Selasa, 24 Maret 2009

HET BOEK VAN BONANG (KITAB PRIMBON SUNAN BONANG)

I. Pengantar

Ada dua sumber yang layak dipercaya sebagai bahan rujukan tentang bagaimana ajaran, wejangan, madrasah, madzhab, serta aliran pemikiran asli Walisongo. Pertama, teks primbon wejangan Sunan Bonang ( Het Boek Van Bonang ) yang pernah dibuat sebagai bahan tesis oleh Dr. B.J.O. Schrieke pada tahun 1916 di Universitas Leiden Belanda (Primbon I). Kedua, teks primbon jawa abad ke XVI yang isinya mirip dengan isi primbon wejangan Sunan Bonang diatas, yang pernah diulas dalam Een Javaansche Geschrift uit de 16 de Eeuw, tesis Dr. J.G.H. Gunning pada tahun 1881 di Universitas yang sama (primbon II).

Kedua manuskrip tersebut berupa tulisan tangan pada lembar-lembar daun lontar dan diyakini sebagai hasil karya Sunan Bonang dengan beberapa alasan. Pertama, adanya kalimat “Tammat carita cinitra kang pakerti pangeraning Bonang”, yang menandakan bahwa teks primbon I itu ditulis oleh Sunan Bonang. Kedua, umur dari primbon tersebut tidak terpaut jauh dari masa kehidupan Sunan Bonang, yaitu disekitar tahun 1595 M. Naskah tersebut secara kebetulan ditemukan di Tuban oleh armada Belanda yang pertama kali berlayar sampai di kepulauan Nusantara dalam persinggahan yang agak lama di Sedayu pada tahun 1597 M. Naskah tersebut selanjutnya dibawa pulang ke negeri Belanda dan dipelihara dengan baik hingga akhirnya berada dibawah pemeliharaan Liedsche Universiteitsbibliotheek sejak oktober 1597 M., ditempatkan di bawah katalogus no. XVII kal. Octob. 1599 M. Adapun, Primbon II tidaklah disebutkan inisial pengarang di dalamnya, namun jika melihat umur, tempat ditemukan, serta bahasa yang dipergunakan dalam primbon tersebut tampak mirip dengan gaya bahasa primbon I. Yang jelas, primbon tersebut ditemukan dan diangkut oleh kapal yang sama sehingga dapat dianggap bahwa primbon tersebut adalah karya Sunan Bonang atau sekurang-kurangnya ajaran yang meluas pada jaman Sunan Bonang.

Meski hanya primbon karya Sunan Bonang yang dapat dianggap sebagai bukti paling autentik dari kitab-kitab karya Walisongo. Kita masih beruntung dan patut bersyukur sebab Sunan Bonang paling representatif mewakili ajaran walisongo yang lain karena secara resmi beliau memang yang paling berkompeten diantara para Wali untuk memberikan wejangan keilmuan dan keagamaan. Hal ini dapat dilihat dari sejarah hidup beliau, dimana Sunan Bonang adalah Prabu Hanyakrawati yang menguasai Sesuluking ngelmi lan agami. Beliau adalah putra dan murid Sunan Ampel bersama adiknya, Sunan Drajat. Beliau juga teman satu almamater dengan Sunan Giri karena sama-sama berguru kepada Syekh Maulana Ishaq di Samudera Pasai. Beliau adalah guru pertama Sunan kalijaga. Disamping itu atas dasar bahwa Sunan Gunung Jati adalah murid dari Syekh Maulana Ishaq maka sedikit-banyak ajaran beliau memiliki kesamaan dengan ajaran Sunan Gunung Jati.
II. Isi Kitab Primbon Sunan Bonang

1.Sumber rujukan isi primbon
Dengan melihat isi dari ajaran dan wejangan Sunan Bonang yang tertulis dalam kitab primbon Het Boek Van Bonang, setidak-tidaknya ada sejumlah kitab Arab klasik yang diperkirakan telah menjadi sumber rujukan dari ajaran walisongo. Beberapa kitab tersebut, antara lain adalah :
1. Ihya’ Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghozali
2. Tamhid (fi bayanit-Tawhid Wa Hidayati fi Kulli Mustarasyid Wa Rasyid) karya Abu Syakur bin Syu’aib Al-Kasi al Hanafi as-Salimi (hidup diakhir abad 5 H).
3. Talkhis al-Minhaj karya Imam Nawawi,
4. Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makky
5. Risalah al-Makkiyah fi Thariq al-Sada al-Sufiyyah karya Afifuddin at-Tamimi,
6. Al-Anthaki. Mengenai al-Anthaki ini, ada dua kemungkinan, yaitu Abu Muhammad al-Anthaki seorang penyair dari Faulah Bani Fathimiyyah zaman al-Mu’iz Li Dinillah (341-365 H.) dan Zaman Al-Aziz Billah (365-386 H.) atau Daud al-Anthaki penulis kitab Tazyinul Asywaq bi Tafshil Asywaq Al Usysyaq atau Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah al-Isfahani pengarang kitab Hilyatul Auliya’ yang bergelar Ahmad bin Ashim Al-Anthaki.
Disamping beberapa nama pengarang kitab tersebut diatas, ditemui pula nama para tokoh Tasyawwuf seperti Abu Jazid Al-Basthami, Muhyiddin ibn ‘Arabi, Syekh Ibrahim al-Iraqi, Syekh Abdul Qodir Jailani, Syekh Semangu Asarani (?), Syekh Ar-Rudaji, Syekh sabti (?), Pandita Sujadi Waquwatihi (?).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ajaran Walisongo, meliputi bidang ilmu fiqih (syariat), ilmu kalam -- termasuk didalamnya adalah ilmu tauhid dan ushuluddin, serta diajarkan pula ilmu tasyawwuf seperti suluk, tarikat dan mistik.

2.Beberapa wejangan Sunan Bonang
Isi dari ajaran dan wejangan yang terdapat dalam kitab primbon karya Sunan Bonang itu dapat diringkas sebagai berikut :
Pertama-tama, Sunan Bonang mengawali tulisannya dengan bacaan Basmalah dan puji syukur, kemudian menunjukkan maksud dan tujuan dari penulisan isi primbon, yaitu hendak menyampaikan ajaran tentang ilmu suluk. Ilmu suluk ini meliputi ilmu Ushuluddin, Tauhid, Tarekat dan Tasyawwuf yang berhaluan ahlussunnah Wal Jama’ah.
Ajaran Ushul Suluk berpangkal pada penafsiran terhadap dua kalimat Syahadat yang diungkapkan dalam pembukaan kitab : “Asyhadu an La ilaha Illallah Wahdahu La Syarikalahu, Wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”. Selanjutnya beliau menguraikan ajaran-ajarannya dengan menitik beratkan pada ushul suluk menurut pemikiran al-Ghozali dan Abu Syakur as-Salimi. Ajaran ushul suluk merupakan perpaduan antara uraian ilmu ushuluddin dan Tasyawwuf atau tauhid mistik dalam batas-batas akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang materinya berkisar pada tiga polok masalah ditambah satu penegasan, yaitu :
1. Kajian tentang Allah, yang meliputi zat, sifat dan af’al-Nya,
2. Kajian tentang hubungan antara manusia dengan Allah,
3. Kajian tentang masalah Ru’yat (kemampuan melihat) Allah, dan
4. Tanbih, tambahan dari kitab yang diutarakan dengan maksud sebagai peringatan agar senantiasa berbuat sholeh, takwa, dan berpegang teguh serta menjaga batas syariat.
Pada bagian pertama dari isi Primbon, pembahasan Sunan Bonang tentang Allah meliputi pendirian mengenai berbagai paham dan ajaran tauhid serta ketuhanan yang benar dimana isi uraian beliau pada dasarnya hanya merupakan ikhtisar dan terjemahan bebas dari kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab Tamhid. Disamping itu diungkapkan pula bagaimana ajaran dan faham yang sesat tentang tauhid dan Tuhan, yang menurut beliau, dapat mengakibatkan penganutnya menjadi kafir.
Pembahasan Sunan Bonang terhadap dua tema diatas meliputi uraian tentang ma’rifat Dzat Allah, Ma’rifat Sifat Allah dan ma’rifat Af’al Allah yang diungkapkan dengan metode dialog katekismus, yaitu berbentuk dialog tanya jawab antara guru dan murid dimana si murid bertanya yang kemudian dijawab oleh sang guru dengan uraian materi diatas.
Pada bagian tersebut, diungkapkan juga 12 macam pandangan tentang ajaran tauhid dan ketuhanan yang dianggap sesat dan layak dijuluki “wong sasar” menurut standar empat madzhab, yaitu :
1. Pandangan yang menyatakan bahwa :”i(ng)kang ana iku Allah, i(ng)kang ora ana iku Allah, den tegesake oraning Allah iku ora andade’aken. (yang ada ialah Allah, yang tiada ialah Allah, dengan arti tiadanya adalah tiada mejadikan).
2. Pandangan tentang Tuhan yang menyatakan : “iya namane iya kersane, iya namane iya dzate, iya dzat(e) iya kersane. Iku among ing paekan tan weruh ing panunggale”. (nama-Nya itu itulah juga kehendak-Nya, nama -Nya itulah juga dzat-Nya, Dzat-Nya itulah kehendak-Nya…).
Kedua ungkapan tersebut diatas dianggap sesat karena dapat mengacaukan pemahaman akan keesaan Tuhan.
3. Pandangan Kawabatiniyah (kebatinan) yang disifati oleh Sunan Bonang sebagai “atunggal sastra anging tan apatut “ atau congkak dalam kata namun tidak patut dan tidak sesuai dengan akal budi karena bertentangan dengan pokok ushul suluk yang terdapat dalam kitab Ihya’ dan Tamhid.
4. Suatu pandangan ganjil yang menyatakan : “ Kadi anggrupa’aken sifating pengeran, kadi akecap : sekatahing dumadi iku sifating Allah, kadi ngana’aken ing nora, kadi ama’duamen ing Allah. Pandangan ini adalah kufur.
5. Pandangan yang beranggapan bahwa dalam fana’ terjadi ittihad (perpaduan) antara kawula-Gusti (hamba - Tuhan) sebagaimana berpadunya sungai di muara dengan air laut. Hal ini menurut beliau merupakan penta’wilan yang menyeleweng dan sesat yang bertentangan dengan firman Allah swt.: “Marajal Bahraini Yal Taqiyani bainahuma Barzahun La yabgiyani”.
6. Paham karamiyah, sebuah paham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, didirikan oleh Abdullah Muhammad bin Karamiyah yang menandaskan bahwa Allah duduk di singgasana-Nya di arsy, dimana ia menjisimkan dzat Allah.
7. Paham yang menyatakan bahwa “sifat iku ana ing dzat, asma itu ana ing deweke”, yaitu suatu paham yang menyamaratakan antara sifat, dzat dan asma’ Allah.
8. Paham yang berpendapat bahwa “sifat sifat, dzat dzat” , yaitu menganggap bahwa keberadaan dzat dan sifat sebagai dua keadaan yang masing-masing berdiri sendiri.
Dimana menurut Sunan Bonang, rumusan yang benar dari kedua paham tentang sifat dan dzat tersebut semestinya adalah “paikan(ing) sasifatira tan liyaning ananira” atau sifat-sifat-Nya tak lain adalah wujud-Nya.
9. paham mu’tazilah yang dianggap sebagai paham yang mengingkari sifat qudrat dan iradat Allah atas diri manusia, “Allah Ta’ala ora amurba”.
10. Pandangan ibnu ‘Arabi, pengarang kitab Futuhatul Makkiyah yang terkenal dengan pahamnya Wahdatul Wujud (Panteisme), yaitu paham yang menganut isme emanasi yang berpendapat bahwa “Allah iku dzate qodim, sifat af’ale muhdats” (Dzat-Nya Allah itu dahulu, sifat dan perbuatan-Nya baru).
11. Paham yang berpendirian bahwa :”Kang angilo iku nora ningali wewayangan”, yaitu suatu paham yang mengingkari arti bercermin dari apa yang dapat digunakan sebagai wasilah untuk ma’rifat kepada Allah.
12. Paham yang menyatakan bahwa Tuhan itu “ ma’dum min nafsihi”.
Kedua belas macam ajaran inilah yang dianggap ajaran berbahaya dan dapat menjadikan kafir orang yang menganutnya.
Pada bagian yang kedua, Sunan Bonang telah merumuskan ajarannya tentang hubungan manusia dengan Allah dari dua sisi keilmuan, yaitu menurut ilmu kalam dan ilmu Tasyawwuf. Dalam menetapkan eksistensi dan hubungan antara manusia dengan Tuhan, ilmu Kalam menetapkan keduanya dengan istilah makhluk dan Khaliq. Sedangkan ilmu Tasyawwuf memberi istilah antar keduanya sebagai Salik atau asyiq dan ma’syuq yang akan saling bertemu dalam maqam fana’.
Selanjutnya Sunan Bonang juga mengetengahkan rumusannya tentang “padudoning Kawula-Gusti” atau ke-bukan-an hamba-Tuhan yang merupakan antitesis daripada pandangan “Manunggaling Kawula-Gusti” nya Syech Siti Jenar. Beliau menyatakan : “Padudoning Kawula-Gusti; Sifating pengeran tan dadi sifating makhluk, sifating makhluk tan dadi sifating pengeran.” (sifat Tuhan [tetap] bukan sifat makhluk, sifat makhluk [tetap] bukan sifat Tuhan.
Dengan konsep “padudoning Kawula-Gusti” ini, Sunan Bonang menegaskan bahwa Allah dan manusia merupakan dua kenyataan atau wujud yang berbeda. Masing-masing berdiri sendiri sebagai pribadi yang tak mungkin lebur menjadi satu sebagaimana leburnya setetes air dalam lautan yang maha luas, walau bagaimanapun tingkat keakraban yang telah dicapai oleh keduanya, yakni taraf tertinggi dalam maqam fana’. Selanjutnya dengan merujuk pada ayat “Marajal bahraini Yaltaqiyani bainahuma Barzahun La Yabgiyani” Sunan Bonang lantas mengajarkan bagaimana cara memehami konsep fana’ yang sebenarnya dan seharusnya. Pengertian Barzahun dalam ayat tersebut adalah sekat yang berlaku sebagai rana atau dinding, sehingga menjadikan keduanya tidak bercampur. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa ungkapan “Gharaghtu fi Bahril ‘adam” adalah merupakan rumusan yang takkan pernah terwujud dalam kenyataan dimana dua pribadi saling tenggelam dan merasuki. Karena bagaimanapun juga mesti tetap disadari adanya perbedaan sebagaimana wejangan beliau “Mapan(ing) karone langgeng apadudon tan panisih kang anjateni lan kang jinaten.”
Hal ini secara jelas menunjukkan bahwasanya walisongo, yang ajarannya terwakili dalam primbon tersebut, telah berupaya keras dan bersungguh-sungguh dalam memelihara dua pilar utama akidah Islam :
Pertama, Pengakuan akan Allah sebagai khaliq yang maha esa dan mandiri , sebagai dzat yang penuh kebebasan dan memiliki kekuasaan penuh dalam segala hal (asas Tawhid).
Kedua, Pengakuan tentang adanya hak kemerdekaan bagi manusia sebagai oknum yang mendiri dan sebagai pribadi yang utuh, yang disebut sebagai asas kemerdekaan pribadi manusia (al-Hurriyah al Syahsyiyyah al Insaniyyah).
Sebagai penutup uraian bab ini, Sunan Bonang mengakhirinya dengan wejangan : “E, Mitraningsun ! Karana sira iki apapasihana sama-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah”.
Ungkapan tersebut merupakan tanbih / peringatan agar sesama muslim hendaknya saling bantu membantu dalam suasana kasih, dan agar mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah.
Bagian ketiga, tentang Ru’yat Allah, Sunan Bonang mengawalinya dengan mengutip ucapan Syekh al-Bari : “Ru’yat Allah iku arus tan arus (ru’yat Allah itu melihat tetapi tidak melihat) Selanjutnya beliau memberikan pandangan sebagai berikut:“E, Rijal ! Tegese ru’yat Allah iku aningali ing pengeran ing akhirat kalawan mata kapala ing dunya kalawan mata ati.” (Wahai Rijal…! Arti ru’yat itu melihat Allah dengan mata kepala di akherat dan di dunia dengan mata hati).
Dengan demikian, menurut beliau, melihat Allah dengan mata kepala secara langsung baru dapat dilakukan di akherat karena di akherat-lah dicapai kesempurnaan penglihatan. Selanjutnya menurut primbon tersebut, kemampuan untuk melihat (ru’yat) Allah adalah sangat tergantung pada tingkat kesempurnaan martabat yang telah dicapai oleh manusia dalam usahanya menempuh suluk atau tarekat. Semakin tinggi derajat atau martabat yang dicapai, maka makin berkuranglah penghalang (hijab)-nya sampai akhirnya Allah menyempurnakan penglihatannya. Maka pandangan dan penglihatannya tidak ragu lagi akan dzat-sifat Allah, yang dilihat tampil tanpa kias perumpamaan, yang melihatnya pun tanpa melalui perantaraan, sebagaimana ungkapan dalam primbon :”Tegese iku ta kabehsening saya mundak martabate sinampurnakaken tingale dening pengeran dadi tan sak tingale ing dzat-sifat-af’al ira; mapan kang tiningalan bila tasybih, kang aningali pon bila tasybih.”
Selanjutnya Sunan Bonang menandaskan bahwa kemampuan melihat (ru’yat) Allah merupakan suatu hal yang relatif, dimana masing-masing individu tidaklah sama dalam hal kejelasan yang dicapai. Beliau memberi tamsil dengan mengisyaratkan hubungan antara semakin meningginya bilangan hari bulan, mulai dari penampakan bulan pada tanggal pertama hingga penampakannya pada bulan purnama penuh sebagaimana diungkapkan : “…Kadi ta angganing sasi tanggal sapisan, ana kang kadi tanggal p(ing) kalih, ana kang kadi tanggal p(ing) tiga –ing undake ta kadi purnamasada.”
Dasar yang dipakai Sunan Bonang dalam menguraikan masalah ru’yat tersebut adalah sabda Nabi : “Innakum satarawna rabbakum yaumal qiyamati kama tarawnal qamara fi lailatil badri.” ( “Sesungguhnya kamu sekalian akan melihat Tuhanmu pada hari kiamat seperti kalian melihat rembulan pada malam bulan purnama…”), yang kemudian ditafsirkan lagi maksudnya dengan “Amma dlamirul qamarillah munazzahun bila kaifiyyatin”. (“…adapun kata ganti perumpamaan “rembulan” bagi Allah adalah hal yang bebas dari persifatan dengan tanpa perlu ditanyakan kenapa dan bagaimana…)
Sebagai penutup isi primbon, Sunan Bonang mengakhirinya dengan sebuah tanbih (peringatan) :
“E, Mitraningsun ! Demi sami sira akecap becik-becik kalawan lampa nira dhahir batin anuta kang sarengat, andi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, asih pramuleha sira ing Rasulullah ‘alaihis salam marganira anampani sih nugraning Pangeran…//E, Mitraningsun! Iku tetinggalaningsun ing sira kang awet poma anak putu nira sami wekasen, sami anuta wirasaning pituturinsung iku kabih, karana manawa anut ing wuwus(ing) wong sasar …Anging sira den sama awedi ing Pengeran. Aja sira salah simpang, sami sra amriha kasidan”.

