar al-Ulum, Kairo. .
------- Al-Muhaddith al-Fashil, Maktabah Wizarah al-Tarbiyah Damsyik.
Shahih Bukhari,. Dar al-ulum al-Kutub, 1996
shahih Bukhari bi hasiyah al-sanadi, vol. 3..
Shahih Muslim.. Dar al-ulum al-Kutub, 1996
Shahih Muslim bi-syarh al-Nawawi, jilid 1.
AS-SUNNAH QOBLA TADWIN :
PERIWAYATAN DAN PERKEMBANGAN HADIS RASUL SEBELUM DILAKUKAN KODIFIKASI PADA
MASA UMAR IBN ABD AL-AZIZ

disampaikan dalam Diskusi Kelas Semester I
Program Pascasarjana (S-2) Konsentrasi PAI-FIQH

Dosen Pembimbing:
Prof. DR. H. ZAINUL ARIFIN, MA

al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi







Oleh :
KHOIRUL FALIHIN
NIM : F0.6.4.09.024

PROGRAM PASCASARJANA
IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2009
[1] Q.S. An-Najm : 3
[2] Q.S. Al-Hasyr : 7 ; Q.S. Al-Imran : 31, perhatikan pula Q.S. Al-Ahzab : 36 ; Q.S. An-Nisa’ : 59, 65 dan 80.
[3] Imam Syafi’i mensinyalir, ada tiga kelompok inkarus-sunnah, yaitu :
1. kelompok yang menolak hadis seluruhnya, baik yang mutawatir maupun hadis ahad.
2. kelompok yang menolak hadis, kecuali jika hadis tersebut ada persamaannya dengan Al-Qur’an,
3. kelompok yang menolak hadis ahad. (lihat Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Dar al-Fikr, 1990, vol VII, 287 – 301).
[4] Pendapat lain menyebutkan bahwa pelopor pengumpulan (tadwin) hadis adalah Ibn Hazm, gubernur Madinah yang diperintah oleh khalifah Umar ibn Abd al-Aziz untuk menulis hadis dari Amrah bint Abd al-Rahman al-anshari (w. 98 H) dan Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar (w.106). (lihat DR. Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, 89).
[5] M. M. Azami : Studies in Hadis Methodologi and Literature, Chicago, Illinois, hal 9
[6] Sahih Bukhari, Vol 1 Bab 30, 30
[7] Imam Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Saami’, Muassasah al-Risalah, Bairut 1994, 47,
[8] Muhammad Ajjaz Al-Khatib, Ushulul Hadis, Dar al-Fikr, Bairut 1989, 67. Lihat pula kitab Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi, A:182 No.1869.
[9] M.M. Azami : Kuttab al-Nabi, 25-112.
[10] Shahih Bukhari, Vol.1Bab al-Ilm No. 39, Dar ulum al-Kutub 1996, 36
[11]ibid, Vol 1, Bab Adhan, No.18, 155.
[12] Shahih Muslim, Vol 2, Bab Hajj, hadis No. 310, Dar ulum al-Kutub, 1996; 943.
[13] M.M. Azami, Studi in Hadis, 9-10.
[14] Lihat H.R. Bukhari, bab Ilm, No.39; 36.
[15] Musnad Imam Ahmad, vol. 13, hadis no. 18290. j.
[16] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, vol 1, 294; Sahih Muslim, vol.1 hadis No.17, 247.
[17] Musnad Ahmad vol 6, 248 hadis no. 4539. Keterangan lebih detail tentang bagaimana hadis Rasul diterima para sahabat silahkan simak Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah Qabl Al-Tadwin, Maktabah Wahbah, Kairo, 1963, 57-68. Lihat juga Al-Khatib, Ushul al-hadith, hal. 67 – 70.
[18] hadis riwayat Abu Sa’id Al-Hudriy. :
لاتكتبـوا عنّى ومن كتب عنّى غير القرآن فـليمـحه, و حدِّثـوا عنّى ولاحـرج, ومن كذب علىّ متعـمّدا فليتبوّأ مقعـده من النّـار)صحـيح المسـلم ص 229 ج Lihat pula Taqyiid al-Ilm, dha 3:1, 308; (8
.
[19] Fauzi Rifat,Al-Madkhal ila Tautsiq al-Sunnah, Muassasah al-Khanji, Mesir 1989, 53.
[20] Sebagian sahabat yang menulis hadis telah mendapat izin langsung dari Rasul saw, seperti Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash (lihat Taqyid al-Ilm, dha 11.1, hal 74-82). Rasul juga telah mmberi peintah menulis hadis untuk Abu-Sah.
[21] Diantara shahifah hadis yang masyhur dari kalangan sahabat adalah Shahifah as-Shadiqah, milik Ibn Amr ibn Al-Ash., Ar-Risalah milik Samurah bin Jundub, dan Shahifah Jabir milik Jabir bin Abdillah.(lihat M.M.Azami, Studi in Hadis., hal 26-27); Ibnu Shalah, Ulum al-hadith wa mustalatuhu, Maktabah Al-Malayiin, 24-27)
[22] M. Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian hadis, 11
[23] Muhammad Abu Shuhbah, Al-Wasith fi ulum al-Musthalah al-hadith, Dar al-Fikr al-Arabi, Kairo 57.
[24] Fathul Bari, vol.1, hal 206; Musnad imam Ahmad, vol.13, no.8351, 85.
[25] shahih Bukhari bi hasiyah al-sanadi, vol. 3 , 30.
[26] Al-Khatib, Ushul al-Hadis, 71-78, lihat pula, As-Sunnah Qobl al-Tadwin,68-74.
[27] M.M. Azami, Studies in Hadis, 26
[28] Al-Khatib, Ulum al-hadith, 83.
[29] Ibid, 84-85.
[30] Abu Shuhbah, Al-Wasith, 61. Lihat pula al-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffadh, vol 1 , 4.
[31] Abu Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis Rasul pernah menuturkan kepada Abu Salamah, jika seandainya ia meriwayatkan hadis seperti yang ia lakukan saat itu (kala umar telah wafat) pada masa khalifah Umar masih hidup, niscaya umar akan mencambuknya.
[32] Ensiklopidia Islam, 44-45.
[33] Abu Shuhbab, Al-Wasith, 57, lihat pula sahih Bukhari, bab Zakat al-Ghanam wa zakat al-Ibil. Lihat pula Al-Baghdadi, Taqyiid al-Ilm, dha 15.1, 87.
[34] Abu Shuhbah, ibid, 59. Lihat pula Al-Baghdadi, Taqyid al-Ilm, dha 5.2, 49. Walaupun Umar sangat keras dalam melarang penulisan hadis (al-Kitabah), namun ketika beliau pandang Al-Qur’an telah terjaga dengan aman, Umar mau menulis sesuatu dari hadis kepada sebagian bawahan dan para sahabatnya, seperti diriwayatkan oleh Abu Uthman al-Nahdiy. (lihat Musnad Imam Ahmad, vol. 1, 281)
[35] Sebagian sahabat yang tidak menyetujui al-Kitabah adalah Umar, Ibn Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, dan Abu Sa’id Al Hudriy. Adapun mereka yang memperbolehkannya adalah Ali ibn Abi Thalib, Al-Hasan, Anas ibn Malik, Abdullah ibn ‘Amr ibn Al-‘Ash dan sekolompok sahabat lainnya (lihat Ibnu Kathir Al-Dimsyaqi, Ihtishar Ulum Al-hadith, Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 86).
[36] Menurut keterangan Aisyah, Abu Bakar as-shiddiq pernah mengumpulkan hadis dalam sebuah shahifah hingga mencapai sekitar 500 hadis, namun semalaman beliau terlihat amat gelisah. Keesokan harinya, Abu Bakar meminta Aisyah mengambilkan shahifah tersebut lalu beliau membakarnya. (Lihat al-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffadh, vol 1, 5 :1).
[37] Fauzi Rifaat, Lihat Tausiq al-Sunnah ,49-53.
[38] Sebenarnya Shahifah ini ditulis oleh seorang Tabi’in, Hamam bin Munabbah. Kebanyakan ulama’ hadis menisbahkan sahifah tersebut kepada Abu Hurairah, karena isi sahifah tersebut adalah kumpulan hadis yang didiktekan langsung oleh Abu Hurairah kepada muridnya, Hamam bin Munabbah, sehingga shahifah tersebut dikenal juga sebagai Shahifah Abu Hurairah. (lihat Hamidullah,
[39] Masuk di kota Kufah sejumlah 300 orang sahabat yang membai’at Rasul di Syajarah al-Ridlwan, dan 70 orang sahabat pelaku perang Badar.
[40] Walid bin Muslim menyatakan : “telah memasuki negeri Syam 10.000 mata yang pernah melihat Rasulullah saw”. (lihat Al-Bukhari, Tarikh Kabir, vol. 1, 169.)
[41] Abu Omar Yusuf al-Qurtubi, Jami’ bayan al-Ilm, vol. 1, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut , 93-94. Lihat pula Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi, B:169, 338-339.
[42] Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi, B:169, no.1748, 336-337.
[43] Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Aklaq al-Rawi, B :168, 336.
[44] Al-Qurtubi, Jami’ bayan al-Ilm, vol. 1, 95.
[45] Al-Khatib, Ushul Al-hadith, 98
[46] Ibid, hal 99. Amr bin Ash pernah menyatakan kepada sekumpulan orang dari kaum quraisy :
ما لكم قد طرحـتم هذه الأغيلــمة ؟ لا تفعـلوا و أوسعــوا لهم في المجـالس، واسمـعوهم الحذيـث، وافهـمـوهم إيّاه، فإنّهم صغـار قوم، أوسـك أن يكونوا كبـارهم وقد كنتم صغـارقومٍ ،فأنت اليوم كبـارهم )شرف أصحـاب النّبي 136 ص (65
[47] Al-Baghdadi, Syarf ashbab al-hadith, hadis No. 209 & 210, Dar Ihya’ l-Sunnah al-Nabawiyh, 1971, 96..
[48] Ibid, 64.
[49] Ibid, 105.
[50] Al-Baghdadi, Al-Jami’ li akhlaq al-Rawi wa Adabi al-Sami’,B:139, No.1358,148.
[51] Al-Muhaddith al-Fashil, 143.
[52] Al-Muhaddith al-Fashil, nuskah Damsyik, 19.
[53] Al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi, B:130 no.1356, 147. Lihat pula Al-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffadh, vol. 1 , 12-13.
[54] Al-Qurtubi, Jami’ bayan al-Ilm, vol.1 , 105.
[55] Al-Khatib, Ushul al-hadith, 108. Lihat, Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adabi al-Sami’, 136.
[56] Jami bayan al-Ilm, vol 2, 198.
[57] Ibid, 199.
[58] Ibid, 199
[59] Al-khatib, Ushul al-hadith, hal 112. Lihat pula Kitab al-Ilmu li Zuhair bin Harb, 190 .
[60] Ibid, 113. Lihat pula al-Baghdadi, al-Jami’ al-Rawi wa Adabi al-Sami’, B:182, No. 1877, 186.
[61] Ketidak-setujuan Ubaidah bin Amr terhadap al-Kitabah, ditunjukkan ketika Ibrahim menulis di depannya, maka ia pun berkata:”jangan sampai engkau biarkan tulisan itu tetap tinggal di depanku..!” Bahkan, ketika menjelang ajal, beliau menyuruh untuk mengambilkan kitab-kitabnya- lalu dia pun menghapusnya ….(Lihat al-Qurtubi, Jami bayan al-Ilm, 67)
[62] Al-Khatib, Ushul al-hadith, 167.
[63] Lihat Al-Qurtubi, Jami bayan al-Ilmi, vol. 1 , 67
[64] Al-Baghdadi,Taqyiid al-Ilm, dha :15.2 , 88. Lihat pula Al-Qurtubi, Jami bayan al-Ilm, vol 1, 72.
[65] Shahih Muslim bi-syarh al-Nawawi, vol 1, 244; Al-Baghdadi, Taqyiid al-Ilm, dha:17.2, 96.
[66] Al-Baghdadi, Taqyiid al-Ilm,dha:17.2, 95-96
[67] Ibid, dha:16.2, 91.
[68] Ibid, dha:18.2, 99.
[69] Ibid, dha:18.2, 102.
[70] Ibid, 102. Lihat al-Muhaddith al-Fashil, 2:8:1
[71] Masa Tabi’in dibagi dalam tiga generasi, generasi pertama adalah kalangan Tabi’in pada masa awal (Kibar al-Tabi’in), yang hidup dan bergaul dengan kebanyakan Sahabat Rasul, Generasi kedua (al-Ausath), adalah Tabi’in yang lahir di masa pertengahan, dan generasi ketiga (asghar al-Tabi’in) adalah generasi yang lahir di masa akhir periode Tabi’in, yang bersinggungan dengan generasi dari masa Tabi’ al-Tabi’in.

