Sabtu, 21 Mei 2011

AS-SUNNAH QOBLA TADWIN :

Jumat, 20 November 2009
AS-SUNNAH QOBLA TADWIN :
Periwayatan dan Perkembangan Hadis Rasul sebelum dilakukan Kodifikasi pada Masa Umar ibn Abd al-Aziz

Oleh : KHOIRUL FALIHIN


PENDAHULUAN
Sunnah adalah salah satu wahyu tuhan yang disampaikan Allah kepada nabi-Nya. Al-Qur’an telah menandaskan bahwa Rasul tiada berkata menurut hawa nafsunya, tetapi apa yang beliau katakan adalah wahyu yang diberikan.[1] Dengan demikian, sunnah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syar’i dan mengikutinya hukumnya wajib, karena Allah swt telah memerintahkan kita untuk mentaati Rasul sebagaimana mentaati Allah sendiri, baik terhadap perintah-perintahnya maupun larangannya.[2] Namun, fakta sejarah menunjukkan ada sebagian kelompok di kalangan umat Islam yang secara terang-terangan menolak hadis (as-sunnah) sebagai dasar pokok hukum agama (inkarus-sunnah), baik menolak secara keseluruhan, ataupun menolak sebagian darinya. [3]
Mereka yang berpaham inkarus-sunnah ini, seperti dinyatakan M. Syuhudi Ismail dalam Metodologi Penelitian hadis (1991), umumnya orang-orang yang tidak memiliki pemahaman yang luas tentang bahasa arab, ul}umut-tafsir, ulumul hadis, khususnya berkenaan dengan sejarah penghimpunan hadis, pengetahuan islam, dan bahkan dasar-dasar pokok dari pengetahuan islam.
Makalah ini membahas secara khusus tentang metode periwayatan hadis dan perkembangannya sebelum dilakukan kodifikasi hadis oleh Imam Syihab Az-Zuhri[4] (w.124 H) pada kurun awal abad kedua hijriah, dimasa pemerintahan khalifah Umar ibn abd. Al-Aziz ( 99 – 101 H.).
Isi makalah ini penulis bagi dalam 3 (tiga) segmen sebagai topik utama, dan masing-masing segmen memiliki sub-topik yang dapat diuraikan sebagai berikut :
HADIS PADA MASA RASULULLAH SAW
A. Metode Dan Transmisi Hadis (As-Sunnah) Di Masa Rasul
B. Tradisi Tulisan (Al-Kitabah) Di Masa Rasul
C. Penyebaran Hadis Di Masa Rasul

HADIS PADA MASA SAHABAT
A. Kontribusi Sahabat Dalam Periwayatan Hadis
B. Membatasi Hadis Dan Menyedikitkan Riwayat
C. Penulisan Dan Kumpulan Hadis (Sahifah) Di Masa Sahabat
D. Penyebaran Hadis Di Masa Sahabat
E. Rihlah (Perjalanan Ilmiyah) dalam mencari Hadis Rasul

HADIS PADA MASA TABI’IN
A. Peran Sahabat Dalam Transmisi Hadis Di Masa Tabi’in
B. Asas Pendidikan (Tarbawi) Hadis Di Masa Tabi’in
C. Penulisan Hadis (Al-Kitabah) Di Masa Tabi’in
D. Penyebaran Hadis Di Masa Tabi’in