Dengan primbon tersebut, Sunan Bonang memperingatkan agar kita selalu berbuat baik. Disamping itu dalam melaksanakan segala amaliah lahir maupun batin hendaknya senantiasa berjalan diatas rel syariat yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Selama hidup kita dipesankan untuk mencintai dan meneladani kehidupan Rasulullah SAW sebagai jalan berterima kasih atas anugerah Allah SWT. Inilah peninggalan beliau untuk diamalkan bersama dan hendaknya disampaikan kepada anak cucu agar menuruti maksud nasehat tersebut, karena dikhawatirkan bila mereka salah jalan, maka akan menjadikan mereka termasuk golongan orang yang sesat. Beliau juga berpesan, agar kita takut kepada Allah. Jangan sampai salah jalan dan menyeleweng, agar tercapai, dan amal kitapun diterima oleh Allah SWT.
Akhirnya, setelah kata-kata peringatan sebagai tanbih, maka ditutuplah primbon wejangan Sunan Bonang ini dengan seuntai kata : “Tammat carita cinitra kang pakerti Pangeraning Bonang” yang maksudnya adalah selesai sudah cerita yang diceritakan oleh Sunan Bonang.
Isi primbon II juga banyak mengambil rujukan dari kitab Tamhid dan Ihya’ ‘Ulumuddin, yang dalam primbon tersebut dinyatakan dengan “Ahya Ngulumudin”. Demikian juga metode penyampaian yang dikemas dalam primbon II ini agak berlainan dengan primbon I. Mungkin maksud penulisan primbon II ini sengaja ditujukan bagi masyarakat awam karena ditilik dari cara penguraiannya yang populer, mudah dan gampang dicerna apalagi masalah yang dibahas banyak berkenaaan dengan hal aktual keseharian (ahwal-Al-Yaumiyyah), yang meliputi pelbagai segi kehidupan orang awam dan masyarakat pada umumnya. Nampak jelas perbedaannya jika dibandingkan dengan isi primbon I yang cenderung lebih filosofis dan mistis, yang hanya dapat ditangkap dan dipahami oleh orang-orang tertentu yang telah memiliki pengetahuan dan pemahaman dasar tentang agama Islam yang memang telah dipersiapkan untuk mempelajari ilmu keagamaan tingkat lanjut.
Secara global, primbon II merupakan bunga rampai yang menghimpun saripati dari pelbagai karya arab dimana pembahasannya tidak diuraikan secara sistematis melalui bab dan pasal-pasal sehingga isinya bukan secara khusus menangani satu bidang masalah. Primbon tersebut berisikan berbagai ilmu keislaman dari fiqh, tawhid atau ilmu kalam, tasyawwuf serta akhlak. Pada bagian akhir, terdapat uraian-uraian ajaib sebagai kutipan dari imu ta’bir dan ramalan membuka-buka rahasia. Pegangan argumentasinya ialah hadits-hadits dari berbagai sumber, seperti kitab Ihya’ al-Ghozali, Talhisul Minhaj karya Imam Nawawi, Tamhid-nya Abu Syakur as-Salimi, dan karya-karya ulama’ lainnya seperti Kasalbis salji-nya al-Anthaki, kanzal Kafi atau Kanzal Latha’if dari Smarakandi.
01 Muharram 1422 H.

BIBLIOGRAFI

Saksono Wiji, Drs. , Mengislamkan Tanah Jawa : Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo.. Mizan, Bandung, 1995.
Zoetmulder, P.J., Pantheisme en Monisme in de Javansche Soeloek-Literatur; Manunggaling Kawula-Gusti, Panteisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Penterjemah : Dick Hartoko. Grademia. Jakarta:1991.
Yayasan penyelenggara penerjemah Al Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Jakara, 1971.

Senin, 23 Maret 2009

UKHUWAH ISLAMIYAH

Manusia adalah makhlik sosial (Homo Socialist) yang hidup saling berketergantungan satu sama lain, mereka hidup saling berdampingan membentuk komunitas karena kebutuhan.
Ketika sekelompok orang bekerjasama, berkumpul dan melakukan interaksi sosial terciptalah sebuah masyarakat. Di dalam komunitas itu, mereka menentukan aturan, undang-undang atau kode etik yang mereka sepakati, baik tertulis ataupun tidak, untuk menjamin terpenuhinya kepentingan para individu tanpa harus mengabaikan kepentingan umum, begitu pula sebaliknya. Perpaduan antara dua kepentingan ini sudah barang tentu menimbulkan sebuah corak interaksi sosial yang berlaku sedemikian kompleks dalam tata pergaulan masyarakat.
Dalam Islam, komunitas masyarakat muslim disatukan dibawah panji “Ukhuwah Islamiyah”. Dasar dari konsep tersebut adalah diantaranya firman Allah swt :

إِنَّماَ الْمُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوْااللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara,karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujurat:10)
Berpijak dari ayat tersebut, pengakuan bahwa sesama mukmin itu bersaudara menunjukkan adanya ikatan yang jauh lebih kuat daripada sekedar teman, sahabat, atau tetangga. Pengakuan “Persaudaraan” adalah konsep Islam dalam membina dan mengarahkan kaum muslimin menuju pada tercapainya masyakarat madani (Civil Society).
Ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah, beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshor. Semangat kebersamaan dan persatuan sengaja ditanamkan oleh beliau sebagai landasan hidup bermasyarakat. Tak pelak, dengan dipancangkannya pondasi Ukhuwah Islamiyah dapat dibangunlah sebuah model masyarakat muslim yang kokoh. Sebab, prinsip tersebut sarat dengan upaya menjunjung tinggi rasa keadilan (justice), persamaan harkat dan derajat sesama manusia (HAM) dan jaminan rasa aman bagi seluruh anggota masyarakat Islami.
Ukhuwah Islamiyah, sebagaimana yang diterapkan Rasulullah saw, menumbuh-kembangkan perasaan tanggung jawab untuk saling melindungi, saling membantu, tolong menolong antar sesama muslim. Konsep ini dapat kita lihat dari sabda Nabi saw :

الْمُسْلِمُ أَخُ الْمُسْلِمُ : لاَيَظْلِمُهُ، وَلاَيُسَلِّمُهُ. مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيْهِ كَانَ اللهُ فِى حَاجَتِهِ وَمَنْ كَانَ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًاسَتَرَاللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Orang muslim itu saudara orang muslim lainnya. Janganlah ia menganiayanya dan jangan menelantarkannya. Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa membebaskan seorang muslim dari dari kesusahan-nya, maka Allah akan membebaskan darinya kesusahan di hari kiamat. Dan barang siapamenutupi kejelekan seorang muslim, Allah akan menutupi kejelekannya pada hari kiamat. (Muttafaq alaihi)

لاَتَحَاسَدُوْا وَلاَتَنَاجَشُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُوْالمُسْلِمُ : لاَيَظْلِمُهُ،وَلاَ يَحْقِرُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ ، اَلتَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، بِحَسَبِ آمْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَخْقِرَأَخَاهُ الْمُسْلِمِ. كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَراَمٌ دَمُّهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ.
Janganlah kamu saling mendengki, jangan saling mempermainkan harga, jangan saling membenci, dan jangan saling menjauhi. Janganlah sebagian dari kamu menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim itu saudara orang muslim lainnya. Janganlah menganiayanya, jangan menghinanya dan jangan menelantarkannya.Takwa itu disini (sambil menunjuk ke dadanya tiga kali). Cukuplah kejahatan seseorang bila ia telah menghina saudaranya yang muslim. Setiap orang muslim terhadap muslim lainnya diharamkan mengganggu darah, harta dan kehormatannya”. (H.R. Muslim)
Dari dua buah hadits dia atas, nyatalah bahwa tanggungjawab seorang muslim kepada saudara se-iman se-agama memiliki banyak aspek, baik fisik, psikis, sosial maupun ekonomi. Larangan untuk menyakiti seorang muslim, menganiaya, memukul dan membunuh adalah menyangkut aspek fisik; Larangan berhianat, dan berupaya menjaga perasaan sesama muslim adalah aspek psikis; Menjauhkan diri dari mencela sesama muslim, memfitnah, mencari-cari kesalahan dan aib adalah tanggungjawab sosial; Menjaga harta benda serta menghindari tindak penipuan dalam berkongsi dan perdagangan adalah aspek ekonomi, serta masih banyak contohyang tak dapat disebutkan disini.
Lebih spesifik lagi, Rasulullah saw menyatakan sifat kebersamaan dan persaudaraan sesama mukmin adalah laksana sebuah bangunan yang saling menguatkan (HR. Muttafaq alaihi), atau digambarkan bagai hubungan antar bagian tubuh manusia, manakala jemari kaki tercucuk duri, maka anggota tubuh yang lainnya pun turut pula merasakan kesakitannya. Inilah konsep Islam tentang persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah) yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, pemimpin terbesar dikolong langit, yang diakui keagungan akhlaknya secara langsung oleh Allah swt (Q.S. Al-Qalam:4) dan menyatakan diri sebagai utusan tuhan yang datang kedunia untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (H.R.Bukhari-Muslim)
Sebagai penutup, ada sebuah hadits mulia yang menuturkan tentang kepribadian seorang mukmin yang perlu untuk direnungkan bersama :

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَِخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah beriman salah satu diantara kamu sehingga ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri.”

Semoga bermanfaat, amien.