Selasa, 24 Maret 2009

HET BOEK VAN BONANG (KITAB PRIMBON SUNAN BONANG)

I. Pengantar

Ada dua sumber yang layak dipercaya sebagai bahan rujukan tentang bagaimana ajaran, wejangan, madrasah, madzhab, serta aliran pemikiran asli Walisongo. Pertama, teks primbon wejangan Sunan Bonang ( Het Boek Van Bonang ) yang pernah dibuat sebagai bahan tesis oleh Dr. B.J.O. Schrieke pada tahun 1916 di Universitas Leiden Belanda (Primbon I). Kedua, teks primbon jawa abad ke XVI yang isinya mirip dengan isi primbon wejangan Sunan Bonang diatas, yang pernah diulas dalam Een Javaansche Geschrift uit de 16 de Eeuw, tesis Dr. J.G.H. Gunning pada tahun 1881 di Universitas yang sama (primbon II).

Kedua manuskrip tersebut berupa tulisan tangan pada lembar-lembar daun lontar dan diyakini sebagai hasil karya Sunan Bonang dengan beberapa alasan. Pertama, adanya kalimat “Tammat carita cinitra kang pakerti pangeraning Bonang”, yang menandakan bahwa teks primbon I itu ditulis oleh Sunan Bonang. Kedua, umur dari primbon tersebut tidak terpaut jauh dari masa kehidupan Sunan Bonang, yaitu disekitar tahun 1595 M. Naskah tersebut secara kebetulan ditemukan di Tuban oleh armada Belanda yang pertama kali berlayar sampai di kepulauan Nusantara dalam persinggahan yang agak lama di Sedayu pada tahun 1597 M. Naskah tersebut selanjutnya dibawa pulang ke negeri Belanda dan dipelihara dengan baik hingga akhirnya berada dibawah pemeliharaan Liedsche Universiteitsbibliotheek sejak oktober 1597 M., ditempatkan di bawah katalogus no. XVII kal. Octob. 1599 M. Adapun, Primbon II tidaklah disebutkan inisial pengarang di dalamnya, namun jika melihat umur, tempat ditemukan, serta bahasa yang dipergunakan dalam primbon tersebut tampak mirip dengan gaya bahasa primbon I. Yang jelas, primbon tersebut ditemukan dan diangkut oleh kapal yang sama sehingga dapat dianggap bahwa primbon tersebut adalah karya Sunan Bonang atau sekurang-kurangnya ajaran yang meluas pada jaman Sunan Bonang.

Meski hanya primbon karya Sunan Bonang yang dapat dianggap sebagai bukti paling autentik dari kitab-kitab karya Walisongo. Kita masih beruntung dan patut bersyukur sebab Sunan Bonang paling representatif mewakili ajaran walisongo yang lain karena secara resmi beliau memang yang paling berkompeten diantara para Wali untuk memberikan wejangan keilmuan dan keagamaan. Hal ini dapat dilihat dari sejarah hidup beliau, dimana Sunan Bonang adalah Prabu Hanyakrawati yang menguasai Sesuluking ngelmi lan agami. Beliau adalah putra dan murid Sunan Ampel bersama adiknya, Sunan Drajat. Beliau juga teman satu almamater dengan Sunan Giri karena sama-sama berguru kepada Syekh Maulana Ishaq di Samudera Pasai. Beliau adalah guru pertama Sunan kalijaga. Disamping itu atas dasar bahwa Sunan Gunung Jati adalah murid dari Syekh Maulana Ishaq maka sedikit-banyak ajaran beliau memiliki kesamaan dengan ajaran Sunan Gunung Jati.
II. Isi Kitab Primbon Sunan Bonang

1.Sumber rujukan isi primbon
Dengan melihat isi dari ajaran dan wejangan Sunan Bonang yang tertulis dalam kitab primbon Het Boek Van Bonang, setidak-tidaknya ada sejumlah kitab Arab klasik yang diperkirakan telah menjadi sumber rujukan dari ajaran walisongo. Beberapa kitab tersebut, antara lain adalah :
1. Ihya’ Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghozali
2. Tamhid (fi bayanit-Tawhid Wa Hidayati fi Kulli Mustarasyid Wa Rasyid) karya Abu Syakur bin Syu’aib Al-Kasi al Hanafi as-Salimi (hidup diakhir abad 5 H).
3. Talkhis al-Minhaj karya Imam Nawawi,
4. Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makky
5. Risalah al-Makkiyah fi Thariq al-Sada al-Sufiyyah karya Afifuddin at-Tamimi,
6. Al-Anthaki. Mengenai al-Anthaki ini, ada dua kemungkinan, yaitu Abu Muhammad al-Anthaki seorang penyair dari Faulah Bani Fathimiyyah zaman al-Mu’iz Li Dinillah (341-365 H.) dan Zaman Al-Aziz Billah (365-386 H.) atau Daud al-Anthaki penulis kitab Tazyinul Asywaq bi Tafshil Asywaq Al Usysyaq atau Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah al-Isfahani pengarang kitab Hilyatul Auliya’ yang bergelar Ahmad bin Ashim Al-Anthaki.
Disamping beberapa nama pengarang kitab tersebut diatas, ditemui pula nama para tokoh Tasyawwuf seperti Abu Jazid Al-Basthami, Muhyiddin ibn ‘Arabi, Syekh Ibrahim al-Iraqi, Syekh Abdul Qodir Jailani, Syekh Semangu Asarani (?), Syekh Ar-Rudaji, Syekh sabti (?), Pandita Sujadi Waquwatihi (?).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ajaran Walisongo, meliputi bidang ilmu fiqih (syariat), ilmu kalam -- termasuk didalamnya adalah ilmu tauhid dan ushuluddin, serta diajarkan pula ilmu tasyawwuf seperti suluk, tarikat dan mistik.