HADIS DI MASA RASULULLAH SAW
A. METODE DAN TRANSMISI HADIS (AS-SUNNAH) DI MASA RASUL
Rasulullah saw menggunakan 3 (tiga) metode dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu : (1) Pengajaran secara verbal, (2) Media tulisan, dan (3) Praktek atau demonstrasi langsung [5]
1. Pengajaran hadis oleh Rasul secara verbal (secara lisan)
Rasul biasa mengajarkan hadis-hadisnya dengan menggunakan pengajaran verbal (metode safawi), dan untuk memperkuat hafalan dan pengertian mereka, Rasul mengulangi hal-hal yang dianggap penting hingga tiga kali. Selanjutnya, beliau mendengarkan kembali apa yang telah dipelajari para sahabat.[6]
Para sahabat biasa menyempatkan diri berdiskusi tentang hadis yang telah diterima dari Rasul ketika beliau beranjak dari majelis sampai mereka benar-benar menghafalnya dengan baik, seperti dinyatakan sahabat Anas bin Malik[7]. Bahkan, ada sebagian sahabat yang sengaja mencurahkan waktunya untuk menghafal hadis Rasul, seperti yang dan dilakukan oleh Abu Hurairah r.a. :[8]
2. Pengajaran hadis oleh Rasul dengan media tulisan
Seluruh surat (risalah) Rasul yang dikirim kepada para Raja, pembesar negeri dan kepala suku serta gubernur muslim dapat dikategorikan sebagai hadis yang menggunakan metode tulisan. Sebagian dari surat-surat beliau ada yang sangat panjang dan memuat hukum legal meliputi zakat, sedekah dan bentuk peribadatan. Sekurang-kurangnya ada 45 buah surat telah ditulis di masa beliau hidup,[9] disamping apa yang beliau diktekan kepada beberapa sahabat, seperti Ali bin Abi-Thalib, beberapa catatan yang dibuat Abdullah bin Amr ibn al-Ash dan perintah Rasul untuk membuat salinan khutbah beliau untuk Abu_Shah, seorang penduduk Yaman.[10]
3. Pengajaran hadis oleh Rasul dengan demontrasi langsung
Rasul mengajarkan tata-cara wudlu, shalat, berpuasa dan manasik haji dengan demonstrasi langsung. Sepanjang hidup beliau, Rasul telah memberikan pelajaran praktek dengan sempurna, petunjuk yang jelas untuk mengikuti tindakan beliau, semisal sabda beliau :”Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”[11] atau sabda beliau : ”Belajarlah dariku tentang ritual manasik haji” [12].
Untuk menjawab beberapa pertanyaan, Rasul biasa meminta si penanya untuk tinggal dan belajar hadis darinya dengan menunjukkannya dalam praktek langsung.[13]
Ketiga metode sebagaimana termaktub di atas, didapatkan para sahabat melalui 4 (empat) model pengajaran dalam pewarisan (transmisi) hadis Rasul, yang dapat diurai sebagai berikut :
1. Majelis ilmu yang dilakukan oleh Rasul bersama para sahabat
Para sahabat sangat antusias untuk mengikuti majelis Rasul saw, di sela-sela kesibukan mereka dalam berkerja, bahkan jika salah seorang dari mereka berhalangan hadir karena suatu keperluan, mereka sepakat untuk saling bergiliran datang dan memberikan informasi sepulang dari majelis Rasul agar tidak ketinggalan kabar tentang wahyu, baik al-Qur’an maupun hadis nabi, seperti yang dilakukan Umar ibn Khaththab dengan ibn Zaid :
كنت أنا و جـار لى من الأنصـار فى بني أمية أبن زيــد ، وهي من عـوالي المــدينة ، وكنـّا نتــناوب النزول عــلى رســول الله صلعم ، ينزل يوما ، و أنزل يوما، فـإذا نزلت جـئته بخـبرٍ ذلك اليـوم من الوحي و غيره ، وإذا نزل فعـل مثل ذلك[14]
2. Adanya suatu peristiwa yang terjadi pada diri Rasul, kemudian beliau menjelaskan ketentuan hukumnya.
Penjelasan Rasulullah saw terhadap suatu peristiwa yang dialami langsung oleh beliau menjadi salah-satu sumber pokok dalam penetapan hukum syar’i. Fatwa Rasul, selanjutnya menyebar dikalangan para sahabat. Contoh kasus yang menggambarkan model ini adalah peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra :
أَنَّ رسـول الله صلعم مـرّ برجل يبيع طعـاما فسأله كيف تبيع فأخـبرَه , فأوحي إليه أُدخلْ يدك فيه , فأدخل يده , فإذا هو مبـلوْلٌ , فقـال رسـول الله صلعم} لَيْسَ مِنَّـا مَنْ غَـشَّ[15]{
3. Adanya suatu peristiwa yang terjadi dikalangan sahabat, kemudian mereka bertanya kepada Rasul, dan beliau memberikan fatwa sebagai jawaban dan putusan hukum.
Para sahabat biasa meminta fatwa dan jawaban atas persoalan hukum yang mereka hadapi kepada Rasulullah saw. Contoh kasus yang menggambarkan model ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib r.a.:
كنت رجـلاً مـذاء فكنت أستـحي أن أسأل رَسُـوْلَ اللهِ صلعم لمكان إبنته فأمر المقداد بن الأسواد فسأله يغسل ذكره و يتوضّـأ[16]
4. Kesaksian para sahabat terhadap tindakan yang telah diperbuat Rasul.
Sikap dan tindakan Rasul dalam menghadapi sesuatu tidak luput dari pantauan sahabat dan menjadi salah-satu model dalam penyampaian hadis, contoh kasus adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abd Salim bin Abdillah tentang tindakan Rasul ketika mengantarkan jenazah :
عَنْ عَبْدِاللهِ بن عمرأَنَّه رَأَي رَسُـوْلَ اللهِ صلعم وَ أَبا بكـر و عمـر يمشـون أمـام الخـنازة. [17]
B. TRADISI TULISAN (AL-KITABAH) DI MASA RASUL
Disamping tradisi lisan (safawi), transmisi hadis Rasul kepada para sahabat juga dilakukan dengan metode kitabah (penulisan). Walaupun diketahui adanya larangan langsung dari Rasul terhadap penulisan hadis[18], namun dapat dipahami bahwa larangan tersebut tidak bersifat umum (am) [19]. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa sahabat yang aktif menulis hadis[20] dan memiliki shahifah berisi kumpulan hadis tatkala beliau masih hidup[21]. Rasul juga pernah mengirimkan surat berisi ajakan mengikuti risalah (dien al-Islam) kepada sejumlah kepala suku, pejabat dan kepala negara yang belum memeluk islam[22]
Silang pendapat tentang larangan penulisan (al-Kitabah) hadis dan diperbolehkannya (ijazat al-kitabah), menurut penulis dapat dipahami sebagai berikut : Hadis tentang larangan menulis (al-Kitabah) sunnah riwayat Abu Sa’id Al Hudriy didasari kekhawatiran akan bercampurnya nash, antara kalam Allah (Al-Qur’an) dengan sunnah terjadi pada masa-masa awal perkembangan islam. Setelah Al-Qur’an hampir tuntas diturunkan dan risalah mendekati kesempurnaannya, Rasulullah saw memperkenankan sahabat melakukan penulisan terhadap hadis, hal ini dapat dilihat dari asbab al-wurud al-hadith diperbolehkannya kitabah yang terjadi pada masa-masa akhir kehidupan Rasul saw : (1) Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash masuk islam pada awal tahun 7 H ; (2)Kisah penulisan hadis untuh Abu- Sah, terjadi pada saat pembebasan kota mekah (Fath al-Makkah) di tahun 8 H ; (3) Hadis yang menceritakan bahwa Rasul meminta sahabat menulis ketika beliau sakit terjadi menjelang akhir hayat beliau. Hal ini menguatkan pendapat sebagian ulama’ atas di naskhnya hadis larangan Al-Kitabah dengan kebolehannya[23]
C. PENYEBARAN HADIS DI MASA RASUL
Di masa Rasul, Al-hadith menyebar bersama Kitabullah sejak awal perkembangan islam, di mulai dari sebuah perkumpulan rahasia kaum muslimin di rumah al-Arqam bin Abdi Manaf. Mereka mempelajari hukum islam, kitabullah dan tata-cara ibadah dari Rasul saw, hingga menyebarnya agama islam di seluruh jazirah Arab. Selama itu pula Rasul berdakwah, memberi fatwa, menyampaikan khutbah baik diwaktu senggang maupun sibuk.
Proses penyebaran hadis di masa Rasul tidak lepas dari dukungan berbagai faktor yang dapat diurai sebagai berikut :
1. Semangat Rasul dalam menyampaikan dakwah islam
Rasulullah saw berjuang siang malam berdakwah menyampaikan risalah islamiyah kepada para kabilah dan suku dengan menanggung kesukaran dan kepedihan. Beliau tiada henti berdakwah hingga islam menjadi jaya dan kuatlah daulah al-islamiyah.
2. Karakteristik Islam dan aturan-aturannya yang baru.
Karakteristik agama Islam dan aturan-aturan baru yang dibawa Rasul mampu menarik perhatian dan membuat sebagian umat penasaran, bertanya dan mempelajari ajaran serta hukum dari Rasul. Setelah mendengarkan dakwah rasul, sebagian dari mereka ada yang membenarkan dan menyatakan diri masuk islam, lalu kembali kepada kaumnya untuk menyampaikan apa yang mereka dengar dari Rasul saw.
3. Antusias Sahabat Rasul.
Semangat sahabat dalam mempelajari hadis Rasul begitu tinggi dalam menghafal, menghayati dan mengamalkan hadis Rasul. Mereka juga menyampaikannya kepada para sahabat rasul yang lain dan generasi selanjutnya.
4. Istri-istri Rasul (ummahat al-Mu’minin) memiliki peranan penting dalam penyebaran hadis.
Sebagian wanita muslimah segan untuk bertanya langsung kepada Rasul saw, sehingga mereka menyampaikannya melalui istri-istri beliau yang senantiasa mendampingi Rasul untuk mendapatkan jawaban dan kepastian hukum. Dari para istri Rasul inilah, sahabat muslimah banyak mendapatkan jawaban atas hukum dan informasi berkenaan dengan as-Sunnah.
5. Sahabat di kalangan muslimah.
Sahabat muslimah memiliki pengaruh yang besar dalam melestarikan dan menyebarkan sunnah tidak kalah dengan kaum pria. Mereka sangat antusias mengikuti majelis rasul, dan bahkan, meminta untuk diadakan majelis khusus kaum muslimah agar mereka dapat bertanya tentang urusan mereka dan belajar tentang hukum Islam. [24]
6. Delegasi, utusan dan risalah yang dikirim nabi kepada para kabilah, pejabat dan kepala negara.