Bangil, 23 Nopember 2001

REFLEKSI ATAS SYUKUR NIKMAT



Hadits A’isyah tentang Syukur
Di dalam sebuah hadits Shahih yang diriwayatkan Ibnu Hibban, diceritakan, pada suatu hari, Atha’ dan Ubaid bin Umair bertanya kepada Siti A’isyah : “Wahai ummul Mukminin, berilah kami khabar tentang sesuatu yang paling mengagumkan dari diri Rasulullah saw yang pernah anda lihat ?”
A’isyah menangis lantas berkata : “Keadaan Rasulullah saw yang mana yang tidak mengagumkan? Di waktu malam beliau datang kepadaku. Beliau masuk ke tempat tidur bersamaku sehingga kulitku bersentuhan dengan kulitnya. Beliau mengatakan: ‘Wahai puteri Abu Bakar, tinggalkanlah diri. Aku sedang beribadah kepada Tuhanku’”.
“Saya ingin lebih dekat denganmu,” pintaku. Wanita agung itu lantas meminta izin untuk mengambil geribah air. Ia berwudlu dan menuangkan air begitu banyak.
Setelah itu Rasulullah saw berdiri dan mengerjakan shalat. Beliau menangis sehingga air matanya bercucuran sampai ke dadanya. Beliau ruku’, sujud, dan mengangkat kepala seraya masih menangis.Beliau selalu seperti itu sampai Bilal datang, kemudian menyerukan agar azan untuk shalat shubuh. Aku bertanya kepada Rasulullah saw :”Ya Rasulullah, apa yang membuatmu menangis, padahal Allah swt telah mengampuni segala dosamu, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?” tanya ummul mu’minin, Aisyah ra.
Beliau menjawab : “Apakah saya tidak boleh menjadi hamba Tuhan yang banyak bersyukur (‘Abdan Syakuro) ? Kenapa aku tidak melakukannya sedangkan Allah swt telah menurunkan kepadaku ayat :
Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi, perbedaan malam dan siang, kapal yang berlayar dilautan (membawa) barang-barang yang berfaedah bagi manusia, hujan yang diturunkan oleh Allah swt dari langit, lalu dihidupkan-Nya dengan air itu bumi yang telah mati, berkeliaran diatasnya tiap-tiap yang melata, angin yang bertiup dan awan yang terbentang antara langit dan bumi. Sesungguhnya semua itu merupakan ayat-ayat bagi kaum yang berfikir.” (Q.S. Al-Baqarah:164)

Makna”Abdan Syakuro”
Menjadi “Abdan Syakuron” adalah puncak dari pengejawantahan eksistensi manusia sebagai makhluk bertuhan. Abdan Syakuron juga berarti penyerahan diri sepenuhnya atas kehendak Sang penguasa, pengakuan secara total akan kekuasaan dan otoritas Realitas absolut atas ego kemanusiaan, kepasrahan (reseptivitas) seorang hamba atas kehendak Tuhan sebagai wujud penghayatan maksimal terhadap entitas diri manusia yang dijadikan semata-mata untuk beribadah.(Q.S. Adz-Dzariyat:56)
Dari firman Tuhan tersebut, terbukalah realita abadi bagi kita tentang esensi dua makhluk Allah yang memiliki polaritas dalam substansi –yakni Manusia dan Jin namun identik secara fungsional dalam makrokosmos, yaitu kehadiran mereka hanyalah semata-mata untuk beribadah kepada-Nya.
Istilah ibadah sendiri, adalah salah satu term Arab yang berarti penghambaan diri, diambil dari akar kalimahnya berupa fi’il madhi, ‘Abada yang bermakna menghambakan diri, dan memang manusia beribadah kepada Tuhan-Nya dalam rangka penghambaan diri mereka kepada realitas absolut yang menguasai semesta alam.
Dengan beribadah, seseorang melebur ke-aku-an (ego) dirinya dan mencampakkan potensi kemanusiaan—syahwat dan amarah, untuk menerima perintah Tuhan dan membaktikan dirinya sebagai pelayan Ilahi, mereka tunduk dan patuh secara penuh dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan. (Q.S. Ali Imron :102)
Derajat “Abdun”, sebagaimana dikatakan Abu Ali Ad-Daqaq, adalah tataran tertinggi di kalangan manusia terkasih Tuhan. Bilamana nabi Ibrahim a.s. diberi anugerah kehormatan oleh Allah dengan sebutan, Khalilullah (Kekasih Allah), dan Musa a.s. dimuliakan Tuhan dengan gelar Kalimullah karena dapat berdialog langsung dengan Allah, serta Isa a.s. di panggil dengan Ruhullah (Ruhnya Allah), maka nabi Muhammad saw berulang kali dipanggil Tuhannya dengan sebutan Abduhu (Hamba-Nya): Mahasuci dzat Yang telah mengisra’kan hamba-Nya pada malam(mi’raj) dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha”(Q.S. Al-Isra’:1),”Maka diwahyukan kepada hamba-Nya apa-apa yang diwahyukan”(Q.S. An-Najm:10).
Pengakuan Tuhan terhadap Muhammad sebagai hamba-Nya (Abduhu) adalah manifestasi dari kecintaan-Nya atas diri pribadi agung itu, demikian pula Tuhan telah memilih beliau adalah untuk diri-Nya : Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku (Q.S. Thaha: 41), karena itu Dia telah menduduknya dengan derajat kenabian dalam maqam Murad, yang telah ditanggung Tuhan, Sebagaimana firman-Nya : “Tidakkah Kami telah melapangkan dadamu,dan kami hilangkan bebanmu darimu yang (memang) memberatkan punggungmu, dan Kami tinggikan penyebutanmu (Q.S. Alam Nasyrah : 1-4).

Adapun makna Syukur, mengandung term arab yang berarti berterima kasih atau pujian. Seperti yang diuraikan oleh Abul Qasim dalam kitabnya, Risalatul Qusyairiyah, makna Syukur mengandung tiga tingkatan : Pertama, bersyukur dengan lisan, yakni mengakui kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah swt dengan sifat tawadlu’ (merendahkan diri). Kedua, bersyukur dengan badan, yakni bersifat selalu sepakat dan melayani (mengabdi) kepada Allah. Ketiga, bersyukur dengan hati, yakni mengasingkan diri dihadapan Allah dengan konsisten menjaga keagungan-Nya.
Ketika seseorang mendapatkan kenikmatan, dia pun berupaya men-tasaruf-kan nikmat yang diperolehnya sejalan dengan perintah Tuhan. Dia pergunakan kedua matanya untuk menyaksikan berbagai keindahan yang merefleksikan sifat al-jamal (keindahan) Tuhan, dan berkata : Wahai Tuhanku, tidaklah engkau ciptakan hal itu dengan tanpa arti [bathil] (Q.S.Al-Baqarah:191), yang keluar dari mulutnya adalah ungkapan berisi nasehat untuk bersabar dan melakukan kebajikan (Q.S. Al-Ashr: 3 - 4), dilangkahkan kakinya kepada hal-hal yang membawa maslahah bagi agama dan menghindarkan diri dari kerusakan yang diperbuat oleh kedua belah tangannya.(Q.S.Ar-Rum:41 ) Senada dengan apa yang telah diuraikan Imam Al-Ghozali di dalam Ihya’ nya, bahwa rasa syukur dinyatakan dengan mengetahui bahwa tiada pemberi kenikmatan selain Allah. Dengan mengetahui limpahan nikmat yang diterima, timbullah kegembiraan dalam hati terhadap Allah dan nikmat-nikmat yang diterima. Dengan hatinya, rasa syukur itu dinyatakan dengan menyembunyikan kebaikan bagi seluruh manusia dan menmghadirkannya selalu dalam mengingat Allah sehingga tidakmelupakannya. Dengan lisan, syukur itu dinyatakan dengan banyak mengucapkan tahmid. Dengan anggota tubuh, dinyatakan dengan menggunakan nikmat-nikmat Allah ta’ala dalam mentaati-Nya dan menghindari penggunaan nikmat untuk mendurhakai-Nya.
Dalam sebuah hadits, diceritakan bahwa Dawud a.s. bertanya kepada Allah swt : “Ya Allah, bagaimana aku mensyukuri-Mu, sedangkan aku tidak dapat mensyukuri-Mu kecuali dengan nikmat yang berasal dari nikmat-Mu ? Allah swt berfirman : “Apabila engkau tahu bahwa nikmat-nikmat itu berasal dari-Ku, maka Aku rela hal itu sebagai pernyataan syukur darimu”
Dengan demikian, menjadi hamba Tuhan yang banyak bersyukur (Abdun Syakur) berarti pengakuan akan tiadanya entitas diri, hilangnya ego insani dalam kebesaran Realitas absolut (Tuhan) yang diwujudkan dengan penghambaan diri kepada Tuhan seru sekalian alam dengan penuh kerelaan hati, bahkan cinta atas kondisi tersebut.

Syukur adalah pengejawantahan rasa cinta (al-Hub)
Rasa syukur adalah manifestasi kecintaan seorang hamba akan Dzat PemberiNikmat (al-Mun’im) tatkala ia mendapatkan limpahan nikmat dari-Nya. Kerelaan hati terhadap pemberian Tuhan itu diwujudkan dengan kegembiraan dan rasa terima kasih atas karunia yang diterimanya. Bentuk rasa terima kasih itu mengejawantah dalam upaya melakukan perbuatan yang sesuai dengan kehendak Sang Pemberi Nikmat (Sharfu al-Ni’mah li ridlo al-Mun’im).
Menjadi seorang hamba yang banyak mensyukuri nikmat Allah, berarti mengakui betapa besar belas kasih Tuhan dan perhatian-Nya yang kita terima. Ketika seseorang diperhatikan kebutuhan dan dilapangkan kesulitannya, merasalah dia --dalam dirinya, bahwa ada pengakuan atas eksistensi dirinya. Kesadaaran terhadap pengakuan diri ini menimbulkan reaksi timbal balik dalam bentuk pengakuannya terhadap eksisensi Sang Pelindung dan Pemerhatinya. Keadaan ini melahirkan impuls-impuls ruhaniyah untuk mengenal lebih jauh akan eksistensi Sang Pelindung itu, hingga lahirlah perasaan cinta (al-Hubb). Karena itu, tidaklah salah bila dikatakan bahwa pemberian itu bisa menarik perasaan (cinta).Dengan cintanya, seorang hamba berupaya mendekat melalui ibadah-ibadah kesunatan sehingga menjadikan Dia mencintainya, dan Dia akan menjadi telinganya saat dia mendengar, menjadi matanya yang dengan itu dia melihat, serta menjadi lidahnya yang dengan itu dia berbicara. (H.R. Bukhari) Pada saat itu, Cinta Allah kepada seorang hamba merupakan keinginan-Nya untuk memberikan nikmat kepadanya sebagai orang yang telah dikhususkan-Nya.
Dengan demikian, rasa syukur dan mahabbah (cinta) adalah bagaikan api dengan nyalanya, atau air dengan sifat cairnya, karena syukur adalah ungkapan dari mahabbah. Saat seorang hamba bersyukur, terwujudlah perasaan cinta itu, melalui ucapan, tindakan dan perasaan jiwa.
Pernyataan Rasulullah saw : “Apakah saya tidak boleh menjadi hamba Tuhan yang banyak bersyukur?” memberi tengara yang jelas atas kecintaan beliau yang begitu besar kepada Allah swt, mengalahkan apapun didunia sehingga tidak disentuhnya siti ‘Aisyah r.a., istri yang paling beliau kasihi. Kegembiraan Rasulullah dengan panggilan Tuhan “Abduhu” seyogyanya menyadarkan hati-hati kita yang mulai mengeras bahwa nilai utama dari kemanusiaan adalah bersumber pada sejauhmana kita menunaikan tugas asasi kita sebagai khalifah, yang tak lain adalah menjadi pelayan-pelayan Tuhan dimuka bumi. (Q.S.Al-Baqarah:30), Bukan untuk berkutat dengan pencarian derajat, kekayaan, kedudukan, pengaruh dikalangan manusia. Sebab Allah tidak akan menilai martabat seorang manusia, dari rupa, harta dan kedudukan tetapi keimanan dan rasaa taqwa. (H.R. Muslim)

Mensyukuri Nikmat Allah
Sebenarnya banyak jalan mensyukuri nikmat Tuhan sebanyak celah kehidupan yang dijalani oleh manusia. Mengungkapkan rasa syukur atas nikmat Tuhan, dapat dimanifes-tasikan dalam tiga jalur utama, yakni lisan, perbuatan anggota badan, dan amaliah hati.
Syukur seorang fakir miskin yang hidup dalam keadaan serba kekurangan adalah dengan kesabaran, tawakkal dan qonaah menghadapi hidup. Syukur seorang hakim adalah dengan memberikan putusan yang seadil-adilnya dengan berdasarkan undang-undang kitabullah dan sunnah rasul. Syukur para ulama’ dan orang yang berilmu adalah dengan mengajarkan ilmunya, serta mengamalkannya sesuai ilmu yang dia miliki. Demikian pula dengan syukur para petani, pedagang, sopir dan segala corak kehidupan yang dijalani manusia memiliki ungkapan yang berbeda-beda.
Maka, rasa syukur adalah penggunaan nikmat sejalan dengan untuk apa diciptakan-Nya nikmat itu bagi seorang hamba. Misalkan seorang raja yang memberi hamba sahayanya seekor kuda dengan segala keperluannya, maka mensyukuri nikmat itu adalah dengan menaiki dan menggunakannya dijalan yang ditetapkan baginya, yakni jalan yang di ridloi oleh sang Raja. Jika ia menaikinya untuk menjauhi sang Raja dan dan digunakan dijalan yang tidak disukainya, maka hal itu adalah kebodohan dan mengingkari nikmat.
Dengan mensyukuri nikmat berarti membuka jalan bagi datangnya pemberian Tuhan dan balasan bagi mereka yang ingkar akan nikmat Tuhan, adalah siksaNya yang pedih.: Jika kamu sekalian bersyukur maka Aku akan memberikan tambahan kenikmatan kepada kamu sekalian, dan jika kamu sekalian ingkar sesungguhnya siksa-Ku amatlah pedih. (Q.S. Ibrahim:7 ) Namun, mengapakah sedikit sekali orang yang mau bersyukur, sebagai- mana firman Allah : Dan sedikit saja dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur (Q.S. Saba’:13). Padahal, dengan mensyukuri nikmat Allah berarti kita mengingat-Nya dan bila kita ingat kepada-Nya, maka Dia akan mengingat kita.(Q.S.Al-Baqarah:152). Sedangkan “Sesungguhnya dzikrullah (mengingat Allah) adalah sesuaatu yang maha besar” (Q.S. Al-Ankabut:45). Semoga kita menjadi para hamba yang mau mensyukuri nikmat Tuhan. Amien.

Minggu, 22 Maret 2009

KONSEP PEMIKIRAN ISLAM DAN CINA TENTANG TEOLOGI

Pendahuluan
Setiap tradisi pemikiran, biasa didapati pula didalamnya pembahasan tentang Kosmologi yang merupakan salah satu cabang dari ilmu metafisika dalam filsafat yang menyelidiki keberadaan alam semesta sebagai sistem yang beraturan. (Kamus besar Bahasa Indonesia, 1992).
Dalam tradisi pemikiran Cina, alam semesta[kosmos] dilukiskan dalam batasan-batasan kerangka Yin dan Yang yang bisa dipahami sebagai prinsip-prinsip eksistensi yang bersifat aktif (Pria) atau Yang dan prinsip yang bersifat pasif (wanita) atau Yin.
Yin dan Yang saling mengisi, merangkul satu sama lain dalam keselarasan dan keterpaduan yang menghasilkan segala apa yang ada dialam semesta (kosmos). Simbul keterpaduan antara prinsip Yin dan Yang digambarkan sebagai Tai Chi atau Tao, yang melukiskan kedua prinsip tersebut sebagai gerakan dan perubahan yang konstan. Dalam fenomena tertentu, hubungan antara Yin dan Yang terus-menerus berubah sebagaimana digambarkan oleh kata-kata Confusius : “Bagaikan sebuah sungai yang mengalir, seluruh alam semesta terus-menerus mengalir siang-malam”.
Perubahan atau “I” adalah proses dimana langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada diantara keduanya diciptakan dan diciptakan kembali. Yin dan Yang adalah prinsip-prinsip bagi perubahan itu dan menjadi simbol bagi seluruh gerakan di alam semesta. Ketika matahari terbit (Yang), maka rembulan pun tenggelam (Yin); tatkala musim kemarau tiba (Yang), maka musim penghujan pun beranjak pergi (Yin).
Eksistensi, dalam pandangan tradisi pemikiran Cina, berarti perubahan harmonis yang berpijak pada Tao. Jika harmoni antara Yin dan Yang hilang, maka alam semesta pun akan berhenti mengalir dan tak bakal ada sesuatu. Dalam hal ini ajaran-ajaran dasar kosmologi Cina sangat menekankan pentingnya konsep tentang “Harmoni dan keseimbangan antara dua prinsip eksistensi, Aktif(Yang) dan Pasif (Yin)”. Penjelasan tentang ajaran Tao ini dapat anda temui dengan jelas dan gamblang dalam sebuah kitab pemikiran Cina, I Ching.
Sementara itu, sebagian besar konsep kosmologi Islam juga bertumpu pada konsep “Komplementaritas”,(mengakui adanya sifat saling melengkapi), dan “Polaritas” (memperhatikan dua prinsip yang saling berlawanan) antara prinsip -prinsip aktif dan reseptif. Hanya saja, kaum bijak muslim (para filsuf atau Hukama’, bentuk jama’ dari Hakim, yang berarti orang yang bijaksana) menggunakan bentuk terminologi atau tata istilah yang tidak lazim sehingga membutuhkan penalaran dan analisis yang lebih mendalam sebelum menguraikan kedua prinsip tersebut secara jelas dan gamblang.