2.Beberapa wejangan Sunan Bonang
Isi dari ajaran dan wejangan yang terdapat dalam kitab primbon karya Sunan Bonang itu dapat diringkas sebagai berikut :
Pertama-tama, Sunan Bonang mengawali tulisannya dengan bacaan Basmalah dan puji syukur, kemudian menunjukkan maksud dan tujuan dari penulisan isi primbon, yaitu hendak menyampaikan ajaran tentang ilmu suluk. Ilmu suluk ini meliputi ilmu Ushuluddin, Tauhid, Tarekat dan Tasyawwuf yang berhaluan ahlussunnah Wal Jama’ah.
Ajaran Ushul Suluk berpangkal pada penafsiran terhadap dua kalimat Syahadat yang diungkapkan dalam pembukaan kitab : “Asyhadu an La ilaha Illallah Wahdahu La Syarikalahu, Wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”. Selanjutnya beliau menguraikan ajaran-ajarannya dengan menitik beratkan pada ushul suluk menurut pemikiran al-Ghozali dan Abu Syakur as-Salimi. Ajaran ushul suluk merupakan perpaduan antara uraian ilmu ushuluddin dan Tasyawwuf atau tauhid mistik dalam batas-batas akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang materinya berkisar pada tiga polok masalah ditambah satu penegasan, yaitu :
1. Kajian tentang Allah, yang meliputi zat, sifat dan af’al-Nya,
2. Kajian tentang hubungan antara manusia dengan Allah,
3. Kajian tentang masalah Ru’yat (kemampuan melihat) Allah, dan
4. Tanbih, tambahan dari kitab yang diutarakan dengan maksud sebagai peringatan agar senantiasa berbuat sholeh, takwa, dan berpegang teguh serta menjaga batas syariat.
Pada bagian pertama dari isi Primbon, pembahasan Sunan Bonang tentang Allah meliputi pendirian mengenai berbagai paham dan ajaran tauhid serta ketuhanan yang benar dimana isi uraian beliau pada dasarnya hanya merupakan ikhtisar dan terjemahan bebas dari kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab Tamhid. Disamping itu diungkapkan pula bagaimana ajaran dan faham yang sesat tentang tauhid dan Tuhan, yang menurut beliau, dapat mengakibatkan penganutnya menjadi kafir.
Pembahasan Sunan Bonang terhadap dua tema diatas meliputi uraian tentang ma’rifat Dzat Allah, Ma’rifat Sifat Allah dan ma’rifat Af’al Allah yang diungkapkan dengan metode dialog katekismus, yaitu berbentuk dialog tanya jawab antara guru dan murid dimana si murid bertanya yang kemudian dijawab oleh sang guru dengan uraian materi diatas.
Pada bagian tersebut, diungkapkan juga 12 macam pandangan tentang ajaran tauhid dan ketuhanan yang dianggap sesat dan layak dijuluki “wong sasar” menurut standar empat madzhab, yaitu :
1. Pandangan yang menyatakan bahwa :”i(ng)kang ana iku Allah, i(ng)kang ora ana iku Allah, den tegesake oraning Allah iku ora andade’aken. (yang ada ialah Allah, yang tiada ialah Allah, dengan arti tiadanya adalah tiada mejadikan).
2. Pandangan tentang Tuhan yang menyatakan : “iya namane iya kersane, iya namane iya dzate, iya dzat(e) iya kersane. Iku among ing paekan tan weruh ing panunggale”. (nama-Nya itu itulah juga kehendak-Nya, nama -Nya itulah juga dzat-Nya, Dzat-Nya itulah kehendak-Nya…).
Kedua ungkapan tersebut diatas dianggap sesat karena dapat mengacaukan pemahaman akan keesaan Tuhan.
3. Pandangan Kawabatiniyah (kebatinan) yang disifati oleh Sunan Bonang sebagai “atunggal sastra anging tan apatut “ atau congkak dalam kata namun tidak patut dan tidak sesuai dengan akal budi karena bertentangan dengan pokok ushul suluk yang terdapat dalam kitab Ihya’ dan Tamhid.
4. Suatu pandangan ganjil yang menyatakan : “ Kadi anggrupa’aken sifating pengeran, kadi akecap : sekatahing dumadi iku sifating Allah, kadi ngana’aken ing nora, kadi ama’duamen ing Allah. Pandangan ini adalah kufur.
5. Pandangan yang beranggapan bahwa dalam fana’ terjadi ittihad (perpaduan) antara kawula-Gusti (hamba - Tuhan) sebagaimana berpadunya sungai di muara dengan air laut. Hal ini menurut beliau merupakan penta’wilan yang menyeleweng dan sesat yang bertentangan dengan firman Allah swt.: “Marajal Bahraini Yal Taqiyani bainahuma Barzahun La yabgiyani”.
6. Paham karamiyah, sebuah paham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, didirikan oleh Abdullah Muhammad bin Karamiyah yang menandaskan bahwa Allah duduk di singgasana-Nya di arsy, dimana ia menjisimkan dzat Allah.
7. Paham yang menyatakan bahwa “sifat iku ana ing dzat, asma itu ana ing deweke”, yaitu suatu paham yang menyamaratakan antara sifat, dzat dan asma’ Allah.
8. Paham yang berpendapat bahwa “sifat sifat, dzat dzat” , yaitu menganggap bahwa keberadaan dzat dan sifat sebagai dua keadaan yang masing-masing berdiri sendiri.
Dimana menurut Sunan Bonang, rumusan yang benar dari kedua paham tentang sifat dan dzat tersebut semestinya adalah “paikan(ing) sasifatira tan liyaning ananira” atau sifat-sifat-Nya tak lain adalah wujud-Nya.
9. paham mu’tazilah yang dianggap sebagai paham yang mengingkari sifat qudrat dan iradat Allah atas diri manusia, “Allah Ta’ala ora amurba”.
10. Pandangan ibnu ‘Arabi, pengarang kitab Futuhatul Makkiyah yang terkenal dengan pahamnya Wahdatul Wujud (Panteisme), yaitu paham yang menganut isme emanasi yang berpendapat bahwa “Allah iku dzate qodim, sifat af’ale muhdats” (Dzat-Nya Allah itu dahulu, sifat dan perbuatan-Nya baru).
11. Paham yang berpendirian bahwa :”Kang angilo iku nora ningali wewayangan”, yaitu suatu paham yang mengingkari arti bercermin dari apa yang dapat digunakan sebagai wasilah untuk ma’rifat kepada Allah.
12. Paham yang menyatakan bahwa Tuhan itu “ ma’dum min nafsihi”.
Kedua belas macam ajaran inilah yang dianggap ajaran berbahaya dan dapat menjadikan kafir orang yang menganutnya.
Pada bagian yang kedua, Sunan Bonang telah merumuskan ajarannya tentang hubungan manusia dengan Allah dari dua sisi keilmuan, yaitu menurut ilmu kalam dan ilmu Tasyawwuf. Dalam menetapkan eksistensi dan hubungan antara manusia dengan Tuhan, ilmu Kalam menetapkan keduanya dengan istilah makhluk dan Khaliq. Sedangkan ilmu Tasyawwuf memberi istilah antar keduanya sebagai Salik atau asyiq dan ma’syuq yang akan saling bertemu dalam maqam fana’.
Selanjutnya Sunan Bonang juga mengetengahkan rumusannya tentang “padudoning Kawula-Gusti” atau ke-bukan-an hamba-Tuhan yang merupakan antitesis daripada pandangan “Manunggaling Kawula-Gusti” nya Syech Siti Jenar. Beliau menyatakan : “Padudoning Kawula-Gusti; Sifating pengeran tan dadi sifating makhluk, sifating makhluk tan dadi sifating pengeran.” (sifat Tuhan [tetap] bukan sifat makhluk, sifat makhluk [tetap] bukan sifat Tuhan.
Dengan konsep “padudoning Kawula-Gusti” ini, Sunan Bonang menegaskan bahwa Allah dan manusia merupakan dua kenyataan atau wujud yang berbeda. Masing-masing berdiri sendiri sebagai pribadi yang tak mungkin lebur menjadi satu sebagaimana leburnya setetes air dalam lautan yang maha luas, walau bagaimanapun tingkat keakraban yang telah dicapai oleh keduanya, yakni taraf tertinggi dalam maqam fana’. Selanjutnya dengan merujuk pada ayat “Marajal bahraini Yaltaqiyani bainahuma Barzahun La Yabgiyani” Sunan Bonang lantas mengajarkan bagaimana cara memehami konsep fana’ yang sebenarnya dan seharusnya. Pengertian Barzahun dalam ayat tersebut adalah sekat yang berlaku sebagai rana atau dinding, sehingga menjadikan keduanya tidak bercampur. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa ungkapan “Gharaghtu fi Bahril ‘adam” adalah merupakan rumusan yang takkan pernah terwujud dalam kenyataan dimana dua pribadi saling tenggelam dan merasuki. Karena bagaimanapun juga mesti tetap disadari adanya perbedaan sebagaimana wejangan beliau “Mapan(ing) karone langgeng apadudon tan panisih kang anjateni lan kang jinaten.”
Hal ini secara jelas menunjukkan bahwasanya walisongo, yang ajarannya terwakili dalam primbon tersebut, telah berupaya keras dan bersungguh-sungguh dalam memelihara dua pilar utama akidah Islam :
Pertama, Pengakuan akan Allah sebagai khaliq yang maha esa dan mandiri , sebagai dzat yang penuh kebebasan dan memiliki kekuasaan penuh dalam segala hal (asas Tawhid).
Kedua, Pengakuan tentang adanya hak kemerdekaan bagi manusia sebagai oknum yang mendiri dan sebagai pribadi yang utuh, yang disebut sebagai asas kemerdekaan pribadi manusia (al-Hurriyah al Syahsyiyyah al Insaniyyah).
Sebagai penutup uraian bab ini, Sunan Bonang mengakhirinya dengan wejangan : “E, Mitraningsun ! Karana sira iki apapasihana sama-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah”.
Ungkapan tersebut merupakan tanbih / peringatan agar sesama muslim hendaknya saling bantu membantu dalam suasana kasih, dan agar mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah.
Bagian ketiga, tentang Ru’yat Allah, Sunan Bonang mengawalinya dengan mengutip ucapan Syekh al-Bari : “Ru’yat Allah iku arus tan arus (ru’yat Allah itu melihat tetapi tidak melihat) Selanjutnya beliau memberikan pandangan sebagai berikut:“E, Rijal ! Tegese ru’yat Allah iku aningali ing pengeran ing akhirat kalawan mata kapala ing dunya kalawan mata ati.” (Wahai Rijal…! Arti ru’yat itu melihat Allah dengan mata kepala di akherat dan di dunia dengan mata hati).
Dengan demikian, menurut beliau, melihat Allah dengan mata kepala secara langsung baru dapat dilakukan di akherat karena di akherat-lah dicapai kesempurnaan penglihatan. Selanjutnya menurut primbon tersebut, kemampuan untuk melihat (ru’yat) Allah adalah sangat tergantung pada tingkat kesempurnaan martabat yang telah dicapai oleh manusia dalam usahanya menempuh suluk atau tarekat. Semakin tinggi derajat atau martabat yang dicapai, maka makin berkuranglah penghalang (hijab)-nya sampai akhirnya Allah menyempurnakan penglihatannya. Maka pandangan dan penglihatannya tidak ragu lagi akan dzat-sifat Allah, yang dilihat tampil tanpa kias perumpamaan, yang melihatnya pun tanpa melalui perantaraan, sebagaimana ungkapan dalam primbon :”Tegese iku ta kabehsening saya mundak martabate sinampurnakaken tingale dening pengeran dadi tan sak tingale ing dzat-sifat-af’al ira; mapan kang tiningalan bila tasybih, kang aningali pon bila tasybih.”
Selanjutnya Sunan Bonang menandaskan bahwa kemampuan melihat (ru’yat) Allah merupakan suatu hal yang relatif, dimana masing-masing individu tidaklah sama dalam hal kejelasan yang dicapai. Beliau memberi tamsil dengan mengisyaratkan hubungan antara semakin meningginya bilangan hari bulan, mulai dari penampakan bulan pada tanggal pertama hingga penampakannya pada bulan purnama penuh sebagaimana diungkapkan : “…Kadi ta angganing sasi tanggal sapisan, ana kang kadi tanggal p(ing) kalih, ana kang kadi tanggal p(ing) tiga –ing undake ta kadi purnamasada.”
Dasar yang dipakai Sunan Bonang dalam menguraikan masalah ru’yat tersebut adalah sabda Nabi : “Innakum satarawna rabbakum yaumal qiyamati kama tarawnal qamara fi lailatil badri.” ( “Sesungguhnya kamu sekalian akan melihat Tuhanmu pada hari kiamat seperti kalian melihat rembulan pada malam bulan purnama…”), yang kemudian ditafsirkan lagi maksudnya dengan “Amma dlamirul qamarillah munazzahun bila kaifiyyatin”. (“…adapun kata ganti perumpamaan “rembulan” bagi Allah adalah hal yang bebas dari persifatan dengan tanpa perlu ditanyakan kenapa dan bagaimana…)
Sebagai penutup isi primbon, Sunan Bonang mengakhirinya dengan sebuah tanbih (peringatan) :
“E, Mitraningsun ! Demi sami sira akecap becik-becik kalawan lampa nira dhahir batin anuta kang sarengat, andi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, asih pramuleha sira ing Rasulullah ‘alaihis salam marganira anampani sih nugraning Pangeran…//E, Mitraningsun! Iku tetinggalaningsun ing sira kang awet poma anak putu nira sami wekasen, sami anuta wirasaning pituturinsung iku kabih, karana manawa anut ing wuwus(ing) wong sasar …Anging sira den sama awedi ing Pengeran. Aja sira salah simpang, sami sra amriha kasidan”.