Pendelegasian sahabat oleh Rasul setelah perjanjian Hudaibiyah, turut berperan dalam menyebarkan sunnah. Rasul mengutus sebagian sahabatnya ke berbagai wilayah untuk melakukan dakwah islam. Beliaupun berkirim surat kepada beberapa kepala negara tetangga. Delegasi yang dikirim Rasul memiliki peran penting dalam penyebaran hadis mengingat rasul memberikan petunjuk tentang bagaimana cara berdakwah, seperti wasiat yang disampaikan Rasul kepada Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-‘Asy’ari ketika hendak dikirim ke negeri Yaman.[25]
7. Penaklukan Kota Mekkah (Fath al-Makkah) terjadi pada tahun 8 H.
Rasul menaklukan kota mekkah bersama dengan 10.000 kaum muslimin. Sesudah menghancurkan berhala, beliau berkhutbah dihadapan puluhan ribu kaum muslimin dan musyrikin, memaafkan musuh-musuh nabi dan banyak menerangkan tentang hukum islam. Pertemuan dalam fath al-Makkah yang melibatkan kaum muslimin dari berbagai penjuru memberi implikasi yang amat besar bagi tersebarnya dakwah islam, termasuk as-sunnah.
8. Haji perpisahan (Haji Wada’) pada dzul hijjah tahun 10 H.
Rasul melakukan Haji Wada’ bersama serombongan besar umat islam yang mencapai jumlah 90.000 orang.. Ketika wukuf di Arafah, Rasul saw berkhutbah di hadapan kaum muslimin tentang hukum islam, seperti keharaman darah (jiwa) dan harta kaum muslimin, menepati amanah dan lain sebagainya. Khutbah Rasul di haji wada’ merupakan sarana yang paling penting dalam penyebaran sunnah diantara kabilah-kabilah arab, karena khutbah tersebut disampaikan dan didengarkan oleh kaum muslimin dalam jumlah yang sangat besar.
9. Delegasi yang datang kepada nabi sesudah Fath al-Makkah dan Haji Wada’.
Kedatangan delegasi atau utusan dari berbagai kabilah untuk memberikan ba’iat kepada Rasul digunakan oleh beliau untuk menyampaikan pengetahuan tentang islam, nasehat dan petunjuk tentang risalah. Delegasi-delegasi tersebut antara lain : delegasi Dhimam bin Tsa’labah, Delegasi Abd al-Qais, Delegasi Bani Hanifah, al-Tha’i, Kindah, dan delegasi yang lain. Keberadaan delegasi ini turut memberikan pengaruh besar bagi penyebaran dakwah islam dan hadis.[26]
*******
HADIS DI MASA SAHABAT
A. KONTRIBUSI SAHABAT DALAM PERIWAYATAN HADIS RASUL
Tradisi lisan (safawi) dalam mendapatkan pengajaran tentang hadis Rasul terus berlangsung pada masa sahabat, mereka melakukan transmisi hadis dengan jalan sima’i (mendengarkan ucapan) sahabat yang pernah mendapatkan hadis dari Rasulullah saw lalu menyampaikannya kepada sahabat lain secara getok-tular (melalui lisan). Disamping metode yang telah ghalib digunakan masa itu, sebagian kecil sahabat juga mengembangkan tradisi tulisan (al-kitabah). Para sahabat memberikan kontribusi yang amat besar bagi perkembangan tasyrik Islami. Jasa mereka dalam mengumpulkan hadis Rasul yang menjadi sumber rujukan utama setelah al-Qur’an menjadi warisan amat berharga bagi dunia Islam sepanjang masa.
Sejarah telah mencatat beberapa beberapa sahabat utama yang telah memberikan kontribusi perbendaharaan Hadis, seperti : Abu Hurairah (5374 hadis), Ibn Umar ibn Al-Khaththab (2630 hadis), Anas ibn Malik (2286 hadis); ‘Aisyah umm al-Mu’mi-nin (2210 hadis), Ibn Al-Abbas (1660 hadis); Jabir ibn Abdillah (1540 hadis), Abu Sa’id Al-Hudriy (1170 hadis), ibn Mas’ud (748 hadis), Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash (700 hadis), Umar ibn Al-Khaththab (537 hadis), Ali ibn Abi-Thalib (536 hadis), Abu Musa al-Asy’ari (360 hadis), al-Barra’ ibn ‘Azib (305 hadis)[27]
B. MEMBATASI HADIS DAN MENYEDIKITKAN RIWAYAT
Para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis Rasul. Mereka hanya mau meriwayatkan hadis ketika dalam keadaan yang dibutuhkan saja. Hal ini mereka lakukan demi menghindari kekeliruan atau salah tafsir terhadap sumber tasyri’ yang kedua setelah Al-Qur’an[28] dan sebagai penghormatan atas sunnah seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar ibn Al-Khaththab[29]. Tak cukup sampai di situ, dalam meriwayatkan sebuah hadis, para sahabat berupaya menguatkannya dengan kesaksian sahabat lain, seperti tindakan yang diambil Abu Bakar as-shiddiq dalam hadis tentang hak waris bagi seorang nenek yang diriwayatkan ibnu Syihab[30].
Begitu berhati-hatinya para sahabat dalam meriwayatkan hadis, menjadikan masa ini dikenal sebagai periode Tasabbut Wa al-Iqlal min ar-Riwayah (Periode membatasi hadis dan menyedikitkan Riwayat) yang berlangsung di masa khulafaaur-Rasyidin, terutama zaman khalifah Abu Bakar dan Umar ibn al-Khaththab. Kedua khalifah tersebut menerapkan kebijakan yang amat ketat dalam meriwayatkan hadis Rasul. Abu Bakar dan Umar tidak mau menerima hadis jika tidak disaksikan kebenarannya oleh orang lain seperti kejadian yang telah penulis uraikan dari riwayat ibnu Syihab di atas. Khalifah Umar pun menekan para sahabat supaya menyedikitkan riwayat.[31]
Periwayatan hadis pada masa kekhalifahan Uthman bin affan dan Ali bin Abi-Thalib meneruskan ciri dari kedua pendahulunya. Tetapi perkembangan masyarakat waktu itu sudah berbeda dengan waktu sebelumnya. Perkembangan dan perubahan tersebut membawa pengaruh, misalnya, bila di zaman Umar larangan periwayatan hadis dilakukan dengan tegas, maka pada masa Utsman dan Ali larangan itu tidak setegas zaman sebelumnya. Para sahabat sebagai nara sumber hadis tidak lagi hanya bermukim di madinah sebagai akibat kebijakan yang ditetapkan umar yang melarang para sahabat pindah keluar kota tersebut, tetapi mereka terpencar-pencar ke beberapa daerah baru. Akibatnya, penyebaran hadis dan pengembangan riwayat secara lebih jauh mulai tak terhindarkan.[32]
C. PENULISAN DAN KUMPULAN HADIS (SAHIFAH) DI MASA SAHABAT
Penulisan hadis pada masa sahabat telah terjadi semenjak awal masa pemerintahan Khulafaur-Rasyidin . Kala itu, Abu Bakar as-Shiddiq telah menulis hadis dan sunnah yang berkaitan dengan zakat dan shadaqah dan memerintahkan kepada Anas ibn Malik untuk mengutipnya sebagai acuan hukum bagi penduduk Bahrain.[33] Demikian pula pada masa kepemimpinan khalifah Umar ibn al-Khaththab. Beliau pernah berkeinginan mengumpulkan hadis dan menyusunnya menjadi kitab sunnah. Kepada para sahabat, Umar meminta nasehat dan masukan, maka para sahabat pun menyarankan untuk menulisnya. Setelah beristikharah selama sebulan, Umar akhirnya mengurungkan niatnya untuk menulis hadis karena khawatir para sahabat menjadi tersibukkan dengan mempelajari penulisan dan kitab hadis, meninggalkan pedoman dasar kaum muslimin, yakni Kitabullah, dan beliau pun berkata :
إنّى كنت أردت أن أكتـب السنن وإنّى ذكـرت قـوما كـانوا قبـلكم كتـبـوا كتبًا فأكـبوا عليـها وتركـوا كتـاب الله ، و إنّى والله لا ألبــس كتـاب الله بشيءٍ أبـدّا)رواه البيهـقى فى المـدخل[34](
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penulisan (Al-Kitabah) hadis telah terjadi pada masa awal khulafaur Rasyidin, namun bukan merupakan kebijakan resmi negara karena larangan dan diperbolehkannya masih dipertentangkan. dikalangan sahabat[35] . Beberapa sahabat yang diketahui pernah menulis hadis dan diantaranya memiliki sahifah hadis, antara lain : (1) Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash, (2) Abu Bakar[36], (3) Umar ibn Al-Khaththab, (4) Ali ibn Abi-Thalib, (5) Al-Hasan ibn Ali, (6) Abdullah ibn Al-Abbas, (7) Anas ibn Malik, (8) Abu Hurairah, (9) Samurah ibn Jundub, (10) Jabir ibn Abdillah, (11) Abu Umamah al-Bahily, (12) Abdullah ibn Abi ‘Aufa, (13) Mughirah ibn Syu’bah,(14)Abdullah ibn Umar[37]
Adapun Sahifah Hadis yang termasyhur dari kalangan sahabat Rasul adalah As-shahifah al-shadiqah milik Ibn Amr ibn Al-‘Ash, Ar-Risalah milik Samurah ibn Jundab, Shahifah Jabir milik Jabir ibn Abdillah dan Shahifah Abu Hurairah.[38]
D. PENYEBARAN HADIS DI MASA SAHABAT
Sebelum Rasul wafat, beliau telah menyiapkan pasukan dibawah pimpinan Usamah bin Zaid untuk menaklukkan negeri Syam. Cita-cita rasul ini, selanjutnya diteruskan oleh pengganti beliau, khalifah Abu Bakar as-Shiddiq. Misi tersebut berlangsung sukses sehingga makin luaslah wilayah Daulah- Al-Islamiyah, hingga keluar jazizah Arab.
Islam berhasil menaklukkan seluruh wilayah Syam--yang meliputi Palestina, Ardan, Suriah dan Libanon, demikian juga negeri Irak pada tahun 17 H., selanjutnya Mesir (20 H), kemudian wilayah Persi dikuasai pada masa khalifah Uthman (21 H). Pada masa khilafah bani Ummayah, islam berhasil menguasai beberapa wilayah, seperti Samarkand (56 H), seperempat wilayah Andalusia (spanyol) di daratan eropa (93 H), Daratan tinggi Gunung Barnes (96 H) dan daratan Cina bagian timur (96 H).
Semakin luasnya wilayah daulah al-Islamiyah menjadikan sebagian sahabat rasul ber-migrasi ke negeri-negeri taklukan guna mengajarkan ilmu agama dan pengetahuan islam, termasuk hadis Rasul. Mereka mendirikan masjid dan sebagian sahabat bermukin di negeri tersebut untuk mengurus dan mengelola negara serta menyebarkan risalah islam.
Beberapa kota yang menjadi pusat penyebaran al-hadith, setelah datangnya para sahabat, antara lain :