Konsep Pemikiran Islam dan Cina TentangTeologi
Sebelum membahas pada inti permasalahan, terlebih dahulu kita kembali pada bagaimana bentuk/corak pemikiran dan praktek Islam tentang teologi. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa pemikiran dan praktek Islam dimulai dari Allah..
Ada dua prinsip yang paling mendasar dan utama dalam memahami ajaran teologi Islam. Pertama, Rukun Islam yang pertama adalah pernyataan secara lisan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Pesuruh Allah.” Kedua,Imam kepada Allah menjadi rukun Islam nomor wahid.
Dengan demikian, definisi kedua prinsip yang paling mendasar dan asasi tersebut adalah pernyataan dan keyakinan atas ketauhidan Allah sebagaimana disebutkan dalam hadits yang disuguhkan oleh imam Bukhori pada bab Tawhid :


“….Allah ada dan tidak ada sesuatupun selain Dia….”


“….Allah ada dan tidak ada sesuatupun sebelum Dia….”
“Pada mulanya, di jaman azali, yang ada hanyalah Allah..” Demikian para ahli Kalam berkata. Akan tetapi, Dia yang maha Agung sama sekali tidak terdefinisikan sebab tidak ada satu wujud pun yang dapat memperlihatkan sifat-sifat dan kualitas individual dalam Dzat yang tak terbedakan. Hal senada telah diungkapkan pula oleh tradisi Cina yang menuturkan kepada kita bahwa sebelum Yin dan Yang berada, sudah ada Tai Chi atau “Puncak Agung” yang sama sekali tak terdefinisikan dan merupakan kualitas purba (Primordial) dari segala sesuatu dan menjadi sumber dari jagad raya (kosmos). Yin dan Yang adalah “Dua Kekuatan Utama” sebagaimana dikatakan Confucius :
“Senantiasa ada Tai Chi dalam perubahan. Perubahan melahirkan dua kekuatan utama. Dua kekuatan utama melahirkan empat citra, dan empat citra melahirkan delapan trigram…”(Ta Chuan 11.5 ; Lihat juga I Ching 315).
Dalam teologi, ada dua konsep dasar yang dikembangkan oleh tradisi Islam, yakni konsep “ke-tidak terbandingan Allah Azza Wa Jalla” dan konsep “Keserupaan-Nya (Tasybih)”
Konsep “Ke-Tidak terbandingan Allah” memiliki dasar pijakan dari beberapa nash al-Qur’an sebagaimana telah dituangkan dalam beberapat ayat, diantaranya dalam firman Allah :


“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. (Q.S.42:11)
Ungkapan yang lebih jelas lagi tentang hal ini dapat kita simak dari firman Allah :


“Segala puji bagi Allah, Tuhan yang tidak terjangkau, jauh dari segala apa yang mereka sifatkan”.(Q.S.37:180).
Berdasarkan dalil-dalil nash tersebut, dapat dipahami bahwa Allah adalah Dzat yang Unik, yang tidak terbagi, merupakan realitas impersonal yang berada jauh diluar jangkauan manusia dan makhluk. Konsep ini selaras dengan konsep Tai Chi dalam tradisi pemikiran Cina (Taoisme) dan ia pun tumbuh menjadi salah satu madzhab pemikiran ortodoks dalam Islam yang diwakili oleh para Teolog Dogmatis, yakni kaum salaf, ahlul Hadits, dan para pendukung Kalam.
Berbeda dengan konsep tersebut, timbul pula suatu madzhab pemikiran baru yang beranggapan bahwa semestinya dalam kualitas tertentu, dengan meminjam istilah teologis, Tuhan haruslah dapat diserupakan (Tasybih) sejauh hal tertentu dengan Makhluk-Nya. Madzhab pemikiran ini diwakili oleh ibn ‘Arabi, sebagian filsuf dan pengikut mistikisme.
Ibnul ‘Arabi memberikan kritik dalam pendapatnya dengan menyatakan bahwa Tuhannya para Teolog adalah Tuhan yang tidak mungkin dan mustahil untuk dicintai karena DIA terlalu jauh dan tidak dapat dipahami. Akan tetapi Tuhannya al-Qur’an, Nabi dan otoritas spiritual ainnya adalah Tuhan yang benar-benar bisa dicintai karena DIA begitu memperhatikan makhluk-makhluk-Nya. Tuhan yang penuh kasih sayang dan cinta ini bisa dimengerti dan dipahami. Karenanya, sejauh hal tertentu dengan makhluknya, DIA dapat diserupakan (Tasybih). Kita bisa dengan tepat mengetahui dan mengenal diri-Nya dalam sifat-sifat manusia. Inilah pandangan tentang keberadaan Tuhan dalam segala sesuatu yang juga jelas-jelas didukung pula oleh nash al-Qur’an seperti firman Allah :


“Kemanapun kamu menghadapkan wajahmu, disitulah wajah Allah.”
(Q.S. 2:115)


“Kami lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya sendiri”..
(Q.S. 50:16).
Dalam pandangan ini, Allah adalah Tuhan yang personal. Inilah konsep daripada prinsip “Keserupaan Tuhan (Tasybih)”
Terlepas dari pertentangan yang terjadi antar kedua madzhab pemikiran dalam teologi Islam sebagaimana penulis paparkan diatas, pada dasarnya pemikiran Islam tentang Tuhan berpusat pada nama-nama atau sifat-sifat Allah yang diwahyukan dalam al-Qur’an, yaitu sebanyak 99 nama Allah yang kita kenal dengan sebutan “Al-Asma’ al-Husna”. Dan dari dua perspektif dasar inilah—yakni asma’ dan sifat Allah--, kedua konsep dasar pemikiran tersebut disandarkan dimana masing-masing konsep, baik “Ketidak terbandingan” dan “Keserupaan” Tuhan dikaitkan dengan nama-nama dan sifat tertentu.
Konsep “Ketidak terbandingan Allah” mengingatkan kita pada asma’-asma’ Tuhan seperti al-Qowiyyu (Maha Kuat), al-Jabbar(Maha Pemaksar), al-Qohhar(Maha Perkasa), al-Kholiq(Maha Pencipta) dan sifat-sifat serupa yang hadits Nabi menyebutnya sebagai sifat-sifat Allah “Al-Jalal” (Sifat Keagungan) ,dimana menurut tradisi pemikiran Cina, analog dengan prinsip “nama-nama Yang” dalam kosmologi Tao karena menekankan keagungan, kebesaran, kekuasaan, kendali dan maskulinitas (sifat Pria).
Sebaliknya, konsep “Keserupaan Allah (Tasybih)” mengingatkan kita kepada asma’-asma’ Allah al-Rahman(Maha Pengasih), al-Rahim(Maha Penyayang), al-Lathif(Maha Lembut), al-Ghofur(Maha Pemaaf), al-Hayyu(Maha Pemberi Hidup) dan sifat-sifat serupa sebagaimana hadits Nabi menyebutnya sebagai sifat-sifat Allah “al-Jalal”(Sifat Keindahan) yang dapat dianalogkan dengan prinsip “nama-nama Yin” dalam kosmologi Tao karena menekankan kepasrahan kepada kehendak dan keinginan pihak lain, kelembutan, penerimaan, reseptivitas, dan feminimitas (sifat Wanita).
Kedua perspektif teologi dasar ini membentuk dua kutub pemikiran dalam Islam. Konsep “Ke-tidak terbandingan Tuhan” menempati kutub negatif dalam perspektif teologi dan konsep “Keserupaan Tuhan (Tasybih)” menempati posisi sebaliknya. Tidak ada kalah dan menang dalam hal ini. Karena tanpa adanya hubungan relasional antara kedua sifat Allah, yakni sifat-sifat al-Jalal dan al-Jamal--maka mustahil tercapai makna kesempurnaan bagi Tuhan (al-Kamal).Karena itulah, baik teologi negatif maupun positif keduanya diperlukan untuk melahirkan pemahaman yang benar tentang realitas Ilahi analog dengan penekanan Confucianisme pada unsur Yang dan penitik-beratan Taoisme padan unsur Yin.
Dualitas alam semesta (kosmos) dan poralitas antara dua hal, seperti siang dan malam, panas dan dingin, halus dan kasar pada hakekatnya terkait pada realitas Maha tunggal yang menjadi sumber segala sesuatu, yaitu ,Allah Azza Wa Jalla (dalam tradisi pemikiran dan teologi Islam) atau Tai Chi (dalam tradisi pemikiran Cina).

P e n u t u p
Konsep pemikiran Cina, yakni Taoisme dan Confucianisme, memandang alam semesta sebagai suatu hasil perubahan yang harmoni antara prinsip-prinsip Aktif(Yang) dan reseptif(Yin). Kedua prinsip tersebut adalah merupakan realitas-realitas turunan dari Realitas tunggal tanpa bentuk, unik, tak terdefinisi yang disebut Tai Chi atau Tao. Pemahaman Islam terhadap alam semesta[Kosmos] adalah kembali dan berawal dari Allah. Dia yang Maha Pencipta telah menghadirkan kosmos dari ketiadaannya.
Proses pencptaan kosmos diyakini oleh tradisi pemikiran Cina sebagai hasil dari perubahan harmonis dari prinsip-prinsip “Yin” dan “Yang”, dua prinsip utama realitas turunan yang saling bertentangan. Kosmologi Islam pun mengenal adanya konsep komplementaritas dan polaritas antara dua hal.. Segala sesuatu telah diciptakan berpasang-pasangan.
Pemahaman tentang bagaimana alam semesta ini tercipta memiliki pengaruh pada pembahasan masalah teologi dan bagaimana seharusnya kita mengimaninya. Disini, tampak pula adanya polaritas yang terjadi antar dua buah madzhab pemikiran yang berkembang, yakni didalam tradisi Islam antara konsep “Ketak-terbandingan Tuhan” dan “Keserupaan-Nya(Tasybih)”, dan dalam tradisi Cina, antara penekanan Confucius pada Yang dan penitik-beratan Taoisme pada Yin, yang pada hakekatnya kedua hal tersebut merupakan bagian / sisi komplementaritas dari Realitas sempurna.
Dalam kedua pemikiran diatas, nampak adanya kesamaan konsep tentang dualisme Realitas primordial dari segala sesuatu. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa antara corak pemikiran Islam dan Cina, dalam kapasitas tertentu, memiliki kesamaan, khususnya berkaitan dengan konsep kosmologi yang berpengaruh pada pemikiran-pemikiran teologi..
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhori, Abu Abdillah bin Ismail. Shohih Bukhori. Haramain, tt.
Affifi, A. E. . A Mistical Philosopy of Muhyiddin Ibnul Arabi. Penterjemah Syahril Nawi dan Nandi Rahman. Filsafat Mistik Ibnu ‘Arabi. Gaya Media Pratama. Jakarta: tt.
Murata, Sachiko. The Tao of Islam : A Sourcebook of Gender in Islamic Thought. Penterjemah: Rahman Astuti dan M. Nasrullah. The Tao of Islam : Kitab Rujukan tentang relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam. Mizan. Jakarta: 1996.
Smith, Houston. The Relegions of Man Penterjemah : Safroedin Bahri. Agama-agama Manusia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: 1995.
AJARAN JAWA TENTANG HUBUNGAN MANUSIA, TUHAN DAN ALAM


1. Pendahuluan
Pada dasarnya, semenjak awal bangsa jawa, khususnya yang tinggal didaerah pedalaman dan hidup bercocok tanam, telah memiliki suatu kepercayaan tertentu yang bersifat khas. Bentuk kepercayaan telah berlaku, dalam komunitas jawa, secara turun-temurun jauh sebelum kedatangan agama hindu dan budha. Sistem kepercayaan ini selanjutnyaoleh penulis diistilahkan sebagai agama Jawa.
Agama jawa ini banyak disalah artikan oleh sebagian besar peneliti sejarah dengan menyamakannya dengan kepercayaan dinamisme dan animisme. Hal ini kiranya patut untuk mendapatkan koreksi, sebab dalam komunitas jawa, baik ajaran animisme maupun dinamisme tidaklah dikenal.[1]
Dalam kesempatan ini penulis berkeinginan untuk mengangkat topik seputar tema sentral ajaran agama jawa berkenaan dengan kepercayaan terhadap Tuhan, serta hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta (kosmos). Yang menurut hemat penulis menarik untuk disimak.