Dengan primbon tersebut, Sunan Bonang memperingatkan agar kita selalu berbuat baik. Disamping itu dalam melaksanakan segala amaliah lahir maupun batin hendaknya senantiasa berjalan diatas rel syariat yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Selama hidup kita dipesankan untuk mencintai dan meneladani kehidupan Rasulullah SAW sebagai jalan berterima kasih atas anugerah Allah SWT. Inilah peninggalan beliau untuk diamalkan bersama dan hendaknya disampaikan kepada anak cucu agar menuruti maksud nasehat tersebut, karena dikhawatirkan bila mereka salah jalan, maka akan menjadikan mereka termasuk golongan orang yang sesat. Beliau juga berpesan, agar kita takut kepada Allah. Jangan sampai salah jalan dan menyeleweng, agar tercapai, dan amal kitapun diterima oleh Allah SWT.
Akhirnya, setelah kata-kata peringatan sebagai tanbih, maka ditutuplah primbon wejangan Sunan Bonang ini dengan seuntai kata : “Tammat carita cinitra kang pakerti Pangeraning Bonang” yang maksudnya adalah selesai sudah cerita yang diceritakan oleh Sunan Bonang.
Isi primbon II juga banyak mengambil rujukan dari kitab Tamhid dan Ihya’ ‘Ulumuddin, yang dalam primbon tersebut dinyatakan dengan “Ahya Ngulumudin”. Demikian juga metode penyampaian yang dikemas dalam primbon II ini agak berlainan dengan primbon I. Mungkin maksud penulisan primbon II ini sengaja ditujukan bagi masyarakat awam karena ditilik dari cara penguraiannya yang populer, mudah dan gampang dicerna apalagi masalah yang dibahas banyak berkenaaan dengan hal aktual keseharian (ahwal-Al-Yaumiyyah), yang meliputi pelbagai segi kehidupan orang awam dan masyarakat pada umumnya. Nampak jelas perbedaannya jika dibandingkan dengan isi primbon I yang cenderung lebih filosofis dan mistis, yang hanya dapat ditangkap dan dipahami oleh orang-orang tertentu yang telah memiliki pengetahuan dan pemahaman dasar tentang agama Islam yang memang telah dipersiapkan untuk mempelajari ilmu keagamaan tingkat lanjut.
Secara global, primbon II merupakan bunga rampai yang menghimpun saripati dari pelbagai karya arab dimana pembahasannya tidak diuraikan secara sistematis melalui bab dan pasal-pasal sehingga isinya bukan secara khusus menangani satu bidang masalah. Primbon tersebut berisikan berbagai ilmu keislaman dari fiqh, tawhid atau ilmu kalam, tasyawwuf serta akhlak. Pada bagian akhir, terdapat uraian-uraian ajaib sebagai kutipan dari imu ta’bir dan ramalan membuka-buka rahasia. Pegangan argumentasinya ialah hadits-hadits dari berbagai sumber, seperti kitab Ihya’ al-Ghozali, Talhisul Minhaj karya Imam Nawawi, Tamhid-nya Abu Syakur as-Salimi, dan karya-karya ulama’ lainnya seperti Kasalbis salji-nya al-Anthaki, kanzal Kafi atau Kanzal Latha’if dari Smarakandi.
01 Muharram 1422 H.