1. Madinah al-Munawarah.
Sebagai pusat berkembangnya risalah islam. Para tokoh di kalangan sahabat yang terkenal, antara lain : Abu Bakar as-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Uthman, Ali, Abu Hurairah, Aisyah—umm al-mukminin, Abdullah ibn Umar, Abu Sa’id al-Hudriy, dan Zaid bin Tsabit.
2. Makkah al-Mukarramah.
Tatkala terjadi Fath al-Makkah (8 H), Rasul mengutus Mu’adz bin Jabal tetap tinggal untuk mengajarkan pengetahuan islam tentang halal-haram, dan berbagai hukum islam. Selain beliau, tokoh lain dikalangan sahabat yang pernah singgah atau berdiam di Makkah adalah Ibn Al-Abbas, ‘Utab ibn Asid, Khalid bin Asid, Al-Hakim bin Abi al-Ash, Utsman bin Abi Thalhah dan lainnya.
3. Kufah.
Banyak tokoh di kalangan sahabat yang berdiam di kota ini [39] , yang termasyhur adalah Ali bin Abi-Thalib, Saad bin Abi Waqash, Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail, serta Abdullah bin Mas’ud.
4. Bashra.
Tokoh terkenal dikalangan sahabat, antara lain Anas ibn Malik, Abu Musa al-‘Asy’ari, dan Ibn Al-Abbas
5. Syam
Tatkala negeri ini jatuh ke tangan kaum muslimin[40], Yazid bin Abi Sofyan berkirim surat kepada khalifah Umar untuk mengutus para ulama ke negeri itu. Umar ibn Al-Khaththab mengirimkan Mu’adz bin Jabal ke Palestina, Ubadah bin Shamid ke Hims, Abu Darda’ ke Damsyik, lalu mengirimkan Abdurrahman bin ghanim. Disamping nama-nama tersebut, tokoh-tokoh sahabat yang pergi ke negeri syam, antara lain : Abu Ubaidah bin Jarrah, Bilal bin Rabah, Syurahbil bin hasanah, Khalid bin Walid, ‘Iyad bin Ghanim, al-Fadhl ibn al-Abbas bin Abdul-Muthalib—tinggal di Ardan, ‘Auf bin Malik al-Asyja’i, dan Al-‘Irbadh bin sariyah.
6. Mesir
Kaum muslimin memasuki kota Mesir pada masa khalifah Umar, di bawah kepemimpinan Amr ibn Al-Ash. Bersamanya terdapat tokoh-tokoh sahabat, antara lain : Zubair bin Awwam, Ubadah bin Shamid, Maslamah bin Mukhallad, Miqdad bin Al-Aswad. Datang pula ke negeri ini, Uqbah bin Amr al-Juhni, Kharijah bin Hudafah, Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarah, Muhammiah bin Juz’i, Abdullah bin Juz’i , Abdullah bin Harist bin Juz’i , Abu Busrah al-Ghifari, Abu Said al-Hudriy, Mu’ad bin Anas al-Juhni, Mu’awiyah bin Hudaij dan Ziyad bin Al-Harith al-Shada’i.
7. Marokko dan Andalusia.
Para sahabat yang pergi ke negeri ini, antara lain Abdullah ibn al-Abbas, Abdullah bin Amr ibn al-Ash, Abdullah bin Ja’far, Al-Hasan dan al-Husain, Abdullah bin Zubair, Uqbah bin Nafi’ (bergabung di daerah Burqah). Datang pula sahabat Mas’ud bin al-Aswad al-Balwa, Miswar ibn Makhramah, Miqdad bin al-aswad al-Kindi, Bilal bin Harith bin Ashim al-Mazani, Jablah bin amr, Ibnu Tsa’labah, abi Mas’ud Al-Badari dan salimah ibn Akwa’
8. Yaman
Rasul telah mengutus dua orang sahabat ke negeri itu, yaitu Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
9. Khurasan
Sahabat nabi yang pergi ke negeri ini adalah Abu Barjah al-Aslami, al-Hakim bin Amir al-Ghifari, Abdullah bin Hazm al-Aslami, Qatsam bin Al-Abbas (dimakamkan di samarkand). Wilayah Bukhara : Isa bin Musa, Ahmad bin Hafs al-Faqih, Muhammad bin Salam al-Baikindi, Abdullah bin Muhammad al-sindi, Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-bukhari. Wilayah Samarkand : Abu Abdillah bin Abdullah bin Abdur-Rahman ad-Darimi dan Muhammad ibn Nasr al-Marwazi.
E. RIHLAH (PERJALANAN ILMIYAH) DALAM MENCARI HADIS
Sebagai akibat menyebarnya para sahabat ke berbagai penjuru dalam wilayah Daulah al-islamiyah telah memberikan implikasi penting bagi tersebarnya hadis Rasul saw ke seluruh penjuru negeri. Hal ini juga menjadi penyebab timbulnya tradisi Rihlah (perjalanan ilmiyah) dalam mencari hadis rasul baik di kalangan Sahabat, para Tabi’in maupun generasi sesudahnya.
Beberapa contoh perjalanan dalam mencari hadis dari kalangan Sahabat dapat kita lihat seperti yang dilakukan sahabat Abu Ayyub al-Anshari yang berangkat dari Madinah menuju Mesir untuk menemui Uqbah bin Amir guna menanyakan hadis yang beliau dengar dari Rasulullah saw, yang tiada didengar oleh seorang pun dari sahabat, kecuali dirinya dengan Uqbah bin Amir.[41] Demikian pula sahabat Jabir bin Abdullah, yang melakukan perjalanan selama satu bulan dari Madinah ke negeri Syam untuk mengecek kebenaran suatu riwayat hadis Rasul yang ia dapatkan kepada Abdullah bin Unais. Jabir berkata : ” telah sampai kepadaku sebuah hadis yang dikatakan berasal dari anda, sesungguhnya anda mendengar Rasulullah saw telah bersabda tentang al-madhalim yang aku tidak mendengarnya.. dst…”[42]
Tradisi Rihlah tersebut menjadi warisan budaya ilmiyah bagi para pencari hadis dikalangan Tabi’in dan generasi selanjutnya. Abi al-Aliyah berkata : “Kami mendengar sebuah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Rasul di Basrah, maka kami tidak pernah merasa lega sehingga kami pergi ke Madinah dan mendengarkan langsung dari lisan mereka.”[43]
Para Tabi’in ahli ilmu gemar melakukan Rihlah dalam pencarian hadis, dan berpandangan bahwa perjalanan panjang dalam pencarian hadis sama sekali bukan merupakan pekerjaan yang sia-sia, seperti dinyatakan Amir al-Sya’bi :
لو أنّ رجـلا سـافــرمن أقــصى الشـام إلى أقــصى اليــمن لســمع كلمــة حـكمــة ما رأيـــته أن ســفــره ضــاع[44]
*******