2. Ajaran tentang kekuasaan Adikodrati
Orang jawa semenjak awal bukanlah penganut ajarn animisme ataupun dinamisme. Mereka memiliki sietem kepercayaan tersendiri yang mengakui adanya zat adikodrati yang berkuasa dan mengendalikan seluruh kosmos [Tuhan]. Mereka biasa menyebutnya dengan Gusti Sang murben Dumadi. Masyarakat jawa mempercayai adanya hubungan yang harmonis dalam kosmos. Alam semesta sudah diciptakan dalam keadaan tertata secara harmonis sebagaimana apa adanya. Mereka pun yakin bahwa kita bukanlah penghuni satu-satunya didunia ini. Ada alam lain di luar kehidupan kita yang disebut alam ghaib [alam alus] yang dihuni oleh makhluk-makhluk dengan kekuatan adikodrati dimana mereka mampu mempengaruhi kondisi alam manusia [alam kasar]. Oleh karena itu didalam menjalani kehidupan kita dituntut untuk menempatkan diri sesuai dengan tatanan yang telah ditentukan dalam keselarasan kosmos sebagaimana diungkapkan oleh Niels Mulder:”Kosmos, termasuk kehidupan, benda-benda, peristiwa-peristiwa di dunia, merupakan suatu kesatuan yang terkoodinasi dan teratur, suatu kesatuan eksistensi dimana setiap gejala, material dan spiritual memiliki ari melebihi apa yang tampak[2]. Masyarakat dan alam disatu pihak berhubungan dengan alam adikodrati dilain pihak seperti sebelah luar dengan sebelah dalam. Apa yang terjadi disebelah realitsa yang satu mempunyai kecocokannya disebelah satunya. Oleh karena itu manusia tidak boleh bertindak gegabah seakan-akan masalahnya hanya terbatas pada dimensi sosial dan amaliah. Dalam tindak tanduknya ia harus bersikap sedemikian rupa sehingga tidak bertabrakan dengan pelbagai roh dan kekuatan-kekuatan halus.[3]

3. Ajaran tentang hubungan Manusia dengan Tuhan
Inti daripada ajaran agama jawa tentang hubungan relasional antara manusia dengan Tuhan tertuang dalam konsep ajaran mistik tentang Kawruh Sankan Paraning Dumadi, yakni suatu ajaran mistikisme jawa tentang hakekat darimana kita berasal [sangkan] dan kemanakah kita akan pergi sesudah mati[paran].
Inti ajaran mistikisme jawa ini adalah manusia harus dapat mencapai kesempurnaan hidup yang berarti mencapai dasar realitas yang paling dalam. Namun, pengertian akan hakekat sangkan-paraning dumadi ini hanya dapat dicapai manakala manusia menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan serta bersedia melawan segala godaan alam luar, dan bahkan rela mempertaruhkan nyawanya sebagaimana digambarkan oleh Bima dalam lakon Dewaruci. Lakon ini mengisahkan bagaimana Bima, saudara ke-dua dari lima kakak-beradik pandawa dalam cerita epos Mahabarata menemukan air hidup yang merupakan perlambang mengenai proses pencapaian kesempurnaan hidup dalam ajaran mistikisme jawa.
Untuk mempertegas pemahaman terhadap konsep ajaran agama jawa tentang realitas hubungan antara manusia dan Tuhan, kiranya perlu sekali menyimak isi cerita lakon Dewaruci. Dalam lakon tersebut diceritakan bahwa :
“Dalam langkah persiapan perang Bratayudha, lawan-lawan pandawa, para Kurawa, berusaha menyingkirkan Bima. Demi tujuan itu Durna, bekas guru Bima dan sekarang menjadi pemimpin ruhani para Kurawa, memerintahkan Bima untuk mencari air hidup yang terdapat didalam gua Condromuka disebuah hutan yang jauh. Tanpa menghiraukan bahaya-bahaya serta peringatan adik-adiknya yang mencurigai perintah itu, Bima berangkat. Sampai ditujuan ia membongkar pohon-pohon serta merusak seluruh hutan untuk mencari air itu. Dengan demikian, ia menimbulkan kemarahan dua raksasa yang tinggal disitu. Sesudah suatu perkelahian yang hebat, Bima berhasil membunuh kedua-duanya; dengan demikian ia sekaligus membatalkan kutukan yang sudah ditimpakan atas mereka oleh Betara Guru. Mereka kembali ke wujud mereka yang sebenarnya sebagai dewa Indra dan Bayu, dan dengan rasa terima kasih memberi tahu Bima bahwa air itu tidak dapat ditemukan dalam hutan ini.
Bima kembali kepada Durna yang sekarang menjelaskan bahwa air itu terdapat didasar samudera. Walaupun Bima sendiri mulai curiga namun ia bertekad mencari air hidup itu meskipun harus dibayar dengan nyawanya. Ratapan kakak-adiknya tidak dihiraukan. Ia berangkat lagi. Perjalanannya panjang. Sampai dipinggir samudera ia menceburkan diri penuh keberanian dalam gelombang-gelombang yang menggemuruh. Sampai ketengah laut yang dalam, ia diserang oleh naga raksasa, Nembuwana.Tetapi ia disobek-sobek Bima dengan kuku keramat pancanaka. Bima merasa lelah dan membiarkan dirinya didorong kesana-kemari oleh ombak samudera. Keadaan menjadi sepi.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul wujud kecil yang persis mirip dengan Bima sendiri. Wujud itu memperkenalkan diri sebagai Dewaruci, sebagai penjelmaan yang maha Kuasa sendiri. Ia mengajak Bima memasukli batinnya sendiri melalui telinga kirinya, walaupun Bima merasa ragu-ragu namun ia taat. Tanpa kesulitan, ia memasukkan tubuhnya yang besar kedalam batin Dewaruci.Semua ia menemukan dirinya dalam kekosongan tanpa batas dan kehilangan segala orientasi. Namun, beberapa saat kemudian, ia dapat melihat kembali matahari, tanah, gunung dan laut. Ia mengerti bahwa dalam tubuh kecil Dewaruci seluruh alam luar termuat secara terbalik [jagad walikan]. Ia melihat empat warna, tiga daripadanya yaitu merah, kuning, dan hitam melambangkan nafsu-nafsu berbahaya yang harus dijauhi, sedangkan warna ke-empat, putih melambangkan ketenangan hati. Ia melihat boneka gading kecil yang melambangkan pramana, prinsip hidup Ilahi yang berada didalam dirinya sendiri serta memberi hidup. Bima menyadari bahwa hakekatnya yang paling mendalam adalah manunggal dengan Ilahi. Dalam kesadaran itu, Bima mencapai “Kesatuan Hamba dan Tuhan”. Kesatuan mausia dengan Ilahi : dua-duanya adalah satu yang tak terpisahkan.

Dengan mencapai dimensi realitas hidup yang terdalam, Bima menjadi penguasa atas seluruh bumi : Seluruh alam semesta tertampung olehnya, tidak ada lagi yang bisa dipelajari, “Dalam kehidupannya ia telah mati” dan “Ia hidup dalam kematiannya”. Dengan kekuatan yang tak terkalahkan, Bima meninggalkan Dewaruci. Dalam ketentraman batin, ia pulang kepada kakak-adiknya yang sangat gembira. Dengan seksama ia menyembunyikan apa yang terjadi padanya sambil memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditugaskan kepadanya.
Dari kisah tersebut dapat diambil beberapa pengertian. Bahwa manusia harus sampai pada sumber air hidupnya bilamana ia ingin mencapai kesempurnaan, yang berarti sampai pula pada pemahaman akan realitas yang paling dalam. Letak sumber air hidup itu tidak berada di dunia luar, melainkan dalam diri pribadi manusia itu sendiri. Gambaran sosok Dewaruci yang mirip dengan Bima menunjukkan bahwa Dewaruci sebenarnya bukan sesuatu yang asing, melainkan batin Bima sendiri. Begitu juga kekerdilkan Dewaruci melambangkan kenyataan bahwa alam batin semula dipandang tidak berarti dibandingkan dunia luar. Adapun kedewaan Dewaruci melambangkan apa yang segera dimengerti oleh Bima, yaitu ia pada dasar eksistensinya yang paling dalam berkudrat Ilahi. Sesudah memasuki batinnya sendiri Bima teringat bahwa pada dasar hakikatnya ia berasal usul Ilahi. Dalam ingatan itu ia kembali menghayati kesatuan hakikinya dengan asal-usul Ilahi itu, yakni keatuan hamba-Tuhan [Pamore Kawula-Gusti] melalui kesatuan itulah manusia mencari apa yang oleh orang jawa disebut Kawruh Sangkan-Paraning Dumadi. Inilah hakekat inti dan spekulasi mistik jawa.[4]
Keadaan diatas hanya dapat dicapai oleh orang-orang yeng bertekad menjadikan hal tersebut sebagai satu-satunya tujuan serta bersedia untuk melawan godaan dari luar, bahkan mempertaruhkan nyawanya. Manusia semacam ini telah mati bagi alam luar dan mencapai hidup yang benar, yang dalam ajaran mistis jawa, disebut sebagai kesatuan antara “Mati sak jeroning Urip [mati dalam hidup] dan “Urip sak jeroning mati’ [hidup dalam kematian]. Akan tetapi walaupun demikian ia tetap harus melakukan kewajiban-kewajibannya dalam dunia yang telAh digariskan oleh nasib.

4. Ajaran tentang hubungan antar manusia
Ajaran manusia tentang hubungan manusia dengan sesamanya bertolak pada dua kaidah yang menjadi falsafah hidup dan dasar dari sikap moral masyarakat jawa. Kedua kaidah dasar tersebut adalah :
- Prinsip Rukun,
- Prinsip Hormat
Prinsip rukun yang berlaku dalam masyarakat jawa berpijak pada kepercayaan akan “Serba keteraturan alam semesta [kosmos]”. Dunia dan seisinya telah diciptakan dalam suatu tatanan yang harmonis sehingga manusia, sebagai bagian dari kosmos dituntut untuk menjaga keteraturan tersebut agar tidak menimbulkan ekses-ekses negatif dan bahaya. Ia harus menempatkan dirinya sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan keselarasan kosmos. Karena itulah didalam masyarakat jawa berkembang tradisi “Slametan” yang biasanya dihadiri oleh beberapa orang tetangga dengan jamuan ala kadarnya. Maksud daripada tradisi slamten ini adalah semacam perlambang yang digunakan oleh masyarakat bahwa dikalangan mereka tidak terjadi konflik, kericuhan ataupun pertentangan kehendak. Tradisi slamten menunjukkan bahwa mereka hidup berdampingan dengan rukun dan guyup, merasa senasib sepenanggungan, tentrem dan aman. Dimana dengan upacara slametan ini mereka berusaha memulihkankerukunan—manakala sebelumnya pernah terjadi konflik-konflik, agar sesuai dengan keselarasan kosmos. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar mereka selamat dari marabahaya dan terhindar dari gangguan alam ghaib [alam alus] karena mereka percaya bahwa dengan terjalinnya kebersamaan dan kerukunan dalam masyarakat, maka makhluk-makhluk di alam ghaib pun turut menjadi senang, keadaannya teratur dan nyaman. Disinilah makna hubungan korespondensi antara dua alam, alam kasar dan alam alus. Terkadang masyarakat jawa menyempatkan diri untuk memberi sesaji, biasanya terdiri dari berbagai jajan pasar, kepala binatang sembelihan, dan bunga ditempat-tempat tertentu, --seperti punden, kuburan atau pohon besar yang dipercaya dihuni oleh makhluk halus [Dahnyang]. Sungguhpun demikian, pemberian sesaji yang mereka lakukan bukanlah sebagai suatu bentuk pemujaan atau menjadikannya sesembahan, melainkan hanya sebatas ungkapan rasa terima kasih dan imbal jasa atas bantuannya dalam menjaga ketentraman dan keamanan derah tempat mereka tinggal dari gangguan penyakit dan marabahaya. Pada saat-saat tertentu, sebuah keluarga jawa bersama dengan saudara atau anak-anaknya, biasa pergi kekuburan orang tua atau leluhurnya untuk berdo’a. Disana, mereka pun sempatkan pula untuk menyampaikan harapan dan keinginannya, lantas minta do’a restu dan bantuan kepada arwah leluhurnya agar tercapai yang dia inginkan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat jawa juga percaya bahwa mereka masih memiliki ikatan/hubungan batin dengan orang tua atau para leluhur yang telah lama mati, dimana mereka juga turut memperhatikan keselamatan dan kebahagiaan anak cucunya.
Kaidah yang kedua, adalah prinsip hormat. Prinsip ini berkaitan erat dengan penagturan perilaku dan tata karama masyarakat jawa. Bagi mereka, masing-masing anggota harus tahu posisi dan pandai menempatkan diri. Setiap orang harus bertindak dan berperilaku sesuai dengan status sosial yang mereka jalanan sebagai garis nasib. Seorang anak diharapkan bersikap santun dan unggah-ungguh terhadap orang yang lebih tua, seoarng murid hendaknya menghormati gurunya dan setiap orang seharusnya menghormati orang lain yang memiliki status sosial diatasnya. Demikian pula sebaliknya, masing-masing dituntut untuk mengembangkan sikap saling menghormati yang direalisasikan menurut kedudukannya dalam strata sosial yang ada, dengan demikian terbentuklah keselarasan kosmos. Keinginan yang berlebihan [ambisi] dalam mendapatkan sesuatu sehingga menerjang segala tatanan yang telah digariskan oleh nasib dan melanggar unggah-ungguh dianggap sebagai hal yang tidak patut [ora ilok]. Begitu juga dengan mengkritik secara kasar dan terang-terangan, mencaci-maki, menghina dan hal-hal yang rentan dalam menimbulkan konflik dianggap sebagai perbuatan yang salah karena menyalahi prinsip hormat. Hal ini dapat merusak tatanan Kosmos yang berdampak pada timbulnya kekacauan dalam kehidupan masyarakat. Begitu ketatnya nilai etika dan moral yang berlaku dalam tradisi masyarakat jawa, sehingga dalam perkembangan sejarah dan bahasa, masyarakat jawa memiliki bentuk bahasa yang amat konpleks, rumit dan bertingkat-tingkat, seperti bahasa krama inggil, krama madya, madya dan ngoko.[5]

5. Ajaran tentang hubungan manusia dengan alam
Ada sebuah curi khas yang membedakan masyarakat jawa dengan bangsa-bangsa lain yeng menganut faham animisme dan dinamisme, yakni kesadaran yang timbul sebagai konsekuensi logis dari pandangan yang meyakini bahwa mereka hidup tidak sendiri, melainkan hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk ghaib yang memiliki kekuatan adikodrati dalam sebuah keselarasan kosmos. Bila mana manusia dapat menjalin hubungan dengan mereka, maka tentunya ia dapat mengambil keuntungan dengan memanfaatkan keberadaan mereka atau mengambil kekuatan daripadanya ?
Dalam keyakinan mereka, kekuatan adikodrati itu dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan manakala mereka dapat berhubungan dengan makhluk-makhuk gaib itu dan mengumpulkan atau meminjam kekuatan adikodratinya. Dampak dari kepercayaan ini adalah timbulnya suatu tradisi, yang biasanya berkembang dikalangan para Raja dan penguasa jawa yang ingin memperbesar pengaruh kekuatan sisio-politiknya, yakni tirakat, berupa tapa brata atau lelono sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Airlangga, raja kerajaan Kediri yang naik gunung dan keluar-masuk hutan angker selama ± 20 tahun untuk memusatkan kekuatan kosmis dalam dirinya. Tirakat merupakan salah satu cara untuk memusatkan kekuatan kosmis dan memperoleh kasekten sebagaimana dinyatakan oleh Franz Magnis Suseno : “Dalam tradisi masyarakat jawa ada cara-cara memusatkan kasekten, kekuatan kosmis, dalam dirinya sendiri. Untuk itu kekuatan-kekuatan batin tidak boleh diizinkan keluar dari alam lahir. Kontrol terhadap diri sendiri perlu diperketat dan seluruh perhatian batin harus diarahkan kepada tujuan yang dicari. Disitu termasuk pelbagai usaha tapa, seperti puasa, mengurangi makan dan minum, tidur dan berpantangan seksual. Begitu juga semedi. Demi tujuan tersebut orang akan menyepi[lelono broto].Tempat-tempat yang cocok untuk semedi adalah puncak gunung, gua, dihutan dan sungai”.[6]
Bilamana seseorang telah mampu memusatkan tenaga kosmis kedalam diri dan memperoleh kasekten, maka ia akan menjadi orang yang berkuasa.
Istilah kekuasaan menurut ajaran jawa sama sekali berbeda dengan kekuasan yang dikenal dengan terjemahan bahasa Inggris Power. Kekuasaan dalam ajaran jawa mengandung ungkapan energi Ilahi yang tanpa bentuk, yang selalu kreatif meresapi seluruhkosmos. Kekuasaan bukanlah suatu gejala khas sosial yang berbeda dengan kekuatan-kekuatan alam, melainkan ungkapan kekuatan kosmis yang semacam fluidum (anasir cairan) memenuhi seluruh kosmos. Kekuasaan bersifat homogen, bersifat satu, dan sama saja dimanapun ia menampakkan diri. Jumlah kekuasaan dalam alam semesta tetap saja jumlahnya, tidak bertambah dan tidak berkurang karena identik dengan alam semesta itu sendiri, yang dapat berubah hanyalah pembagian kekuasaan dalam kosmos.[7]
Kekuasan dalam pandangan masyakarat jawa, adalah sesuatu yang keramat, yang agung, bersandar pada Tuhan sang pencipta. Kekuasaan ini hanya dapat dimiliki oleh manusia terpilih yang memiliki daya kekuatan kosmos berlebih sehingga ia mempu memegang kekuasaan yang oleh orang jawa disebut wahyu. Tradisi jawa menvisualisasikan wahyu berbentuk andaru, yang dilukiskan sepeti bola yang memancarkan cahaya biru cemerlang gemerlapan, masuk kedalam tubuh manusia yang memperoleh wahyu dari dan karena Tuhan. Namun, penempatan wahyu yang disebut juga pulung ini bukanlah bersifat permanen. Dalam kepercayaan jawa, waktu ini akan oncat keluar dari tubuh seorang penguasa manakala ia telah berbuat angkara murka, maksiat, terutama mengumbar hawa nafsu dan berbuat tidak adil.[8]
Tradisi jawa juga mengenal medium sebagai tempat dimana kekuatan kosmis terkonsentri. Temapat(wadah) itu bisa berupa makhluk hidup atau manusia. Karena itulah tak heran kalau mereka mempercayai adanya keris atau benda-benda pusaka yang dikeramatkan karena dianggap bertuah, hasil pemusatan energi kosmis yang dilakukan oleh empu-empu yang memiliki kasekten.
Dalam kasus ini, yang mereka percayai hanyalah kekuatan kosmis yang tersimpan pada benda-benda pusaka, bukan pada benda pusaka itu sendiri karena ia hanyalah suatu benda yang berfungsi sebagai medium (wadah) bagi kekuatan kosmis. Bila kekuatan kosmis itu hilang, maka nilai benda pusaka itupun tak lebih daripada sepotong besi tua yang telah hilang pamornya.