BIBLIOGRAFI

Saksono Wiji, Drs. , Mengislamkan Tanah Jawa : Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo.. Mizan, Bandung, 1995.
Zoetmulder, P.J., Pantheisme en Monisme in de Javansche Soeloek-Literatur; Manunggaling Kawula-Gusti, Panteisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Penterjemah : Dick Hartoko. Grademia. Jakarta:1991.
Yayasan penyelenggara penerjemah Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakara, 1971.

Senin, 23 Maret 2009

UKHUWAH ISLAMIYAH

Manusia adalah makhlik sosial (Homo Socialist) yang hidup saling berketergantungan satu sama lain, mereka hidup saling berdampingan membentuk komunitas karena kebutuhan.
Ketika sekelompok orang bekerjasama, berkumpul dan melakukan interaksi sosial terciptalah sebuah masyarakat. Di dalam komunitas itu, mereka menentukan aturan, undang-undang atau kode etik yang mereka sepakati, baik tertulis ataupun tidak, untuk menjamin terpenuhinya kepentingan para individu tanpa harus mengabaikan kepentingan umum, begitu pula sebaliknya. Perpaduan antara dua kepentingan ini sudah barang tentu menimbulkan sebuah corak interaksi sosial yang berlaku sedemikian kompleks dalam tata pergaulan masyarakat.
Dalam Islam, komunitas masyarakat muslim disatukan dibawah panji “Ukhuwah Islamiyah”. Dasar dari konsep tersebut adalah diantaranya firman Allah swt :

إِنَّماَ الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوْااللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara,karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujurat:10)
Berpijak dari ayat tersebut, pengakuan bahwa sesama mukmin itu bersaudara menunjukkan adanya ikatan yang jauh lebih kuat daripada sekedar teman, sahabat, atau tetangga. Pengakuan “Persaudaraan” adalah konsep Islam dalam membina dan mengarahkan kaum muslimin menuju pada tercapainya masyakarat madani (Civil Society).
Ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshor. Semangat kebersamaan dan persatuan sengaja ditanamkan oleh beliau sebagai landasan hidup bermasyarakat. Tak pelak, dengan dipancangkannya pondasi Ukhuwah Islamiyah dapat dibangunlah sebuah model masyarakat muslim yang kokoh. Sebab, prinsip tersebut sarat dengan upaya menjunjung tinggi rasa keadilan (justice), persamaan harkat dan derajat sesama manusia (HAM) dan jaminan rasa aman bagi seluruh anggota masyarakat Islami.
Ukhuwah Islamiyah, sebagaimana yang diterapkan Rasulullah saw, menumbuh-kembangkan perasaan tanggung jawab untuk saling melindungi, saling membantu, tolong menolong antar sesama muslim. Konsep ini dapat kita lihat dari sabda Nabi saw :

الْمُسْلِمُ أَخُ الْمُسْلِمُ : لاَيَظْلِمُهُ، وَلاَيُسَلِّمُهُ. مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللهُ فِى حَاجَتِهِ وَمَنْ كَانَ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًاسَتَرَاللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Orang muslim itu saudara orang muslim lainnya. Janganlah ia menganiayanya dan jangan menelantarkannya. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa membebaskan seorang muslim dari dari kesusahan-nya, maka Allah akan membebaskan darinya kesusahan di hari kiamat. Dan barang siapamenutupi kejelekan seorang muslim, Allah akan menutupi kejelekannya pada hari kiamat. (Muttafaq alaihi)

لاَتَحَاسَدُوْا وَلاَتَنَاجَشُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُوْالمُسْلِمُ : لاَيَظْلِمُهُ،وَلاَ يَحْقِرُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ ، اَلتَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، بِحَسَبِ آمْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَخْقِرَأَخَاهُ الْمُسْلِمِ. كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَراَمٌ دَمُّهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.
Janganlah kamu saling mendengki, jangan saling mempermainkan harga, jangan saling membenci, dan jangan saling menjauhi. Janganlah sebagian dari kamu menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim itu saudara orang muslim lainnya. Janganlah menganiayanya, jangan menghinanya dan jangan menelantarkannya.Takwa itu disini (sambil menunjuk ke dadanya tiga kali). Cukuplah kejahatan seseorang bila ia telah menghina saudaranya yang muslim. Setiap orang muslim terhadap muslim lainnya diharamkan mengganggu darah, harta dan kehormatannya”. (H.R. Muslim)
Dari dua buah hadits dia atas, nyatalah bahwa tanggungjawab seorang muslim kepada saudara se-iman se-agama memiliki banyak aspek, baik fisik, psikis, sosial maupun ekonomi. Larangan untuk menyakiti seorang muslim, menganiaya, memukul dan membunuh adalah menyangkut aspek fisik; Larangan berhianat, dan berupaya menjaga perasaan sesama muslim adalah aspek psikis; Menjauhkan diri dari mencela sesama muslim, memfitnah, mencari-cari kesalahan dan aib adalah tanggungjawab sosial; Menjaga harta benda serta menghindari tindak penipuan dalam berkongsi dan perdagangan adalah aspek ekonomi, serta masih banyak contohyang tak dapat disebutkan disini.
Lebih spesifik lagi, Rasulullah saw menyatakan sifat kebersamaan dan persaudaraan sesama mukmin adalah laksana sebuah bangunan yang saling menguatkan (HR. Muttafaq alaihi), atau digambarkan bagai hubungan antar bagian tubuh manusia, manakala jemari kaki tercucuk duri, maka anggota tubuh yang lainnya pun turut pula merasakan kesakitannya. Inilah konsep Islam tentang persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah) yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, pemimpin terbesar dikolong langit, yang diakui keagungan akhlaknya secara langsung oleh Allah swt (Q.S. Al-Qalam:4) dan menyatakan diri sebagai utusan tuhan yang datang kedunia untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (H.R.Bukhari-Muslim)
Sebagai penutup, ada sebuah hadits mulia yang menuturkan tentang kepribadian seorang mukmin yang perlu untuk direnungkan bersama :

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَِخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah satu diantara kamu sehingga ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri.”

Semoga bermanfaat, amien.

Bangil, 23 Nopember 2001

REFLEKSI ATAS SYUKUR NIKMAT



Hadits A’isyah tentang Syukur
Di dalam sebuah hadits Shahih yang diriwayatkan Ibnu Hibban, diceritakan, pada suatu hari, Atha’ dan Ubaid bin Umair bertanya kepada Siti A’isyah : “Wahai ummul Mukminin, berilah kami khabar tentang sesuatu yang paling mengagumkan dari diri Rasulullah saw yang pernah anda lihat ?”
A’isyah menangis lantas berkata : “Keadaan Rasulullah saw yang mana yang tidak mengagumkan? Di waktu malam beliau datang kepadaku. Beliau masuk ke tempat tidur bersamaku sehingga kulitku bersentuhan dengan kulitnya. Beliau mengatakan: ‘Wahai puteri Abu Bakar, tinggalkanlah diri. Aku sedang beribadah kepada Tuhanku’”.
“Saya ingin lebih dekat denganmu,” pintaku. Wanita agung itu lantas meminta izin untuk mengambil geribah air. Ia berwudlu dan menuangkan air begitu banyak.
Setelah itu Rasulullah saw berdiri dan mengerjakan shalat. Beliau menangis sehingga air matanya bercucuran sampai ke dadanya. Beliau ruku’, sujud, dan mengangkat kepala seraya masih menangis.Beliau selalu seperti itu sampai Bilal datang, kemudian menyerukan agar azan untuk shalat shubuh. Aku bertanya kepada Rasulullah saw :”Ya Rasulullah, apa yang membuatmu menangis, padahal Allah swt telah mengampuni segala dosamu, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?” tanya ummul mu’minin, Aisyah ra.
Beliau menjawab : “Apakah saya tidak boleh menjadi hamba Tuhan yang banyak bersyukur (‘Abdan Syakuro) ? Kenapa aku tidak melakukannya sedangkan Allah swt telah menurunkan kepadaku ayat :
Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi, perbedaan malam dan siang, kapal yang berlayar dilautan (membawa) barang-barang yang berfaedah bagi manusia, hujan yang diturunkan oleh Allah swt dari langit, lalu dihidupkan-Nya dengan air itu bumi yang telah mati, berkeliaran diatasnya tiap-tiap yang melata, angin yang bertiup dan awan yang terbentang antara langit dan bumi. Sesungguhnya semua itu merupakan ayat-ayat bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Al-Baqarah:164)