HADIS DI MASA TABI’IN
A. PERAN SAHABAT DALAM TRANSMISI HADIS DI MASA TABI’IN
Aktivitas Tabi’in dalam melestarikan hadis tidak lepas dari peran besar para sahabat yang menjadi murid dan penyambung lidah Rasulullah saw. Sahabat Rasul adalah guru langsung para tabi’in dalam ilmu agama --termasuk hadis, yang menjadi panutan dan rujukan baik dalam pandangan, sikap dan amaliyah dalam menjaga dan melestarikan As-Sunnah.
Para sahabat, tidak pernah merasa cukup dengan mendiskusikan hadis yang telah diterimanya dari Rasul bersama rekannya dari kalangan sahabat, akan tetapi, mereka pun membahas hadis bersama para pelajar –dari kalangan tabi’in, memintanya menghafal dan menganjurkan para tabi’in untuk menghadiri majelis ahlul-ilm untuk mendapatkan hadis dari mereka.[45]
Para sahabat menunjukkan kecintaan mereka yang besar kepada para pencari ilmu[46] dan menyerukan kepada para pelajar untuk menyebarkannya, seperti yang ungkapkan oleh Abi Umamah Al-Bahily :
أنّ هــذا المجـلس من بـلاغ الله إيّـاكم ، و أنّ رسـول اللهِ صلعم قـد بلـغ ما أرسـل به ، وأنتم فبلِّـغـوا عـنّاأحـسن ما تسمـعون. وفي رواية كان يحـدثهم حديـث كثيْرًا عن رسـول اللهِ صلعم فإذا سكـت قـال: )أعقلـوا بـلّغـوا عـنّا كمـا بلّـغناكـم(.. [47]
Amaliyah para sahabat nabi dalam melestarikan hadis Rasul sebagaimana termaktub, selanjutnya diteruskan oleh para pelajar beliau yang menjadi ulama’ dari kalangan Tabi’in, seperti Said bin al-Musayyab, Ibnu Sirin. As-Sya’bi, Sa’id bin Urwah dan tokoh lainnya. Bahkan, sebagian dari ulama’ hadis Tabi’in ada pula yang suka mengumpulkan anak-anak kecil lalu mengajarinya hadis, seperti Ismail bin Raja’ dan al-A’masy, sehingga ketika Sulaiman bin Mahran bertanya,”anda mengajari al-hadith kepada mereka (anak-anak kecil) itu ?, Al-A’masy menjawab :”mereka (anak-anak kecil) itu yang akan menjaga agamamu..” [48]. Demikian juga dari kalangan Tabi’in, Sufyan al-Thauri, berkata:”bilamana mereka—para pelajar hadis, tidak mendatangiku, maka aku akan mendatangi mereka di rumahnya”[49].
B. ASAS PENDIDIKAN (TARBAWI) HADIS DI MASA TABI’IN
Dalam melakukan transmisi hadis, para ulama’ baik di kalangan sahabat maupun tabi’in memiliki prinsip-prinsip dasar yang dijaga dan diterapkan secara ketat sehingga kualitas hadis, baik matan maupun sanad, tetap terjaga dengan baik.
Ada pun beberapa hal yang mendasari bagaimana proses pendidikan (tarbawi) al-hadith dilakukan pada masa Tabi’in, dapat diurai sebagai berikut :
1. Mengamati kondisi orang yang menerima hadis.
Dalam menyampaikan hadis harus disesuaikan dengan kadar kemampuan berfikir si penerima, jika tidak demikian, maka akan menyebabkan timbulnya fitnah, seperti dinyatakan ibnu Mas’ud :
أنّ الرّجـل ليحـدث بالحـديـث فيسمـعه من لا يبـلغ عـقــله فهم ذلك الحـديـث, فيـكـون عليه فـتنة [50]