6. Kesimpulan
Dari beberapa hal yang telah diuraikan diatas, penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1. Sebelum kedatangan agama Islam, hindu dan budha, didalam masyarakat jawa telah berkembang suatu sistem kepercayaan terhadap eksistensi zat adikodrati yang menguasai kosmos. Mereka bukanlah penganut penganut faham dinamisme - animisme. Sistem kepercayaan masyarakat jawa ini dikenal juga sebagai agama jawa.
2. Dasar kepercayaan agama jawa berpijak pada keyakinan adanya hubungan yang harmonis dalam kosmos. Alam semesta sudah diciptakan dalam keadaan tertata secara harmonis sebagaimana adanya. Manusia hidup tidak sendiri, melainkan hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk ghaib yang memiliki kekuatan adikodrati dalam sebuah keselarasan kosmos dimana mereka saling mempengaruhi. Karena itu setiap bagian dituntut untuk menjaga keseimbangan kosmos.
3. Hubungan korespondensi antara manusia dan Tuhan dapat digambarkan sebagaimana lakon Dewaruci, dimana pada dasar realita yang paling dalam, diri manusia berkudrat Ilahi. Pandangan mistis jawa terangkum dalam ajarannya tentang kawruh sangkan paraning dumadi.
4. Ada dua prinsip dasar yang melandasi etika atau moralitas jawa berkenaan dengan mengaturan hubungan antar sesama, yaitu prinsip Rukun dan prinsip Hormat.
5. Ajaran jawa mempercayai adanya hubungan tak tampak, yang bersifat batiniah, antara diri manusia dengan para leluhur yang sudah lama mati.
6. Dalam traisi jawa, dikenal juga lelaku tapa [lelana brata] sebagai konsekuensi logis dari pandangan tentang hubungan manusia dengan alam[kosmos]. Laku tirakat digunakan untuk memperoleh kekuatan alam[kosmos] yang disebut kasekten, dengan menyerap dan mengkonsentrasikan energi kosmis yang datang dari ilahi dalam diri manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Suparlan, Parsudi , dalam kata pengantarnya pada Clifford Geertz , The Religion of Java; Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jaya. Jakarta. 1981.
Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Gramedia. Jakarta. 1993.
Partokusumo, Karkono Kamanjaya. Kebudayaan Jawa, Perpaduannya dengan Islam. Ikatan Penerbit Indonesia Cabang Yogyakarta. 1995.

[1] Lihat keterangan Parsudi Suparlan dalam kata pengantarnya pada Clifford Geertz , The Religion of Java; Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1981.
[2] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Gramedia, Jakarta, 1993, hal. 87.
[3] Ibid, hal. 90
[4] Magniz Suseno, Op.Cit, hal. 116-117.
[5] Keterangan selengkapnya tentang kedua prinsip—prinsip rukun dan hormat, silahkan lihat pada Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Gramedia, Jakarta: 1993, hal. 38-81.
[6] Franz Magnis Suseno, Op.Cit, hal. 104.
[7] Ibid, hal 99-100,
[8] Karkono Kamanjaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa, Perpaduannya dengan Islam, Ikatan Penerbit Indonesia Cabang Yogyakarta, 1995, hal. 200-201.

Rabu, 18 Maret 2009

SIKAP DAN PANDANGAN IMAM GHOZALI TERHADAP ILMU KALAM

P E N D A H U L U A N

Dalam khazanah intelektual Islam, nama Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghozali at-Thusi tidaklah asing dan bahkan amat diperhitungkan. Ulama besar yang mendapat gelar Hujjatul Islam ini tidak diragukan lagi telah memberikan kontribusi yang amat besar dalam membina semangat keilmuan dan dorongan berfikir kritis dalam tradisi intelektual kaum muslimin.
Pribadinya yang cerdas, kritis, dan pola pikirnya yang brilian menjadikan sosok al-Ghozali kadang tampil dengan banyak kontroversi.
Al-Ghozali yang oleh gurunya--Imam al-Juwaini—di juluki Bahr Mughriq ini adalah seorang tokoh besar dikalangan para teolog Islam, bahkan mungkin yang terbesar diantara mereka. Dia telah memperkuat pendapat-pendapat Asy’arisme dan Ahlussunnah; dan mencoba mewarnai ilmu kalam dengan sufisme, setelah dia menguasai aliran rasional dan pemikiran-pemikiran filosofis. Meskipun dia berusaha mengendalikan orang awam dari memasuki kalam (dengan karyanya al-Iljam) dan pendapatnya agar orang bersifat moderat dalam aqidah (karyanya : al-Iqtishad), dia sampai pada pemikiran-pemikiran teologi yang dalam, terinci, rasional dan filosofis. Meskipun dia mengungkapkan kerancuan para filsuf (dengan karyanya : al-Tahafut) dan telah memukul mereka dengan pukulan bertubi-tubi, namun dia membuka pintu bagi masuknya filsafat ke dalam teologi; sehingga para teolog sesudahnya—seperti an-Nasafi dalam “al-Aqa’id” dan al-Iji dalam “al-Mawaqif”—mengkaji teologi dengan mengikuti apa yang telah dilakukannya.[1]
Gambaran diatas menunjukkan kerumitan sosok al-Gozali. Beliau pun sering dihujat dan dituding sebagai penyebab kebekuan dan kemunduran tradisi Islam karena pemikiran tashawwuf-nya, dianggap sebagai orang yang plin-plan dalam berpendapat serta berbagai cibiran sinis lainnya. Namun semua itu tidaklah membuat nama mujaddid Islam yang berhasil mempertemukan dua aliran besar yang selalu berseteru, sufisme dan teologi—itu menjadi tenggelam. Semua itu dikarenakan masih kurangnya pemahaman mereka terhadap pola pikirnya secara menyeluruh.
Dalam makalah ini, penulis mencoba menguraikan sosok pribadi al-Ghozali yang penulis batasi hanya berkenaan dengan sikap dan pandangannya terhadap ilmu Kalam dimana agar mempermudah pembaca dalam mengkaji, maka penulis akan bagi dalam beberapa sub pokok bahasan, sebagai berikut :
1. Terminologi kalam
2. Materi Kalam
3. Fungsi Kalam
4. Metodologi Kalam
5. Hukum mempelajari Kalam