Makna”Abdan Syakuro”
Menjadi “Abdan Syakuron” adalah puncak dari pengejawantahan eksistensi manusia sebagai makhluk bertuhan. Abdan Syakuron juga berarti penyerahan diri sepenuhnya atas kehendak Sang penguasa, pengakuan secara total akan kekuasaan dan otoritas Realitas absolut atas ego kemanusiaan, kepasrahan (reseptivitas) seorang hamba atas kehendak Tuhan sebagai wujud penghayatan maksimal terhadap entitas diri manusia yang dijadikan semata-mata untuk beribadah.(Q.S. Adz-Dzariyat:56)
Dari firman Tuhan tersebut, terbukalah realita abadi bagi kita tentang esensi dua makhluk Allah yang memiliki polaritas dalam substansi –yakni Manusia dan Jin namun identik secara fungsional dalam makrokosmos, yaitu kehadiran mereka hanyalah semata-mata untuk beribadah kepada-Nya.
Istilah ibadah sendiri, adalah salah satu term Arab yang berarti penghambaan diri, diambil dari akar kalimahnya berupa fi’il madhi, ‘Abada yang bermakna menghambakan diri, dan memang manusia beribadah kepada Tuhan-Nya dalam rangka penghambaan diri mereka kepada realitas absolut yang menguasai semesta alam.
Dengan beribadah, seseorang melebur ke-aku-an (ego) dirinya dan mencampakkan potensi kemanusiaan—syahwat dan amarah, untuk menerima perintah Tuhan dan membaktikan dirinya sebagai pelayan Ilahi, mereka tunduk dan patuh secara penuh dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. (Q.S. Ali Imron :102)
Derajat “Abdun”, sebagaimana dikatakan Abu Ali Ad-Daqaq, adalah tataran tertinggi di kalangan manusia terkasih Tuhan. Bilamana nabi Ibrahim a.s. diberi anugerah kehormatan oleh Allah dengan sebutan, Khalilullah (Kekasih Allah), dan Musa a.s. dimuliakan Tuhan dengan gelar Kalimullah karena dapat berdialog langsung dengan Allah, serta Isa a.s. di panggil dengan Ruhullah (Ruhnya Allah), maka nabi Muhammad saw berulang kali dipanggil Tuhannya dengan sebutan Abduhu (Hamba-Nya): Mahasuci dzat Yang telah mengisra’kan hamba-Nya pada malam(mi’raj) dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha”(Q.S. Al-Isra’:1),”Maka diwahyukan kepada hamba-Nya apa-apa yang diwahyukan”(Q.S. An-Najm:10).
Pengakuan Tuhan terhadap Muhammad sebagai hamba-Nya (Abduhu) adalah manifestasi dari kecintaan-Nya atas diri pribadi agung itu, demikian pula Tuhan telah memilih beliau adalah untuk diri-Nya : Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku (Q.S. Thaha: 41), karena itu Dia telah menduduknya dengan derajat kenabian dalam maqam Murad, yang telah ditanggung Tuhan, Sebagaimana firman-Nya : “Tidakkah Kami telah melapangkan dadamu,dan kami hilangkan bebanmu darimu yang (memang) memberatkan punggungmu, dan Kami tinggikan penyebutanmu (Q.S. Alam Nasyrah : 1-4).

Adapun makna Syukur, mengandung term arab yang berarti berterima kasih atau pujian. Seperti yang diuraikan oleh Abul Qasim dalam kitabnya, Risalatul Qusyairiyah, makna Syukur mengandung tiga tingkatan : Pertama, bersyukur dengan lisan, yakni mengakui kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah swt dengan sifat tawadlu’ (merendahkan diri). Kedua, bersyukur dengan badan, yakni bersifat selalu sepakat dan melayani (mengabdi) kepada Allah. Ketiga, bersyukur dengan hati, yakni mengasingkan diri dihadapan Allah dengan konsisten menjaga keagungan-Nya.
Ketika seseorang mendapatkan kenikmatan, dia pun berupaya men-tasaruf-kan nikmat yang diperolehnya sejalan dengan perintah Tuhan. Dia pergunakan kedua matanya untuk menyaksikan berbagai keindahan yang merefleksikan sifat al-jamal (keindahan) Tuhan, dan berkata : Wahai Tuhanku, tidaklah engkau ciptakan hal itu dengan tanpa arti [bathil] (Q.S.Al-Baqarah:191), yang keluar dari mulutnya adalah ungkapan berisi nasehat untuk bersabar dan melakukan kebajikan (Q.S. Al-Ashr: 3 - 4), dilangkahkan kakinya kepada hal-hal yang membawa maslahah bagi agama dan menghindarkan diri dari kerusakan yang diperbuat oleh kedua belah tangannya.(Q.S.Ar-Rum:41 ) Senada dengan apa yang telah diuraikan Imam Al-Ghozali di dalam Ihya’ nya, bahwa rasa syukur dinyatakan dengan mengetahui bahwa tiada pemberi kenikmatan selain Allah. Dengan mengetahui limpahan nikmat yang diterima, timbullah kegembiraan dalam hati terhadap Allah dan nikmat-nikmat yang diterima. Dengan hatinya, rasa syukur itu dinyatakan dengan menyembunyikan kebaikan bagi seluruh manusia dan menmghadirkannya selalu dalam mengingat Allah sehingga tidakmelupakannya. Dengan lisan, syukur itu dinyatakan dengan banyak mengucapkan tahmid. Dengan anggota tubuh, dinyatakan dengan menggunakan nikmat-nikmat Allah ta’ala dalam mentaati-Nya dan menghindari penggunaan nikmat untuk mendurhakai-Nya.
Dalam sebuah hadits, diceritakan bahwa Dawud a.s. bertanya kepada Allah swt : “Ya Allah, bagaimana aku mensyukuri-Mu, sedangkan aku tidak dapat mensyukuri-Mu kecuali dengan nikmat yang berasal dari nikmat-Mu ? Allah swt berfirman : “Apabila engkau tahu bahwa nikmat-nikmat itu berasal dari-Ku, maka Aku rela hal itu sebagai pernyataan syukur darimu”
Dengan demikian, menjadi hamba Tuhan yang banyak bersyukur (Abdun Syakur) berarti pengakuan akan tiadanya entitas diri, hilangnya ego insani dalam kebesaran Realitas absolut (Tuhan) yang diwujudkan dengan penghambaan diri kepada Tuhan seru sekalian alam dengan penuh kerelaan hati, bahkan cinta atas kondisi tersebut.

Syukur adalah pengejawantahan rasa cinta (al-Hub)
Rasa syukur adalah manifestasi kecintaan seorang hamba akan Dzat PemberiNikmat (al-Mun’im) tatkala ia mendapatkan limpahan nikmat dari-Nya. Kerelaan hati terhadap pemberian Tuhan itu diwujudkan dengan kegembiraan dan rasa terima kasih atas karunia yang diterimanya. Bentuk rasa terima kasih itu mengejawantah dalam upaya melakukan perbuatan yang sesuai dengan kehendak Sang Pemberi Nikmat (Sharfu al-Ni’mah li ridlo al-Mun’im).
Menjadi seorang hamba yang banyak mensyukuri nikmat Allah, berarti mengakui betapa besar belas kasih Tuhan dan perhatian-Nya yang kita terima. Ketika seseorang diperhatikan kebutuhan dan dilapangkan kesulitannya, merasalah dia --dalam dirinya, bahwa ada pengakuan atas eksistensi dirinya. Kesadaaran terhadap pengakuan diri ini menimbulkan reaksi timbal balik dalam bentuk pengakuannya terhadap eksisensi Sang Pelindung dan Pemerhatinya. Keadaan ini melahirkan impuls-impuls ruhaniyah untuk mengenal lebih jauh akan eksistensi Sang Pelindung itu, hingga lahirlah perasaan cinta (al-Hubb). Karena itu, tidaklah salah bila dikatakan bahwa pemberian itu bisa menarik perasaan (cinta).Dengan cintanya, seorang hamba berupaya mendekat melalui ibadah-ibadah kesunatan sehingga menjadikan Dia mencintainya, dan Dia akan menjadi telinganya saat dia mendengar, menjadi matanya yang dengan itu dia melihat, serta menjadi lidahnya yang dengan itu dia berbicara. (H.R. Bukhari) Pada saat itu, Cinta Allah kepada seorang hamba merupakan keinginan-Nya untuk memberikan nikmat kepadanya sebagai orang yang telah dikhususkan-Nya.
Dengan demikian, rasa syukur dan mahabbah (cinta) adalah bagaikan api dengan nyalanya, atau air dengan sifat cairnya, karena syukur adalah ungkapan dari mahabbah. Saat seorang hamba bersyukur, terwujudlah perasaan cinta itu, melalui ucapan, tindakan dan perasaan jiwa.
Pernyataan Rasulullah saw : “Apakah saya tidak boleh menjadi hamba Tuhan yang banyak bersyukur?” memberi tengara yang jelas atas kecintaan beliau yang begitu besar kepada Allah swt, mengalahkan apapun didunia sehingga tidak disentuhnya siti ‘Aisyah r.a., istri yang paling beliau kasihi. Kegembiraan Rasulullah dengan panggilan Tuhan “Abduhu” seyogyanya menyadarkan hati-hati kita yang mulai mengeras bahwa nilai utama dari kemanusiaan adalah bersumber pada sejauhmana kita menunaikan tugas asasi kita sebagai khalifah, yang tak lain adalah menjadi pelayan-pelayan Tuhan dimuka bumi. (Q.S.Al-Baqarah:30), Bukan untuk berkutat dengan pencarian derajat, kekayaan, kedudukan, pengaruh dikalangan manusia. Sebab Allah tidak akan menilai martabat seorang manusia, dari rupa, harta dan kedudukan tetapi keimanan dan rasaa taqwa. (H.R. Muslim)