2. Hadis diberikan hanya kepada mereka yang ahli di bidangnya
untuk menghindari jatuhnya hadis Rasul yang mulia ke tangan orang yang tidak tepat, seperti teguran al-A’masy kepada Syu’bah bin Al-Hajjaj :
رأي الأعـمــش شعـبـه بن الحـجـاج يحــدث قـوما فقـال لـه : }ويحـاك يـا شعـبـه ...تعـلّــقَ الــدّرفي أعـناق الخـنـازيـر.{ [51]
3. Mempelajari hadis setelah Al-Qur’an al-Karim.
Para ahlul-Hadis bersepakat bahwa tidaklah layak bagi sesorang mempelajari hadis kecuali ia telah membaca dan menghafal al-Qur’an, baik seluruhnya atau sebagian besar dari Kitabullah, seperti yang dialami oleh Hafs bin Ghiyats tatkala hendak belajar hadis kepada al-A’masy.[52]
4. Tidak menyampaikan hadis yang tidak dikenal.
Kekhawatiran sahabat dan tabi’in dalam menyampaikan hadis dhaif membuat mereka membutuhkan penguat (isbath) bagi hadis yang diriwayatkan. Mereka juga menganjurkan untuk meriwayatkan hadis-hadis yang dikenal dan menyebarkannya diantara para pencari ilmu, terutama bagi para pemula. Seperti ucapan Ali bin Abi-Thalib :
أيّهـالنّـاس! تحـبّــون أن يكــذّب الله و رســوله ؟ حـدّثـواالنّـاس بما يـعـرفـون ، و دعـوا ما ينكـرون...[53]
5. Aneka ragam metode dalam penyampaian hadis.
Para sahabat menggunakan metode yang bervariasi dalam menyampaikan hadis Rasul. Terkadang mereka melantunkan syi’ir atau menceritakan masa lalu di jaman jahiliyah, setelah menyampaikan hadis.[54] Atau tidak mengulur-ulur waktu pengajaran hadis di suatu majelis [55] semua itu dilakukan untuk mengusir kejenuhan dan menghindari hilangnya faidah dalam majelis ilmu.
6. Penghormatan terhadap hadis rasul.
Para sahabat dan tabi’in amat menghormati as-Sunnah melebihi apa pun selain Kitabullah. Mereka tidak mau mencampurkan antara sunnah dengan ra’yi, menghormati majelis-majelis hadis dan mendidik setiap orang, baik tua maupun muda, dalam memperlakukan hadis Rasul. Dalam menyampaikan atau membaca hadis, mereka terlebih dahulu berwudlu, seperti dinyatakan oleh al-A’masy[56] dan Qotadah[57]. Bahkan, saat Said bin al-Musayyab hendak menyampaikan hadis sedangkan dirinya dalam keadaan terbaring sakit ditempat tidur, beliau meminta agar dibantu duduk demi menghormati hadis Rasul.[58]
7. Mudzakarah terhadap hadis.
Sebagaimana yang telah para sahabat lakukan, para tabi’in juga mendiskusikan hadis Rasul, baik secara berjamaah maupun sendirian. Bahkan, terkadang mudzakarah hadis berlangsung sepanjang malam hingga menjelang fajar[59] Hal ini mereka lakukan agar hadis Rasul mampu mereka hapal dan membekas dalam hati mereka sehingga tak terlupakan seperti dinyatakan oleh Sufyan :
إجـعلوأ الحديث حديـث أنفسكم, و فكّروا قلـوبكم تخفظوه[60]
C. TRADISI PENULISAN (AL-KITABAH) HADIS DI MASA TABI’IN
Seperti pada masa sahabat, ulama’ Tabi’in berbeda pendapat tentang boleh-tidaknya penulisan (al-Kitabah) hadis Rasul. Sebagian ulama’ Tabi’in dari generasi awal, melarang menulis hadis, seperti; Ubaidah bin Amr al-Salmani al-Muradi[61] (w.82 H), Ibrahim bin Zaid at-Taimy (w.92H), Jabir bin Zaid (w.93 H), dan Ibrahim an-Nakha’i (w.92 H).
Mereka yang tidak menyukai penulisan (al-Kitabah) hadis menjadi semakin kuat penolakannya setelah melihat bahwa pendapat-pendapat pribadi mereka semakin dikenal masyarakat, karena takut murid-muridnya akan menulis bersama dengan hadis Rasul sehingga menjadikan bercampurnya hadis dengan pendapat pribadi (al-Ra’yu).[62]
Adapun kelompok ulama’ Tabi’in yang membolehkan penulisan (al-Kitabah) hadis, diantaranya : Said bin Jabir (w.95 H), Sa’id bin al-Musayyab (w.94 H), Amir al-Sya’bi (w. 101 H), al-Dlahak bin Muzahim (w.105 H)[63], dan lainnya.
Bila kita cermati bagaimana cara Sahabat mengajarkan hadis kepada para Tabi’in, banyak khabar yang menguatkan bahwa sesungguhnya para Sahabat mem-perbolehkan penulisan hadis, baik mereka menulis hadis untuk diri sendiri, atau para pelajar –dari kalangan Tabi’in-- menulis didepan guru-guru mereka -dari kalangan sahabat. Para sahabat juga menyeru kepada Tabi’in untuk mempelajari ilmu dan mencatatnya, seperti ucapan Umar ibn al-Khaththab :”ikatlah ilmu dengan Tulisan…”[64] atau perintah Anas bin malik kepada anak-anaknya ;”Wahai anakku, ikatlah ilmu dengan tulisan..”[65], dan sewaktu Anas sedang mendiktekan hadis , berkumpullah banyak orang, maka ia pun datang membawa kumpulan shahifah lalu diulurkan kepada mereka seraya berkata : “ini adalah hadis-hadis yang aku dengar dan aku catat dari Rasulullah saw, serta aku perlihatkan kepada beliau.”[66] Demikian pula perintah al-Hasan kepada anak-anaknya dan putra al-Husain :
تعـلّموا تعـلّموا ، فإنّكم صغـارقـومٍ اليوم, تكـونون كبـارهم غـدًا ، فمن لم يحـفظ منـكم فليكتـب. وفي رواية) : فليكتـب ، وليضـعه في بيته([67]
Para Tabi’in meneladani perilaku Sahabat dalam melestarikan hadis Rasul. Tatkala ditemukan kesulitan dalam menghafal hadis, mereka pun menulisnya, atau meminta izin untuk menulis hadis, seperti permintaan izin Abdur-Rahman bin Hirmalah kepada Sa’id bin al-Musayyab dalam menulis hadis[68] Tak hanya itu, sebagian Tabi’in melakukan pencatatan secara intensif terhadap apa yang mereka dengar dari Sahabat, seperti diceritakan oleh Sa’id bin Jabir : “Ibnu Abbas mendikteku di shahifah sehingga aku memenuhinya, dan aku menulis di sepatuku hingga aku memenuhinya[69]…” , dalam riwayat yang lain, “aku mendengar Ibnu Umar dan Ibnu Abbas memperbincangkan hadis di waktu malam, maka aku menulisnya di tengah pelana unta sehingga datanglah waktu subuh, lalu aku menghapusnya[70]
Dengan demikian, tradisi penulisan (al-Kitabah) hadis yang telah berkem-bang semenjak zaman Rasulullah saw dan para Sahabat, diteruskan secara intensif oleh para Tabi’in dalam setiap generasinya[71], sebelum kodifikasi hadis dilakukan pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn abd al-Aziz (w.101 H).
D. PENYEBARAN HADIS DI MASA TABI’IN
Penyebaran hadis pada masa Tabi’in juga tidak dapat dipisahkan dari prestasi gemilang para sahabat Rasul dalam menegakkan panji daulah al-Islamiyah di beberapa negeri sebagaimana telah penulis uraikan pada bagian sebelumnya. Di setiap negeri yang ditaklukkan, berdiam para sahabat untuk membina dan mengelola negara serta memberikan pengajaran tentang Islam. Para pelajar muslim dari zaman Tabi’in mendapatkan pengetahuan Islam dari para sahabat ini. Pada periode selanjutnya, para tabi’in berperan sebagai guru bagi generasi berikutnya ( tabi’ al-Tabi’in ) yang mengajarkan tentang pengetahuan keislaman dan melakukan transmisi hadis.