SIKAP DAN PANDANGAN AL GHOZALI
TERHADAP ILMU KALAM

1. Terminologi kalam
Menurut Ibnu Khaldun (w. 806 H/1406 M), ilmu Kalam didefinisikan sebagai “Ilmu yang mengandung perdebatan tentang akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional, dan penolakan terhadap ahli bid’ah yang menyeleweng dari faham salaf dan ahlussunnah”.[2]
Munculnya terminologi Kalam ini, menurut al-Ghozali dalam kitabnya Al-Munqidz, dipandang berawal dari para pemikir ilmu tauhid yang mula-mula berpegang pada ayat-ayat al-Qur’an, lalu dengan hadits-hadits Nabi Muhammad, kemudian dengan dalil-dalil rasional dan argumen-argumen silogisme dari logika filsafat seperti jauhar [substansi] dan ‘aradh [aksiden] tetapi tidak dengan pengertian semula. Para pemikir tersebut banyak berbicara tentang argumen-argumen rasional disekitar obyek-obyek material ilmu tauhid, karena itulah mereka di sebut Mutakallimun [orang-orang yang banyak berbicara]. Dari sinilah lahir istilah kalam dalam ilmu tauhid.[3]
Bagi al-Ghozali, ilmu Kalam tidaklah identik dengan ilmu Tauhid. Karena itulah di dalam Ihya’ nya, al-Ghozali menyesalkan adanya pergeseran istilah dari tauhid kepada Kalam. Tauhid yang berarti mengesakan Allah, merupakan inti akidah Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Sedangkan kalam, yang berarti perkataan, hanya merupakan cara yang banyak dipergunakan dalam membahas masalah-masalah akidah. Proses pergeseran terminologi ini bermula dari adanya sekelompok ahli dialektik dibidang akidah yang mengaku sebagi ahl al-‘Adl wa al-Tauhid [pendukung keadilan dan ke-esa-an Tuhan] sehingga mereka yang disebut sebagai Mutakallimun [ahli kalam] itu juga dianggap sebagai ulama’ tauhid. Padahal isi doktrin tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan dihayati oleh umat periode pertama [salaf] sama sekali berbeda dari pengertian kalam yang sudah diidentikkan dengan tauhid itu, malahan kalau dalam pengertian sebagai pembahasan masalah-masalah akidah dengan cara dialektis rasional merupakan suatu bentuk yang tidak dikenal, bahkan bibit pertumbuhan yang menjurus ke sana sudah ditentang oleh umat Islam periode pertama. [4] Pengertian tauhid yang dipahami umat Islam pada periode pertama tidak tertampung sepenuhnya dalam fungsi ilmu kalam. Ilmu tauhid memiliki pengertian yang jauh lebih luas daripada hanya sekedar ilmu kalam.
2. Materi Ilmu Kalam
Ilmu Kalam, menurut al-Ghozali, hanya merupakan bagian daripada ilmu tauhid yang menjadi salah satu dari dua macam ilmu syariat berkenaan dengan pokok agama [Ushuluddin]. Di dalam Risalat al-Laduniyyah, al-Ghozali menjelaskan bahwa ada tiga obyek material ilmu tauhid, yaitu
· Allah dengan segala sifat-sifat-Nya
· Kenabian dengan segala kaitannya
· Hari akhir dengan segala kandungannya,
Ketiga hal tersebut merupakan materi ilmu Tauhid yang wajib diimani dimana ilmu yang membahas pokok-pokok keimanan ini dinamakan ilmu tauhid. Sedangkan kalam, oleh al-Ghozali, dipandang hanya sebagai cara atau metode yeng banyak dipergunakan dalam membahas masalah pokok-pokok keimanan [akidah]. Jadi, ilmu tauhid adalah inti pembahasan akidah Islam sedangkan ilmu kalam merupakan metode pembahasannya.
Adanya pergeseran istilah dari tauhid kepada kalam menjadikan timbulnya kekaburan makna term tauhid dan kalam dalam pemahaman kaum muslimin sehingga banyak terjadi kekeliruan dengan menganggap antara tauhid dan kalam adalah identik. Hal ini perlu diluruskan sebab pengertian dan materi tauhid yang yakini oleh umat Islam periode pertama [salaf] tidak sepenuhnya tertampung dalam fungsi kalam sesuai dengan konsepsi al-Ghozali.
3. Fungsi Ilmu Kalam
Al-Ghozali berpendirian bahwa kalam hanya bisa digunakan untuk menghadapi tantangan terhadap akidah yang telah dianut oleh umat Islam, menghadapi ahli-ahli bid’ah yang berusaha memalingkan umat dari akidah yang benar.
Kalam tidak dapat digunakan untuk menanamkan akidah yang benar kepada umat yang belum menganutnya, apalagi untuk menuntut orang agar bisa menghayatinya.[5] Bentuk-bentuk dialektik dengan dalil-dalil rasional seperti yang digambarkan dalam karya-karya kalam tidak bisa menanamkan akidah yang benar kepada anak-anak yang baru belajar ataupun orang-orang Islam yang sehari-harinya selalu disibukkan oleh kerja atau kehidupan mereka, karena mereka merasa berat untuk bisa menyerap segala argumen yang rasional dan filosofis itu. Begitu pula kepada orang-orang yang sudah menganut paham yang mau dibantah, bentuk dialektis tersebut juga tidak bermanfaat karena akan ditolak dengan dasar fanatisme golongan.[6]
Meskipun demikian, al-Ghozali tetap mengakui pentingnya eksistensi dan tujuan ilmu kalam serta peranannya bagi masyarakat Islam, yakni membela kepercayaan relegius komunitas dengan menolak kesesatan bid’ah serta menghilangkan keraguan dan kerancuan berkenaan dengan kepercayaan itu. Dia bahkan memuji Mutakallimun dengan meng-gambarkan mereka sebagai orang-orang yang diberi ilham oleh tuhan untuk mem-perjuangkan ortodoksi dengan suatu diskusi sistematik [ kalam] yang dirancang untuk menyingkap tipu muslihat yang diperkenalkan oleh para inovator [ahli bid’ah] yang bertentangan dengan ortodoksi tradisional.[7] Ilmu ini dapat dijadikan sebagai obat terakhir terhadap penyakit akidah yang di derita orang awam yang tak bisa lagi diobati dengan cara lain[8] walaupun hal ini tidaklah mencukupi untuk mengobati penyakit yang pernah ia derita.
4. Metodologi Kalam
Sikap kritis al-Ghozali juga ditunjukkan pada metodologi yang biasa digunakan oleh Mutakallimun. Menurut al-Ghozali, mereka banyak terpengaruh oleh filsafat dalam pembahasan Kalam. Kaum Mutakallimun mengandalkan premis-premis [muqaddimat] yang mereka ambil alih dari lawan mereka [dalam hal ini adalah para filsuf] lantas mereka terima, baik dengan jalan taklid, berdasarkan ijma’ ataupun dengan penerimaan sederhana yang dijabarkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Kenyataan ini dikarenakan kurangnya perangkat metodologi yang dimiliki kalam untuk melawan para penentang intelektualnya sehingga mereka mengadopsi unsur-unsur filsafat dalam mengetengahkan argumentasi kalamnya. Dalam hal ini, sebenarnya al-Ghozali tidak menentang peminjaman premis-premis mereka oleh para Mutakallimun, akan tetapi penerimaan premis-premis mereka secara membabi buta [taklid] dengan tanpa melalui pemikiran kritis terlebih dahulu amat tidak disukai. Disamping itu, pemakaian akal dalam ilmu kalam belum dilakukan sampai batas kemampuan maksimalnya. Al-Ghozali menilai masih banyak ruang bagi pengembangan metodologi kalam yang belum tersentuh.
Selanjutnya, al-Ghozali juga memandang kaum Mutakallimun pada masanya begitu terpaku pada otoritas-otoritas pendahulunya, seperti al-Asy’ari dan al-Baqillani, sebagaimana dipaparkan dalam Faishal al-Tafriqat bain al-Islam wal Zandaqah dimana al-Ghozali mengecam mereka yang menyatakan bahwa “menyimpang dari doktrin al-Asy’ari—bahkan hanya selebar daun kurma—adalah tidak beriman [kufr] dan bahwa berbeda darinya [al-Asy’ari] sekalipun dalam soal remeh adalah sesat dan tercela”.[9]
Begitu juga penekanan Mutakallimun pada ketidak konsistenan logis dalam argumen-argumen penentangnya sebenarlah tidaklah perlu. Akan tetapi yang lebih penting bagi mereka adalah seharusnya mereka memusatkan diri pada penyangkalan atas doktrin-doktrin mendasar dari para penentangnya, jika doktrin-doktrin tersebut dianggap bid’ah.
Dalam pandangan al-Ghozali, metodologi kalam yang terdiri dari kepercayaan [iman] dan rasiosinasi itu telah dicemari oleh silogisme palsu. Ia menemukan beberapa cacat dalam pemakaian silogisme oleh para Mutakallimun dan untuk memperbaiki cacat tersebut, disusunlah beberapa karyanya tentang logika aristotelian dalam cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh seorang fuqaha’ dan teolog.
Metodologi Kalam menurut al-Ghozali memiliki keterbatasan yang inheren sebagai alat untuk mencari pengalaman spiritual secara langsung [kasyf] dan pencarian tentang sifat hakiki berbagai hal. Ilmu Kalam tidak memusatkan perhatiannya terhadap pengetahuan intuitif [kasyf] tentang realitas dan pembahasannya atas sifat hakiki berbagai hal kurang mendalam karena memang bukan merupakan tujuan ilmu itu sendiri.[10] Dengan demikian, al-Ghozali menilai bahwa Kalam sebagai suatu ilmu yang tak dapat mengungkap hakekat kebenaran obyek-obyek kepercayaannya secara tuntas sebagaimana tertera dalam Ihya’[11].
5. Hukum mempelajari Kalam
Sebelum mengemukakan pendapatnya tentang hukum mempelajari ilmu Kalam, al-Ghazali di dalam Ihya’ nya terlebih dahulu menyebutkan dua macam pendapat yang dipandangnya ekstrem (Ghulluw dan ifrath) berkenaan dengan kalam.
Pertama, golongan yang berpendapat bahwa Kalam hukumnya haram bagi kaum muslimin karena dianggap sebagai bid’ah dalam agama. Golongan ini terdiri daripada para ahli hadits, termasuk diantaranya para pendiri madzhab fiqih seperti asy-Syafi’i, Malik bin Anas, dan Ahmad ibn Hambal. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa Kalam hukumnya wajib bagi setiap muslim dan dianggap sebagai amal paling utama untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka adalah kaum Mutakallimun.
Menurut al-Ghazali, memberikan penilaian terhadap Kalam sebagai suatu hal yang tercela dalam segala situasi atau sebagai hal yang perpuji dalam setiap kondisi adalah suatu penilaian yang keliru. Dalam pandangannya, hukum mempelajari Kalam ditentukan oleh keadaan pribadi atau situasi dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat. Al-Ghozali telah menggunakan metode pendekatan fiqhiyyah dalam menentukan boleh-tidaknya mempelajari Kalam.
Menurut al-Ghazali, ada dua alasan sesuatu dianggap haram. Pertama, karena esensinya (Li Dzatihi), seperti haramnya arak (karena memabukkan) dan bangkai (karena telah mati). Kedua, karena faktor lain diluar dirinya (Li Ghoirihi) seperti haramnya jual beli pada waktu adzan sholat jum’at dikarenakan adanya mudlarat yang ditimbulkan.
Mudlarat menurut al-Ghazali ada dua macam. Pertama, mudlarat secara muthlak, baik besar maupun kecil, seperti minum racun, dan kedua, mudlarat yang timbul karena susautu yang dilakukan secara berlebihan,seperti minum madu. Mudlarat yang pertama menjadikan hukumnya haram secara muthlak, sedangkan yang kedua hukumnya adalah boleh. Dengan demikian, penentuan hukum dalam hal-hal tersebut diatas adalah bersifat kondisional, yaitu sesuai dengan kadar mudlarat yang diakibatkan.[12]
Menurut al-Ghazali, penentuan tersebut juga berlaku terhadap ilmu Kalam. Karena aspek mudlaratnya, Kalam bisa haram, tetapi karena aspek manfaatnya Kalam bisa mejadi wajib. Hal ini sesuai dengan keadaan dan kondisi obyeknya.
Mudlarat kalam bagi i’tikad yang sudah benar, menurut al-Ghazali, ada dua, yaitu : Pertama, mengesankan ketidak pastian, keraguan, menggoyahkan akidah dan melonggarkan keyakinan yang sudah mantap. Kedua; Bisa melanggengkan akidah yang bid’ah bagi penganutnya karena dengan Kalam mereka tambah fanatik terhadap akidah yang dipeluk meskipun tidak benar.
Adapun manfat Kalam menurut al-Ghazali hanya satu, yaitu mengawal akidah yang benar yang sudah menjadi i’tikad orang awam dan memeliharanya dari gangguan ahli bid’ah dengan argumen rasional-dialektis.
Dengan memperhatikan hal tersebut, al-Ghazali merinci hukum mempelajari Kalam sesuai dengan keadaan obyektif pada pribadi seseorang atau pada kondisi sosialnya. Karenanya beliau mengharamkan memberi Kalam kepada orang-orang awam, baik yang sudah berakidah dengan benar maupun yang berakidah bid’ah karena dalam hal ini akan menimbulkan mudlarat, yaitu : Pertama, bisa menggoyahkan akidah dan kedua, bisa melanggengkan kebid’ahan akidah mereka.
Dalam situasi yang lain, al-Ghozali membolehkan (bahkan mewajibkan) Kalam kepada mereka yang berakidah benar, lalu diragukan oleh argumentasi ahli bid’ah dan tidak ada jalan lain untuk menyadarkannya kecuali dengan argumentasi Kalam.
Berkenaan dengan kondisi sosial, al-Ghozali melarang Kalam diberikan kepada masyarakat yang tidak dikhawatirkan adanya gangguan dan intimidasi ahli bid’ah terhadap akidah yang benar. Akan tepai bila terjadi ke khawatiran disebabkan oleh merajalelanya ahli bid’ah disuatu negeri, maka Kalam boleh diberikan kepada anak-anak muslim sebagai benteng mereka bagi pengaruh atau intimidasi ahli bid’ah dengan materi Kalam yang disesuaikan menurut tingkat keraguan yang mungkin ditimbulkan dan kemampuan penyerapan materi tersebut.
Keberadaan ahli Kalam dalam komunitas muslim tetap muthlak diperlukan sebagai benteng pertahanan manakala ada serangan dari ahli bid’ah terhadap akidah yang benar Akan tetapi hal tersebut tidaklah berlaku segenap kaum muslimin. Al-Ghazali telah menegaskan pandangannya tentang hal ini dalam Iqtishad Fil I’tiqad dengan menegaskan bahwa hukum mempelajari Kalam adalah Fardlu Kifayah. Setiap negera harus memiliki ahli Kalam karena itu Kalam harus diajarkan secara khusus dalam rangka pengkaderan, tidak boleh diajarkan secara luas kepada masyarakat umum. Dan orang yeng berhak mendapatkan pelajaran Kalam ini adalah mereka yang memenuhi tiga persyaratan berikut :
1. Seorang yang bermental ilmu, tidak terlibat dengan segala rupa usaha yang menyibukkan,
2. Berotak cerdas, dan fasih berbicara,
3. Mempunyai karakter yang Relegius, bertakwa dan membangun..
Orang yang tidak memenuhi ketiga persyaratan diatas, sulit diharapkan bisa sukses dalam mempelajari Kalam dan berhasil menunaikan tugasnya sebagai ahli Kalam dalam masyarakat.[13]
Sementara itu didalam Iljaam al-Awwam ‘an Ilm al-Kalam, al-Ghazali melarang orang awam dari beberapa hal, seperti : Menakwilan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang dianggap mutasyabbihat, memperdalam pembahasan masalah aqidah, mempelajari argumentasi-argumentasi rasional selain dari ak-Qur’an karena dianggap sebagai bid’ah yang madzmumah (tercela) dan bertentangan dengan sunnah yang terpuji (mahmudah). Hal ini berlaku pula bagi para ulama’.
Namun mengenai kebid’ahan Kalam bagi ahlinya, al-Ghazali merincinya dengan menyatakan bilamana hal tersebut dimaksudkan untuk memukul dan membabat habis lawan. Sebab hal tersebut menyalahi sunnah ( dianggap bid’ah). Apabila dalam pertukaran pikiran (mudzakarah) mereka bersifat saling tolong-menolong dalam pembahasan terhadap sumber-sumber syariat, maka hal tersebut termasuk sunnah golongan salaf (artinya bukan bid’ah) karena para shahabat pun saling bertukar pikiran sesama mereka entang masalah Fiqih. Adapun penggunaan konsep-konsep baru dengan maksud menjelaskan hal-hal yang dibenarkan, maka hal tersebut diperbolehkan.[14]
Dari uraian diatas, ada tiga esensi pendapat al-Ghazali berkenaan dengan hukum mempelajari Kalam, yaitu :
1. Kalam tidak boleh (haram) diberikan bagi kepada orang umum (awam)
2. Kalam bisa (boleh) dimanfaatkan dalam situasi yang amat mendesak, baik untuk kepentingan pribadi maupun masyarakat.
3. Ahli Kalam tetap diperlukan dalam suatu masyarakat Islam.[15]
KESIMPULAN
Dari berbagai hal yang penulis paparkan diatas, maka dapat disimpulkan sikap dan pandangan al-Ghozali terhadap Kalam sebagaimana sebagai berikut :
1. Fungsi kalam adalah mengawal akidah Islam yang benar dari serangan ahli bid’ah dengan menggunakan dalil-dalil rasional.
2. Dalam pandangan al-Ghozali, metodologi kalam yang terdiri dari kepercayaan [iman] dan rasiosinasi itu telah dicemari oleh silogisme palsu. Ia menemukan beberapa cacat dalam pemakaian silogisme oleh para Mutakallimun dan untuk memperbaiki cacat tersebut, disusunlah beberapa karyanya tentang logika aristotelian dalam cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh seorang fuqaha’ dan teolog.
3. Al-Ghozali tetap mengakui pentingnya eksistensi kalam dan peranannya dalam masyarakat Islam, walaupun Kalam tidak dapat memuaskan kebutuhan dirinya. Kalam dapat dijadikan sebagai obat terakhir terhadap penyakit akidah yang diderita orang awam yang tidak dapat lagi diobati dengan cara lain.
4. Al-Ghazali merinci hukum mempelajari Kalam sesuai dengan keadaan obyektif pada pribadi seseorang atau pada kondisi sosialnya. Beliau mengharamkan memberi Kalam kepada orang-orang awam Dari uraian diatas, ada tiga esensi pendapat al-Ghazali berkenaan dengan hukum mempelajari Kalam, yaitu
(1). Kalam tidak boleh (haram) diberikan bagi kepada orang umum (awam),
(2). Kalam bisa (boleh) dimanfaatkan dalam situasi yang amat mendesak, baik untuk kepentingan pribadi maupun masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Al Ghozali, Ihya’al-Ulum al-Din, juz I, Darul Fikr, Bairut, 1980.
Charless Issawi, MA, An Arab Philosopy of History : Selection from the Prolegonema of Ibnu Khaldun of Tunia (1332-1406); Filsafat Ibnu Khaldun tentang Sejarah: Pilihan dari Muqaddimah karya Ibnu Khaldun dari Tunia (1332-1406), Penyalin bahasa : Dr. A. Mukti Ali, Tinta Mas, Jakarta, 1962.
DR. HM. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghozali : Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Cet. I, jogyakarta, 1996.
Osman Bakar, Hierarki Ilmu : Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Cet. I, Mizan, Bandung, 1997.

[1] Lihat Ibrahim Madkour, Fi’l falsafat al-Islamiyah, dalam Ghoazali al-Filsuf, Dar al-Ma’arif, Mesir,tt, hal 212
[2] Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah,
[3] DR. HM. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghozali : Pendekatan Metodologi, Pustaka Pelajar, Cet. I jogyakarta, 1996, hal.81.
[4] Ibid, hal. 82.
[5] Ibid, hal. 71.
[6] Ibid, hal. 73
[7] Osman Bakar, Hierarki Ilmu : Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Cet. I, Mizan, Bandung, 1997, hal 209.
[8] DR. HM. Zurkani Jahja, Op.Cit, hal 73.
[9] Osman Bakar, Op.cit, hal. 211.; Lihat pula Mc.Carthy, Freedom and Fulfillment, Boston, 1980 hal. 146.
[10] Ibid, hal. 211.
[11] Al Ghozali, Ihya’, juz I, Darul Fikr, Bairut, 1980, hal 167.; DR. HM. Zurkani jahja, Op.cit, hal. 94.
[12] Ibid, hal 167.
[13] Ibid, hal. 170-171.
[14] Dr. Zurkani Jahja, Op.Cit, hal. 93.
[15] Ibid, hal. 94.