Mensyukuri Nikmat Allah
Sebenarnya banyak jalan mensyukuri nikmat Tuhan sebanyak celah kehidupan yang dijalani oleh manusia. Mengungkapkan rasa syukur atas nikmat Tuhan, dapat dimanifes-tasikan dalam tiga jalur utama, yakni lisan, perbuatan anggota badan, dan amaliah hati.
Syukur seorang fakir miskin yang hidup dalam keadaan serba kekurangan adalah dengan kesabaran, tawakkal dan qonaah menghadapi hidup. Syukur seorang hakim adalah dengan memberikan putusan yang seadil-adilnya dengan berdasarkan undang-undang kitabullah dan sunnah rasul. Syukur para ulama’ dan orang yang berilmu adalah dengan mengajarkan ilmunya, serta mengamalkannya sesuai ilmu yang dia miliki. Demikian pula dengan syukur para petani, pedagang, sopir dan segala corak kehidupan yang dijalani manusia memiliki ungkapan yang berbeda-beda.
Maka, rasa syukur adalah penggunaan nikmat sejalan dengan untuk apa diciptakan-Nya nikmat itu bagi seorang hamba. Misalkan seorang raja yang memberi hamba sahayanya seekor kuda dengan segala keperluannya, maka mensyukuri nikmat itu adalah dengan menaiki dan menggunakannya dijalan yang ditetapkan baginya, yakni jalan yang di ridloi oleh sang Raja. Jika ia menaikinya untuk menjauhi sang Raja dan dan digunakan dijalan yang tidak disukainya, maka hal itu adalah kebodohan dan mengingkari nikmat.
Dengan mensyukuri nikmat berarti membuka jalan bagi datangnya pemberian Tuhan dan balasan bagi mereka yang ingkar akan nikmat Tuhan, adalah siksaNya yang pedih.: Jika kamu sekalian bersyukur maka Aku akan memberikan tambahan kenikmatan kepada kamu sekalian, dan jika kamu sekalian ingkar sesungguhnya siksa-Ku amatlah pedih. (Q.S. Ibrahim:7 ) Namun, mengapakah sedikit sekali orang yang mau bersyukur, sebagai- mana firman Allah : Dan sedikit saja dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur (Q.S. Saba’:13). Padahal, dengan mensyukuri nikmat Allah berarti kita mengingat-Nya dan bila kita ingat kepada-Nya, maka Dia akan mengingat kita.(Q.S.Al-Baqarah:152). Sedangkan “Sesungguhnya dzikrullah (mengingat Allah) adalah sesuaatu yang maha besar” (Q.S. Al-Ankabut:45). Semoga kita menjadi para hamba yang mau mensyukuri nikmat Tuhan. Amien.

Minggu, 22 Maret 2009

KONSEP PEMIKIRAN ISLAM DAN CINA TENTANG TEOLOGI

Pendahuluan
Setiap tradisi pemikiran, biasa didapati pula didalamnya pembahasan tentang Kosmologi yang merupakan salah satu cabang dari ilmu metafisika dalam filsafat yang menyelidiki keberadaan alam semesta sebagai sistem yang beraturan. (Kamus besar Bahasa Indonesia, 1992).
Dalam tradisi pemikiran Cina, alam semesta[kosmos] dilukiskan dalam batasan-batasan kerangka Yin dan Yang yang bisa dipahami sebagai prinsip-prinsip eksistensi yang bersifat aktif (Pria) atau Yang dan prinsip yang bersifat pasif (wanita) atau Yin.
Yin dan Yang saling mengisi, merangkul satu sama lain dalam keselarasan dan keterpaduan yang menghasilkan segala apa yang ada dialam semesta (kosmos). Simbul keterpaduan antara prinsip Yin dan Yang digambarkan sebagai Tai Chi atau Tao, yang melukiskan kedua prinsip tersebut sebagai gerakan dan perubahan yang konstan. Dalam fenomena tertentu, hubungan antara Yin dan Yang terus-menerus berubah sebagaimana digambarkan oleh kata-kata Confusius : “Bagaikan sebuah sungai yang mengalir, seluruh alam semesta terus-menerus mengalir siang-malam”.
Perubahan atau “I” adalah proses dimana langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada diantara keduanya diciptakan dan diciptakan kembali. Yin dan Yang adalah prinsip-prinsip bagi perubahan itu dan menjadi simbol bagi seluruh gerakan di alam semesta. Ketika matahari terbit (Yang), maka rembulan pun tenggelam (Yin); tatkala musim kemarau tiba (Yang), maka musim penghujan pun beranjak pergi (Yin).
Eksistensi, dalam pandangan tradisi pemikiran Cina, berarti perubahan harmonis yang berpijak pada Tao. Jika harmoni antara Yin dan Yang hilang, maka alam semesta pun akan berhenti mengalir dan tak bakal ada sesuatu. Dalam hal ini ajaran-ajaran dasar kosmologi Cina sangat menekankan pentingnya konsep tentang “Harmoni dan keseimbangan antara dua prinsip eksistensi, Aktif(Yang) dan Pasif (Yin)”. Penjelasan tentang ajaran Tao ini dapat anda temui dengan jelas dan gamblang dalam sebuah kitab pemikiran Cina, I Ching.
Sementara itu, sebagian besar konsep kosmologi Islam juga bertumpu pada konsep “Komplementaritas”,(mengakui adanya sifat saling melengkapi), dan “Polaritas” (memperhatikan dua prinsip yang saling berlawanan) antara prinsip -prinsip aktif dan reseptif. Hanya saja, kaum bijak muslim (para filsuf atau Hukama’, bentuk jama’ dari Hakim, yang berarti orang yang bijaksana) menggunakan bentuk terminologi atau tata istilah yang tidak lazim sehingga membutuhkan penalaran dan analisis yang lebih mendalam sebelum menguraikan kedua prinsip tersebut secara jelas dan gamblang.

Konsep Pemikiran Islam dan Cina TentangTeologi
Sebelum membahas pada inti permasalahan, terlebih dahulu kita kembali pada bagaimana bentuk/corak pemikiran dan praktek Islam tentang teologi. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa pemikiran dan praktek Islam dimulai dari Allah..
Ada dua prinsip yang paling mendasar dan utama dalam memahami ajaran teologi Islam. Pertama, Rukun Islam yang pertama adalah pernyataan secara lisan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Pesuruh Allah.” Kedua,Imam kepada Allah menjadi rukun Islam nomor wahid.
Dengan demikian, definisi kedua prinsip yang paling mendasar dan asasi tersebut adalah pernyataan dan keyakinan atas ketauhidan Allah sebagaimana disebutkan dalam hadits yang disuguhkan oleh imam Bukhori pada bab Tawhid :


“….Allah ada dan tidak ada sesuatupun selain Dia….”


“….Allah ada dan tidak ada sesuatupun sebelum Dia….”
“Pada mulanya, di jaman azali, yang ada hanyalah Allah..” Demikian para ahli Kalam berkata. Akan tetapi, Dia yang maha Agung sama sekali tidak terdefinisikan sebab tidak ada satu wujud pun yang dapat memperlihatkan sifat-sifat dan kualitas individual dalam Dzat yang tak terbedakan. Hal senada telah diungkapkan pula oleh tradisi Cina yang menuturkan kepada kita bahwa sebelum Yin dan Yang berada, sudah ada Tai Chi atau “Puncak Agung” yang sama sekali tak terdefinisikan dan merupakan kualitas purba (Primordial) dari segala sesuatu dan menjadi sumber dari jagad raya (kosmos). Yin dan Yang adalah “Dua Kekuatan Utama” sebagaimana dikatakan Confucius :
“Senantiasa ada Tai Chi dalam perubahan. Perubahan melahirkan dua kekuatan utama. Dua kekuatan utama melahirkan empat citra, dan empat citra melahirkan delapan trigram…”(Ta Chuan 11.5 ; Lihat juga I Ching 315).
Dalam teologi, ada dua konsep dasar yang dikembangkan oleh tradisi Islam, yakni konsep “ke-tidak terbandingan Allah Azza Wa Jalla” dan konsep “Keserupaan-Nya (Tasybih)”
Konsep “Ke-Tidak terbandingan Allah” memiliki dasar pijakan dari beberapa nash al-Qur’an sebagaimana telah dituangkan dalam beberapat ayat, diantaranya dalam firman Allah :