Beberapa tokoh ulama’ hadis dari kalangan Tabi’in di berbagai wilayah daulah al-Islamiyah, antara lain :
1. Madinah : Sa’id bin al-Musayyab (w.93 H), Urwah bin Zubair (w.94 H), Salim bin Abdullah bin Umar(w.106 H), Nafi’ (w.117 H), Ibnu Syihab al-Zuhri (w.124H) , Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, Muhammad bin al-Munkadir
2. Makkah :‘Ikrimah (w.105 H), ‘Atha’ bin Abu Rabah (w.115 H), Mujahid bin Jabr, Thawus bin Kaisan,
3. Kufah : Amir bin Syurahil al-Sya’bi (w.104 H), Ibrahim al-Nakha’i (w.96 H), Alqamah (w.63 H), Kamil bin Zaid al-Nakha’i, Said bin Zubair al-Asadi, Abu Ishaq al-Sabi’i, Abdul Malik bin Umair.
4. Basrah : al-Hasan al-Basri (w.110 H), Muhammad bin Sirin (w.110 H), Ayyub al-sakhtiyani, Bahz bin Hakim al-Qusyairi, Yunus bin Abid, Khalid bin Mahran al-hida’i, Abdullah bin Aun, Ashim bin Sulaiman , Qotadah bin Du’amah al-Sudusi, Hisyam bin Hisan.
5. Syam : Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H) , Ka’ab al-Akhbar (w. 132 H), Salim bin Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al-Khaulani, Abu Sulaiman al-Darani, Umair bin Hani’ al-Anasi al-Darani, Abdur-Rahamn bin Umar al-Auza’i, Abu Hanifah, Mahqul al-Dimsaqi, Raja’ bin Haiwah, Buhair bin Said al-Kala’i , Tsaur bin Yazid al-Kala’i, Abdur-Rahman bin yazib bin Jabir.
6. Mesir : Yazib bin Abu Habib (w.126 H), Umar bin Harits, Khair bin Na’im al-Hadhrami, Abdullah bin Sulaiman al-Thawil, Abdur-Rahman bin Syuraih al-Ghafiqi, Haiwah bin Syuraih al-Tajiy.
7. Marokko (afrika) dan Andalusia : Saib bin Amir bin Hisyam, Ma’bad—saudara Abdullah bin Abbas, Abdur Rahman bin al-Aswad, Ashim ibn Umar ibn al-Khaththab, Abdul Malik bin Marwan, Abdur Rahman bin Zaid ibn al-Khaththab, Sulaiman bin Yasar—ulama’ Madinah, Ikrimah maula Ibn Abbas, Abu Manshur. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun pernah mengutus sepuluh ulama’ tabi’in ke afrika, diantaranya Hibban bin Abi Jablah, Ismail bin Abdullah al-Amur, Ismail bin Ubaid, Abur-Rahman ibn Rafi’ al-Tanwikhi, Sa’id bin Mas’ud al-Tajiy
8. Yaman : Hamam dan Wahab bin Munabbih (w.110 H), Thawus dan anaknya, Mu’ammar bin Rasyid, Abdur Rozaq bin Hamam.
9. Qozwaini : Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, Said bin Jabir, Samr ibn ‘Athiyah bin Abdur-Rahman, Syahr bin Hausib, Thulaihah bin Khuwailid al-Adasi
PENUTUP
Hadis berkembang melalui berbagai cara dan metode. Rasul sebagai guru agung telah memberikan teladan (uswah) kepada para sahabat dalam melestarikan Sunnah. Sepeninggal Rasul, pada gilirannya, tampillah para sehabat sebagai pembimbing dan guru bagi generasi Tabi’in dan seterusnya.
Tidak seperti al-Qur’an, yang sejak awal Rasulullah saw memerintahkan untuk mencatatnya, al-hadith membutuhkan waktu yang cukup panjang dalam pembentukan ilmiyah menuju fase Kodifikasinya (Tadwin al-hadith). Namun, beranggapan bahwa penulisan hadis sebagai tindakan yang dilarang secara mutlak di zaman Rasul maupun sahabat, adalah perbuatan yang naïf dan menafikan fakta sejarah. Kontroversi penulisan hadis harus dilihat dari bagaimana dan mengapa hal tercebut terjadi untuk memperoleh gambaran yang komprehensif tentang sejarah periwayatan Hadis.
Generasi Sahabat dan Tabi’in telah memberikan kontribusi yang sangat berharga dan warisan penting bagi lestarinya al-Sunnah dan penyebarannya sebagai sumber pokok agama Islam yang kedua, setelah al-Qur’an. Disamping itu, berkembangnya
Dipenghujung tulisan ini, penulis sampai pada kesimpulan bahwa hadis sebagai warisan tak ternilai bagi umat Islam merupakan pusaka yang senantiasa dijaga dan dilestarikan. Tiap generasi dari golongan Sahabat dan Tabi’in, khususnya kalangan ahlul-hadis berupaya menjaga kemurnian hadis dengan berbagai metoda dan tradisi ilmiah, seperti melalui hafalan, tulisan maupun Rihlah ilmiyah. Hadis sebelum kodifikasi, menapaki jalan terjal menuju pembentukannya sebagai disiplin ilmu yang sistematis dan menghadapi berbagai tantangan dalam upaya pemurniannya. Karena itu, karya besar para ulama’ dalam melestarikan hadis amat layak untuk diapresiasi, karena alHadis adalah mashdar al-tasyri’ yang utama setelah al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup ummat Islam. Semoga tulisan ini bermanfaat. Amin….
BIBLIOGRAFI
Al-Baghdadi, Imam Ahmad bin Ali al-Khatib, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Saami’, Muassasah al-Risalah, Bairut 1994.
------- Syarf ashbab al-hadith, Dar Ihya’ l-Sunnah al-Nabawiyah, 1971.
------- Taqyiid al-Ilm, Dar Ihya’ l-Sunnah al-Nabawiyh, 1974.
al-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad, Tadzkirah al-Huffadh, jilid 1..
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Tarikh Kabir, Vol. 1
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, Al-Sunnah Qabl Al-Tadwin, Maktabah Wahbah, Kairo, 1963.
------- Ushulul Hadis, Dar al-Fikr, Bairut 1989.
Al-Qurtubi, Abu Omar Yusuf, Jami’ bayan al-Ilm, vol. 1, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut..
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Bari, juz.1, Musthafa alBani al-Halabi, Mesir
Al-Syafi,i, Muhammad bin Idris, Al-Umm, Bairut : darul ma’arif, 1975,
Al-Azami, M. Musthafa, Studies in Hadis Methodologi and Literature, Chicago, Illinois
Fauzi Rifat,Al-Madkhal ila Tautsiq al-Sunnah, Muassasah al-Khanji, Mesir 1989.
Ibnu Shalah, Ulum al-hadith wa mustalatuhu, Maktabah Al-Malayiin.
Al-Dimsyaqi, Abu al-Fida’ Ibnu Kathir, Ihtishar Ulum Al-hadith, Dar al-Kutub Al-Ilmiyah.
Muhammad Abu Shuhbab, Al-Wasith fi ulum al-Musthalah al-hadith, Dar al-Fikr al-Arabi, Kairo.
Musnad Imam Ahmad, Dar al-Ma’arif, Kairo.
Al-Ramharmuzi, Hasan bin Abdur-Rahman, Al-Muhaddith al-Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’i, Maktabah Kulliyah Dar al-Ulum, Kairo. .
------- Al-Muhaddith al-Fashil, Maktabah Wizarah al-Tarbiyah Damsyik.
Shahih Bukhari,. Dar al-ulum al-Kutub, 1996
shahih Bukhari bi hasiyah al-sanadi, vol. 3..
Shahih Muslim.. Dar al-ulum al-Kutub, 1996
Shahih Muslim bi-syarh al-Nawawi, jilid 1.
AS-SUNNAH QOBLA TADWIN :
PERIWAYATAN DAN PERKEMBANGAN HADIS RASUL SEBELUM DILAKUKAN KODIFIKASI PADA
MASA UMAR IBN ABD AL-AZIZ