“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. (Q.S.42:11)
Ungkapan yang lebih jelas lagi tentang hal ini dapat kita simak dari firman Allah :


“Segala puji bagi Allah, Tuhan yang tidak terjangkau, jauh dari segala apa yang mereka sifatkan”.(Q.S.37:180).
Berdasarkan dalil-dalil nash tersebut, dapat dipahami bahwa Allah adalah Dzat yang Unik, yang tidak terbagi, merupakan realitas impersonal yang berada jauh diluar jangkauan manusia dan makhluk. Konsep ini selaras dengan konsep Tai Chi dalam tradisi pemikiran Cina (Taoisme) dan ia pun tumbuh menjadi salah satu madzhab pemikiran ortodoks dalam Islam yang diwakili oleh para Teolog Dogmatis, yakni kaum salaf, ahlul Hadits, dan para pendukung Kalam.
Berbeda dengan konsep tersebut, timbul pula suatu madzhab pemikiran baru yang beranggapan bahwa semestinya dalam kualitas tertentu, dengan meminjam istilah teologis, Tuhan haruslah dapat diserupakan (Tasybih) sejauh hal tertentu dengan Makhluk-Nya. Madzhab pemikiran ini diwakili oleh ibn ‘Arabi, sebagian filsuf dan pengikut mistikisme.
Ibnul ‘Arabi memberikan kritik dalam pendapatnya dengan menyatakan bahwa Tuhannya para Teolog adalah Tuhan yang tidak mungkin dan mustahil untuk dicintai karena DIA terlalu jauh dan tidak dapat dipahami. Akan tetapi Tuhannya al-Qur’an, Nabi dan otoritas spiritual ainnya adalah Tuhan yang benar-benar bisa dicintai karena DIA begitu memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Tuhan yang penuh kasih sayang dan cinta ini bisa dimengerti dan dipahami. Karenanya, sejauh hal tertentu dengan makhluknya, DIA dapat diserupakan (Tasybih). Kita bisa dengan tepat mengetahui dan mengenal diri-Nya dalam sifat-sifat manusia. Inilah pandangan tentang keberadaan Tuhan dalam segala sesuatu yang juga jelas-jelas didukung pula oleh nash al-Qur’an seperti firman Allah :


“Kemanapun kamu menghadapkan wajahmu, disitulah wajah Allah.”
(Q.S. 2:115)


“Kami lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya sendiri”..
(Q.S. 50:16).
Dalam pandangan ini, Allah adalah Tuhan yang personal. Inilah konsep daripada prinsip “Keserupaan Tuhan (Tasybih)”
Terlepas dari pertentangan yang terjadi antar kedua madzhab pemikiran dalam teologi Islam sebagaimana penulis paparkan diatas, pada dasarnya pemikiran Islam tentang Tuhan berpusat pada nama-nama atau sifat-sifat Allah yang diwahyukan dalam al-Qur’an, yaitu sebanyak 99 nama Allah yang kita kenal dengan sebutan “Al-Asma’ al-Husna”. Dan dari dua perspektif dasar inilah—yakni asma’ dan sifat Allah--, kedua konsep dasar pemikiran tersebut disandarkan dimana masing-masing konsep, baik “Ketidak terbandingan” dan “Keserupaan” Tuhan dikaitkan dengan nama-nama dan sifat tertentu.
Konsep “Ketidak terbandingan Allah” mengingatkan kita pada asma’-asma’ Tuhan seperti al-Qowiyyu (Maha Kuat), al-Jabbar(Maha Pemaksar), al-Qohhar(Maha Perkasa), al-Kholiq(Maha Pencipta) dan sifat-sifat serupa yang hadits Nabi menyebutnya sebagai sifat-sifat Allah “Al-Jalal” (Sifat Keagungan) ,dimana menurut tradisi pemikiran Cina, analog dengan prinsip “nama-nama Yang” dalam kosmologi Tao karena menekankan keagungan, kebesaran, kekuasaan, kendali dan maskulinitas (sifat Pria).
Sebaliknya, konsep “Keserupaan Allah (Tasybih)” mengingatkan kita kepada asma’-asma’ Allah al-Rahman(Maha Pengasih), al-Rahim(Maha Penyayang), al-Lathif(Maha Lembut), al-Ghofur(Maha Pemaaf), al-Hayyu(Maha Pemberi Hidup) dan sifat-sifat serupa sebagaimana hadits Nabi menyebutnya sebagai sifat-sifat Allah “al-Jalal”(Sifat Keindahan) yang dapat dianalogkan dengan prinsip “nama-nama Yin” dalam kosmologi Tao karena menekankan kepasrahan kepada kehendak dan keinginan pihak lain, kelembutan, penerimaan, reseptivitas, dan feminimitas (sifat Wanita).
Kedua perspektif teologi dasar ini membentuk dua kutub pemikiran dalam Islam. Konsep “Ke-tidak terbandingan Tuhan” menempati kutub negatif dalam perspektif teologi dan konsep “Keserupaan Tuhan (Tasybih)” menempati posisi sebaliknya. Tidak ada kalah dan menang dalam hal ini. Karena tanpa adanya hubungan relasional antara kedua sifat Allah, yakni sifat-sifat al-Jalal dan al-Jamal--maka mustahil tercapai makna kesempurnaan bagi Tuhan (al-Kamal).Karena itulah, baik teologi negatif maupun positif keduanya diperlukan untuk melahirkan pemahaman yang benar tentang realitas Ilahi analog dengan penekanan Confucianisme pada unsur Yang dan penitik-beratan Taoisme padan unsur Yin.
Dualitas alam semesta (kosmos) dan poralitas antara dua hal, seperti siang dan malam, panas dan dingin, halus dan kasar pada hakekatnya terkait pada realitas Maha tunggal yang menjadi sumber segala sesuatu, yaitu ,Allah Azza Wa Jalla (dalam tradisi pemikiran dan teologi Islam) atau Tai Chi (dalam tradisi pemikiran Cina).

P e n u t u p
Konsep pemikiran Cina, yakni Taoisme dan Confucianisme, memandang alam semesta sebagai suatu hasil perubahan yang harmoni antara prinsip-prinsip Aktif(Yang) dan reseptif(Yin). Kedua prinsip tersebut adalah merupakan realitas-realitas turunan dari Realitas tunggal tanpa bentuk, unik, tak terdefinisi yang disebut Tai Chi atau Tao. Pemahaman Islam terhadap alam semesta[Kosmos] adalah kembali dan berawal dari Allah. Dia yang Maha Pencipta telah menghadirkan kosmos dari ketiadaannya.
Proses pencptaan kosmos diyakini oleh tradisi pemikiran Cina sebagai hasil dari perubahan harmonis dari prinsip-prinsip “Yin” dan “Yang”, dua prinsip utama realitas turunan yang saling bertentangan. Kosmologi Islam pun mengenal adanya konsep komplementaritas dan polaritas antara dua hal.. Segala sesuatu telah diciptakan berpasang-pasangan.
Pemahaman tentang bagaimana alam semesta ini tercipta memiliki pengaruh pada pembahasan masalah teologi dan bagaimana seharusnya kita mengimaninya. Disini, tampak pula adanya polaritas yang terjadi antar dua buah madzhab pemikiran yang berkembang, yakni didalam tradisi Islam antara konsep “Ketak-terbandingan Tuhan” dan “Keserupaan-Nya(Tasybih)”, dan dalam tradisi Cina, antara penekanan Confucius pada Yang dan penitik-beratan Taoisme pada Yin, yang pada hakekatnya kedua hal tersebut merupakan bagian / sisi komplementaritas dari Realitas sempurna.
Dalam kedua pemikiran diatas, nampak adanya kesamaan konsep tentang dualisme Realitas primordial dari segala sesuatu. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa antara corak pemikiran Islam dan Cina, dalam kapasitas tertentu, memiliki kesamaan, khususnya berkaitan dengan konsep kosmologi yang berpengaruh pada pemikiran-pemikiran teologi..
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhori, Abu Abdillah bin Ismail. Shohih Bukhori. Haramain, tt.
Affifi, A. E. . A Mistical Philosopy of Muhyiddin Ibnul Arabi. Penterjemah Syahril Nawi dan Nandi Rahman. Filsafat Mistik Ibnu ‘Arabi. Gaya Media Pratama. Jakarta: tt.
Murata, Sachiko. The Tao of Islam : A Sourcebook of Gender in Islamic Thought. Penterjemah: Rahman Astuti dan M. Nasrullah. The Tao of Islam : Kitab Rujukan tentang relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam. Mizan. Jakarta: 1996.
Smith, Houston. The Relegions of Man Penterjemah : Safroedin Bahri. Agama-agama Manusia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: 1995.