disampaikan dalam Diskusi Kelas Semester I
Program Pascasarjana (S-2) Konsentrasi PAI-FIQH

Dosen Pembimbing:
Prof. DR. H. ZAINUL ARIFIN, MA

al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi







Oleh :
KHOIRUL FALIHIN
NIM : F0.6.4.09.024

PROGRAM PASCASARJANA
IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2009
[1] Q.S. An-Najm : 3
[2] Q.S. Al-Hasyr : 7 ; Q.S. Al-Imran : 31, perhatikan pula Q.S. Al-Ahzab : 36 ; Q.S. An-Nisa’ : 59, 65 dan 80.
[3] Imam Syafi’i mensinyalir, ada tiga kelompok inkarus-sunnah, yaitu :
1. kelompok yang menolak hadis seluruhnya, baik yang mutawatir maupun hadis ahad.
2. kelompok yang menolak hadis, kecuali jika hadis tersebut ada persamaannya dengan Al-Qur’an,
3. kelompok yang menolak hadis ahad. (lihat Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Dar al-Fikr, 1990, vol VII, 287 – 301).
[4] Pendapat lain menyebutkan bahwa pelopor pengumpulan (tadwin) hadis adalah Ibn Hazm, gubernur Madinah yang diperintah oleh khalifah Umar ibn Abd al-Aziz untuk menulis hadis dari Amrah bint Abd al-Rahman al-anshari (w. 98 H) dan Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar (w.106). (lihat DR. Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, 89).
[5] M. M. Azami : Studies in Hadis Methodologi and Literature, Chicago, Illinois, hal 9
[6] Sahih Bukhari, Vol 1 Bab 30, 30
[7] Imam Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Saami’, Muassasah al-Risalah, Bairut 1994, 47,
[8] Muhammad Ajjaz Al-Khatib, Ushulul Hadis, Dar al-Fikr, Bairut 1989, 67. Lihat pula kitab Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi, A:182 No.1869.
[9] M.M. Azami : Kuttab al-Nabi, 25-112.
[10] Shahih Bukhari, Vol.1Bab al-Ilm No. 39, Dar ulum al-Kutub 1996, 36
[11]ibid, Vol 1, Bab Adhan, No.18, 155.
[12] Shahih Muslim, Vol 2, Bab Hajj, hadis No. 310, Dar ulum al-Kutub, 1996; 943.
[13] M.M. Azami, Studi in Hadis, 9-10.
[14] Lihat H.R. Bukhari, bab Ilm, No.39; 36.
[15] Musnad Imam Ahmad, vol. 13, hadis no. 18290. j.
[16] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, vol 1, 294; Sahih Muslim, vol.1 hadis No.17, 247.
[17] Musnad Ahmad vol 6, 248 hadis no. 4539. Keterangan lebih detail tentang bagaimana hadis Rasul diterima para sahabat silahkan simak Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, Al-Sunnah Qabl Al-Tadwin, Maktabah Wahbah, Kairo, 1963, 57-68. Lihat juga Al-Khatib, Ushul al-hadith, hal. 67 – 70.
[18] hadis riwayat Abu Sa’id Al-Hudriy. :
لاتكتبـوا عنّى ومن كتب عنّى غير القرآن فـليمـحه, و حدِّثـوا عنّى ولاحـرج, ومن كذب علىّ متعـمّدا فليتبوّأ مقعـده من النّـار)صحـيح المسـلم ص 229 ج Lihat pula Taqyiid al-Ilm, dha 3:1, 308; (8
.
[19] Fauzi Rifat,Al-Madkhal ila Tautsiq al-Sunnah, Muassasah al-Khanji, Mesir 1989, 53.
[20] Sebagian sahabat yang menulis hadis telah mendapat izin langsung dari Rasul saw, seperti Abdullah ibn Amr ibn Al-Ash (lihat Taqyid al-Ilm, dha 11.1, hal 74-82). Rasul juga telah mmberi peintah menulis hadis untuk Abu-Sah.
[21] Diantara shahifah hadis yang masyhur dari kalangan sahabat adalah Shahifah as-Shadiqah, milik Ibn Amr ibn Al-Ash., Ar-Risalah milik Samurah bin Jundub, dan Shahifah Jabir milik Jabir bin Abdillah.(lihat M.M.Azami, Studi in Hadis., hal 26-27); Ibnu Shalah, Ulum al-hadith wa mustalatuhu, Maktabah Al-Malayiin, 24-27)
[22] M. Syuhudi Ismail. Metodologi Penelitian hadis, 11
[23] Muhammad Abu Shuhbah, Al-Wasith fi ulum al-Musthalah al-hadith, Dar al-Fikr al-Arabi, Kairo 57.
[24] Fathul Bari, vol.1, hal 206; Musnad imam Ahmad, vol.13, no.8351, 85.
[25] shahih Bukhari bi hasiyah al-sanadi, vol. 3 , 30.
[26] Al-Khatib, Ushul al-Hadis, 71-78, lihat pula, As-Sunnah Qobl al-Tadwin,68-74.
[27] M.M. Azami, Studies in Hadis, 26
[28] Al-Khatib, Ulum al-hadith, 83.
[29] Ibid, 84-85.
[30] Abu Shuhbah, Al-Wasith, 61. Lihat pula al-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffadh, vol 1 , 4.
[31] Abu Hurairah, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis Rasul pernah menuturkan kepada Abu Salamah, jika seandainya ia meriwayatkan hadis seperti yang ia lakukan saat itu (kala umar telah wafat) pada masa khalifah Umar masih hidup, niscaya umar akan mencambuknya.
[32] Ensiklopidia Islam, 44-45.
[33] Abu Shuhbab, Al-Wasith, 57, lihat pula sahih Bukhari, bab Zakat al-Ghanam wa zakat al-Ibil. Lihat pula Al-Baghdadi, Taqyiid al-Ilm, dha 15.1, 87.
[34] Abu Shuhbah, ibid, 59. Lihat pula Al-Baghdadi, Taqyid al-Ilm, dha 5.2, 49. Walaupun Umar sangat keras dalam melarang penulisan hadis (al-Kitabah), namun ketika beliau pandang Al-Qur’an telah terjaga dengan aman, Umar mau menulis sesuatu dari hadis kepada sebagian bawahan dan para sahabatnya, seperti diriwayatkan oleh Abu Uthman al-Nahdiy. (lihat Musnad Imam Ahmad, vol. 1, 281)
[35] Sebagian sahabat yang tidak menyetujui al-Kitabah adalah Umar, Ibn Mas’ud, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, dan Abu Sa’id Al Hudriy. Adapun mereka yang memperbolehkannya adalah Ali ibn Abi Thalib, Al-Hasan, Anas ibn Malik, Abdullah ibn ‘Amr ibn Al-‘Ash dan sekolompok sahabat lainnya (lihat Ibnu Kathir Al-Dimsyaqi, Ihtishar Ulum Al-hadith, Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 86).
[36] Menurut keterangan Aisyah, Abu Bakar as-shiddiq pernah mengumpulkan hadis dalam sebuah shahifah hingga mencapai sekitar 500 hadis, namun semalaman beliau terlihat amat gelisah. Keesokan harinya, Abu Bakar meminta Aisyah mengambilkan shahifah tersebut lalu beliau membakarnya. (Lihat al-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffadh, vol 1, 5 :1).
[37] Fauzi Rifaat, Lihat Tausiq al-Sunnah ,49-53.
[38] Sebenarnya Shahifah ini ditulis oleh seorang Tabi’in, Hamam bin Munabbah. Kebanyakan ulama’ hadis menisbahkan sahifah tersebut kepada Abu Hurairah, karena isi sahifah tersebut adalah kumpulan hadis yang didiktekan langsung oleh Abu Hurairah kepada muridnya, Hamam bin Munabbah, sehingga shahifah tersebut dikenal juga sebagai Shahifah Abu Hurairah. (lihat Hamidullah,
[39] Masuk di kota Kufah sejumlah 300 orang sahabat yang membai’at Rasul di Syajarah al-Ridlwan, dan 70 orang sahabat pelaku perang Badar.
[40] Walid bin Muslim menyatakan : “telah memasuki negeri Syam 10.000 mata yang pernah melihat Rasulullah saw”. (lihat Al-Bukhari, Tarikh Kabir, vol. 1, 169.)
[41] Abu Omar Yusuf al-Qurtubi, Jami’ bayan al-Ilm, vol. 1, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut , 93-94. Lihat pula Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi, B:169, 338-339.
[42] Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi, B:169, no.1748, 336-337.
[43] Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Aklaq al-Rawi, B :168, 336.
[44] Al-Qurtubi, Jami’ bayan al-Ilm, vol. 1, 95.
[45] Al-Khatib, Ushul Al-hadith, 98
[46] Ibid, hal 99. Amr bin Ash pernah menyatakan kepada sekumpulan orang dari kaum quraisy :
ما لكم قد طرحـتم هذه الأغيلــمة ؟ لا تفعـلوا و أوسعــوا لهم في المجـالس، واسمـعوهم الحذيـث، وافهـمـوهم إيّاه، فإنّهم صغـار قوم، أوسـك أن يكونوا كبـارهم وقد كنتم صغـارقومٍ ،فأنت اليوم كبـارهم )شرف أصحـاب النّبي 136 ص (65
[47] Al-Baghdadi, Syarf ashbab al-hadith, hadis No. 209 & 210, Dar Ihya’ l-Sunnah al-Nabawiyh, 1971, 96..
[48] Ibid, 64.
[49] Ibid, 105.
[50] Al-Baghdadi, Al-Jami’ li akhlaq al-Rawi wa Adabi al-Sami’,B:139, No.1358,148.
[51] Al-Muhaddith al-Fashil, 143.
[52] Al-Muhaddith al-Fashil, nuskah Damsyik, 19.
[53] Al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi, B:130 no.1356, 147. Lihat pula Al-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffadh, vol. 1 , 12-13.
[54] Al-Qurtubi, Jami’ bayan al-Ilm, vol.1 , 105.
[55] Al-Khatib, Ushul al-hadith, 108. Lihat, Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adabi al-Sami’, 136.
[56] Jami bayan al-Ilm, vol 2, 198.
[57] Ibid, 199.
[58] Ibid, 199
[59] Al-khatib, Ushul al-hadith, hal 112. Lihat pula Kitab al-Ilmu li Zuhair bin Harb, 190 .
[60] Ibid, 113. Lihat pula al-Baghdadi, al-Jami’ al-Rawi wa Adabi al-Sami’, B:182, No. 1877, 186.
[61] Ketidak-setujuan Ubaidah bin Amr terhadap al-Kitabah, ditunjukkan ketika Ibrahim menulis di depannya, maka ia pun berkata:”jangan sampai engkau biarkan tulisan itu tetap tinggal di depanku..!” Bahkan, ketika menjelang ajal, beliau menyuruh untuk mengambilkan kitab-kitabnya- lalu dia pun menghapusnya ….(Lihat al-Qurtubi, Jami bayan al-Ilm, 67)
[62] Al-Khatib, Ushul al-hadith, 167.
[63] Lihat Al-Qurtubi, Jami bayan al-Ilmi, vol. 1 , 67
[64] Al-Baghdadi,Taqyiid al-Ilm, dha :15.2 , 88. Lihat pula Al-Qurtubi, Jami bayan al-Ilm, vol 1, 72.
[65] Shahih Muslim bi-syarh al-Nawawi, vol 1, 244; Al-Baghdadi, Taqyiid al-Ilm, dha:17.2, 96.
[66] Al-Baghdadi, Taqyiid al-Ilm,dha:17.2, 95-96
[67] Ibid, dha:16.2, 91.
[68] Ibid, dha:18.2, 99.
[69] Ibid, dha:18.2, 102.
[70] Ibid, 102. Lihat al-Muhaddith al-Fashil, 2:8:1
[71] Masa Tabi’in dibagi dalam tiga generasi, generasi pertama adalah kalangan Tabi’in pada masa awal (Kibar al-Tabi’in), yang hidup dan bergaul dengan kebanyakan Sahabat Rasul, Generasi kedua (al-Ausath), adalah Tabi’in yang lahir di masa pertengahan, dan generasi ketiga (asghar al-Tabi’in) adalah generasi yang lahir di masa akhir periode Tabi’in, yang bersinggungan dengan generasi dari masa Tabi’ al-Tabi’in.