“TAWAZZUN DALAM AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR” :

SEBAGAI KERANGKA PIKIR PARA DA’I DALAM MENGHADAPI PROBLEMATIKA KEMASYARAKATAN DI ERA GLOBALISASI

PENDAHULUAN
Sejarah dan peradaban dunia telah mencatat bahwa kedatangan Islam adalah sebagai agama Rahmatan lil-Alamin. Karakteristik Islam muncul dari dasar-dasar wahyu Ilahi, yang secara sistematik mampu memberikan implementasi bagi kehidupan sehari-hari umat manusia, baik dalam tasyri’, manhaj, nidhom, maupun dalam Ghoyatul Qushwa (tujuan utama) kehidupan.
Ke-universalitasan dan keunikan ajaran agama Islam telah mengantarkan terbentuknya sistem dan masyarakat islami yang seimbang atau tawazzun (al-washithoh)[1] antara perkara yang Tsabat ( konsisten / prinsipil ) dengan Tathawwur (transformatif / furu’ ). Sistem Islam ini mampu menyatukan keduanya dalam sebuah kombinasi yang menakjubkan dan meletakkan keduanya pada kedudukan yang proporsional; mengumpulkan pelbagai hal yang bersifat kontradiktif, seperti penyatuan antara materialisme dan spiritualisme[2], Realita dan idea, ilmu dan iman,[3] daulah dan dien, serta peradaban dan akhlak dalam komposisi yang tepat.[4]
Ajaran Islam bersifat Tsabat [konsisten] dalam hal asas, akidah, prinsip, sasaran dan tujuan, sementara bersifat murunah [luwes / transformatif] dalam hal-hal yang berkaitan dengan juz’iyyat atau furu’iyah; Tsabat dalam hal nilai-nilai dien dan akhlak, namun luwes dalam masalah keduniaan dan ilmu.[5] Dengan demikian implementasi ajaran Islam akan senantiasa berkembang dinamis seiring dengan perkembangan peradaban dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip tauhid dan akidah yang bersifat konstan.
Sementara itu, Era globalisasi adalah hasil karya budi dan daya manusia dalam meningkatkan taraf hidup dan memenuhi kebutuhan mereka. Seiring dengan perkembangan jaman dan setelah dicapainya pelbagai penemuan besar dalam dunia Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), manusia semakin melengkapi dirinya dengan peralatan yang serba modern dan canggih serta ilmu pengetahuan eksperimental dimana hal tersebut benar-benar telah mengubah ciri khas manusia dari kehidupan alaminya. Kemajuan industri dan IPTEK bersama dengan perubahan yang telah ditimbulkannya dalam segala aspek kehidupan telah meberikan kejelasan atas pelbagai ketidak pastian yang membingungkan, serta telah memecahkan pelbagai persoalan sulit yang tak terhitung jumlahnya.[6]
Era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan IPTEK, terutama di bidang teknologi komunikasi dan informatika sedemikian pesat memungkinkan berkumpulnya pelbagai orientasi hidup manusia, ideologi, dan kebudayaan seluruh bangsa di dunia tanpa melalui proses filterisasi. Faham kapitasilisme, liberalisme, materialisme dan individualisme Barat dapat dengan mudah merestrukturisasi pola pikir masyarakat dunia timur. Bahkan, ideologi komunis dan atheisme dapat menjalar dengan cepat melalui internet dan kontak-kontak yang dilakukan di dunia maya (cyberspace).Keadaan ini memiliki potensi yang amat besar bagi timbulnya pergeseran keyakinan beragama, etika, sikap sosial dan norma dalam hidup bermasyarakat yang memprihatinkan. manakala tidak diimbangi dengan upaya antisipatif dan preventif. Hal ini, tidak harus tidak, merupakan masalah yang amat signifikan dalam upaya menegakkan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” pada era global ini..

Prinsip Keadilan (Tawazzun) Sebagai Dasar Pijakan (Manhaj)
Al-Qur’an telah menandaskan bahwa sebaik-baik kaum yang dilahirkan untuk manusia adalah mereka yang menyeru kapada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah.[7] Seruan untuk melakukan amal kebajikan dengan ber-amar ma’ruf nahi munkar 8 ini merupakan manifestasi dari eksistensi manusia yang dijadikan oleh Allah dimuka bumi ini sebagai khalifah9 agar mereka memerintah dan memakmurkan dunia dibawah landasan keadilan Ilahi yang telah menjadi tujuan puncak dari tasyri’. Firman Allah swt :
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَ أَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ (الحديد: 25)
Artinya : “Sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa .bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Q.S. Al-Hadid : 25)
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَ ألاَّ تَطْغَوْا فِي الْمِيْزَانَ (الرّحمن : 7-8)
Artinya : “Dan Allah telah meninggikan langit. Dan Dia telah meletakkan mizan (keadilan) supaya kamu tidak melampaui batas tentang mizan itu.” (Q.S. Ar-Rahman : 7 - 8)
Prinsip keadilan ini mengacu pada terciptanya keseimbangan di antara dua jalan atau hal, atau antara dua arah yang saling berhadapan ataupun bertentangan dimana salah satu dari dua arah tadi tidak bisa berpengaruh dengan sendirinya dengan mengabaikan bagian yang lain, juga salah satu dari kedua hal tersebut tidak dapat mengambil hak yang lebih banyak dengan melampaui bagian yang lain, sehingga terbentuklah apa yang kita kenal dengan prinsip ta’addul atau tawazzun / washithah (keseimbangan) yang menjadi ciri masyarakat islami10 sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya :
وَكَذلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا….الآية (البقرة : 143)
Artinya : “Dan demikianlah (pula) telah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) sebagai umat yang washithah (umat yang pertengahan) [umat yang adil dan pilihan] (Q.S. al-Baqarah : 143).
Dengan berpijak pada nash-nash Qur’ani tersebut diatas, maka upaya untuk menyeru atau amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh lepas dan keluar dari prinsip keadilan [tawazzun] sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Syara’.
Implementasi Tawazzun Dalam ber-“Amar Ma’ruf Nahi Munkar”
Seruan untuk melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar memiliki implementasi yang erat sekali dengan upaya penegakkan syiar Islam demi tetap tegaknya syariat Tuhan. Berkenaan dengan tujuan penetapan tasyri’ ini, Imam al-Ghozali dalam kitabnya al- Mustashfa, menyatakan :
إِنَّ مَقْصُدَ الشَّرْعِ مِنَ الخَلْقِ خَمْسَةٌ وَهُوَ أَنْ يَحْفَظَ عَلَيْهِمْ دِيَنَهَمْ وَ نَفْسَهُم ْوَ عَقْلَهُمْ وَ نَسْلَهُمْ مَالَهُمْ ، فَكُلُّ مَا يَتَضَمَّنُ حِفْظُ هذِهِ الْأُصُوْلِ الخَمْسَةِ فَهُوَ مَصْلَحَةٌ وَ كُلُّ مَا يَفُوْتُ هذِهِ الْأُصُوْلَ فَهُوَ مَفْسَدَةٌ وَدَفْعُهَا مَصْلَحَةٌ .
“Sesungguhnya tujuan syara’ pada umat manusia itu ada lima perkara, yaitu : terpeliharanya agama mereka, jiwa mereka, akal mereka, keturunan mereka, dan harta benda. Maka setiap yang menjamin terpeliharanya kelima perkara tersebut itulah sejahtera (mashlahat). Sebaliknya apa saja yang menyebabkan lepasnya keselamatan atas lima perkara itu adalah binasa (mafsadah). Sehingga dengan demikian tujuan daripada Syara’ itu meliputi perseorangan, keluarga, masyarakat, dan manusia umum dan kelestarian alam. Maka pemeliharaan lima komponen tersebut merupakan suatu perintah yang harus dilaksanakan oleh manusia demi kesejahteraan dan kebahagiaannya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
وَابْتَغِ فِيْمَا آتَاكَ الله الدَّار َالآَخِرَةِ وَ لاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِن الدُّنْيَا وَ أَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَاد فِي الأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ (القصّص : 77)
Artinya : “Carilah dengan nikmat yang dikaruniakan Allah kepadamu untuk kehidupan akherat , dan jangan lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah kamu sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah engkau berbuat kerusakan dimuka bumi ini. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. al-Qoshshosh : 77)
Dengan demikian, upaya “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” tidak hanya diterapkan pada aspek-aspek relegius semata melainkan juga mencakup pelbagai aspek lain yang berkait erat dengan hak-hak individu, masyarakat dan juga lingkungan alam. Dengan kata lain, seruan amar ma’ruf juga memiliki implementasi yang kongkrit dalam upaya pemberantasan buta huruf, penyediaan sarana pra-sarana pendidikan dan fasilitas umum karena sebagaimana diungkap oleh sebuah kaidah ushul fiqh “ مّا لاَ يُتِمَّ إَلاَّ بِهِ فَهُوَ واَجْبٌ” (Suatu perkara yang apabila tanpanya tidaklah sempurna [suatu kewajiban], maka perkara itu pun [hukumnya] wajib! )”. Upaya Nahi munkar juga meliputi kontrol sosial yang dilakukan terhadap suguhan komersial yang disajikan dalam ragam media cetak dan audio-visual yang dianggap mampu mengerosi nilai akhlak dan etika moral generasi muda melalui pembentukan Lembaga Sensor Film (LSF) dan sejenisnya di samping upaya lain seperti pengajian dan diskusi keagamaan dan sosial untuk membendung krisis moral, sampai dengan menyingkirkan bahaya bagi orang lain walau cuma sekecil duri ditengah jalan.
Namun, amar ma’ruf nahi munkar hendaknya tidak mengabaikan pelbagai aspek, baik sosio-cultural, faktor politis, maupun kondisi geografis dan lingkungan alam. Sebab, kesalahan taktis yang ditimbulkan di dalam upaya menggiring mereka menuju petunjuk Tuhan dapat menimbulkan reaksi yang kontraproduktif dan, bahkan membuka terjadinya konfrontasi, apalagi di era Globalisasi yang kondisinya sedemikian kompleks.
Alasan bahwa penegakan nilai syariat harus dilakukan secara total dan tegas, sehingga perlu dipaksakan melalui sikap militanisme, intimidasi dan aksi teror justru akan menimbulkan persoalan baru berupa penolakan yang keras, atau bahkan ketersinggungan emosional, akibatnya tujuan utama dari penegakan tasyri’ menjadi gagal total, timbulnya instabilitas sosial di masyarakat sehingga melahirkan kesan buruk dan ragam opini destrukstif terhadap usaha pergerakan dakwah Islam pada umumnya. Oleh karena itu, kita perlu belajar psikologi dakwah dan mengenal lebih jauh kepribadian massa yang menjadi obyek dakwah Islam. Di dalam agama islam sesungguhnya telah diajarkan beberapa metode dakwah yang dapat diterapkan, yakni : bil hikmah, mauidzatul hasanah dan mujadalah11 . Sehingga jelas bahwa konfrontasi (Mujadalah) menjadi alternatif terakhir dari metode-metode menyeru kepada jalan Tuhan. Itupun masih diperintahkan dengan cara-cara yang baik (Ahsan).
Dengan bergulirnya waktu menuju era globalisasi dimana arus informasi dan telekomunikasi sudah tak terbendung timbul banyak masalah yang begitu kompleks. Mengguritanya jaringan media massa, baik elektronik, cetak maupun audio-visual dengan pelbagai informasi dan suguhan komersial yang lebih banyak bersifat destruktif terhadap perkembangan akhlak dan moral telah menunjukkan pada skala yang cukup memprihatinkan. Kita tidak mampu mencegah arus budaya yang telah mengglobal itu dengan menyetop hasil inovasi IPTEK dan budaya kita sendiri. Namun, kita pun tidak dapat berdiam diri melihat sedikit demi sedikit, keyakinan dan akhlak kaum muslimin kian hari kian keropos. Kini, kita baru tersadar akan ketertinggalan kita sebagai kaum muslimin, apalagi di negara sebesar Indonesaia dengan penduduk muslim terbesar di dunia, jika dibanding dengan masyarakat dunia barat pada umumnya. Seandainya kita telah memiliki kualitas dan sumber daya manusia yang teruji dan andal untuk hidup bersaing dengan masyarakat global yang menguasai IPTEK, maka proses pengejawantahan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” akan menjadi lebih mudah dalam pengaktualisasiannya. Namun, apakah cukup bagi kita untuk berkata sambil merenung “..andaikata, seandainya,..jika saja ..?!!” Tentu tidak !! Kita harus berpacu dengan waktu dan mengejar ketertinggalan kita yang telah lau. Kaum muslimin harus mampu mengimbangi dominasi kekuatan Barat yang berpijak pada kehandalam teknologi komunikasi dengan sajian informasi dan suguhan yang lebih bernuansa islami untuk membendung upaya pengkeroposan akidah dan akhlak manusia.
Untuk itulah perlu diupayakan peningkatan kualitas sumber daya manusia kaum muslimin dengan mengacu pada prinsip Tawazzun (al-Wasthiyah), dimana mereka bersikap tsabat (konsisten) terhadap hal-hal prinsip dalam beraqidah dan menjunjung tinggi moralitas Islam sementara berupaya terus menciptakan dinamisasi dalam pengembangan tradisi dan peradaban Islam sehingga tercapai keseimbangan aspek spiritual dan IPTEK. Dengan demikian, pengejawantahan seruan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” dalam era Globalisasi ini dapat menemukan eksistensinya.

KESIMPULAN
Untuk memahami konsep “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” terlebih dahulu diperlukan pemahaman akan eksistensi dan karakteristik Islam sebagai agama yang bersifat Rahmatan lil-Alamin.
Hal yang mengagumkan dari karakteristik Islam adalah berpijaknya ia pada ajaran universal yang didasari oleh prinsip tawazun, al-Washthiyah [tawassuth] atau prinsip keadilan [ta’addul] sehingga menjadikannya sebagai suatu sistem kepercayaan yang akomodatif, yang mampu menyelaraskan pelbagai prinsip kontradiktif dalam satu keseimbangan yang proporsional.
Dengan berpijak pada prinsip keadilan Ilahi ini, ajaran Islam menemukan formatnya dalam bersifat tsubut (konsisten) terhadap hal-hal yang bersifat fundamental dan murunah (luwes) terhadap perkembangan tradisi peradaban serta hal-hal yang bersifat juz’iyyah.
Konsep “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” seyogyanya ditempatkan dengan melihat dan berpijak pada prinsip-prinsip tawazzun / ta’addul sebagai masdhar manhajinya. Dengan demikian, bentuk pengejawantahan daripada konsep tersebut adalah untuk mengambil kesejahteraan (maslahat) dan menghindari kerusakan [mafsadah] dengan mempertimbangkan pelbagai aspek yang berkaitan dengan obyek dakwah.
Menyiasati era Globalisasi yang penuh dengan pelbagai permasalahan yang amat kompleks, sudah sepatutnya mulai diupayakan pemberdayaan sumber daya manusia dari kalangan kaum muslimin dalam menguasai Iptek, karena upaya “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” dalam konteksnya dengan era Global ini banyak terkait dengan upaya dan persaingan ketat dalam memperebutkan posisi strategis di dalam dunia tehnologi informasi dan telekomunikasi yang saat ini lebih didominasi oleh bangsa Barat.
Demikian, makalah ini telah penulis susun, dengan harapan semoga dapat memberikan manfaat bagi diri penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Amin.

-------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Imam Abu Hamid Al-Ghozali. Al-Mustashfa: Min Ilmil Ushuli. Darul Fikr. Lebanon. Tanpa Tahun.
Khadim al-Haramain asy-Syarifain. Al-Qur’an dan Terjemahan. Tanpa Tahun.
Sayyid Mujtaba’ Musavi Lari ; Psikologi Islam : Membangun kembali generasi muda. Pustaka Hidayah. Bandung: 1993.
Yusuf Qordhowi, DR. Karakteristik Islam: Kajian Analitik. Risalah Gusti..Surabaya. 1995.
Ibnu Katsir. Tafsir Qur’an al-Karim, Juz. I - III. .Bairut. Libanon. Tanpa Tahun.
[1] Q.S. Al-Baqoroh : 143.
[2] Q.S. Al Qoshshosh : 77.
[3] Q.S. Al-Mujadalah : 11.
[4] DR. Yusuf Qordhowi, Karakteristik Islam: Kajian Analitik , Risalah Gusti, Surabaya, 1995, hal.288.
[5] “Sesungguhnya aku ini berpendapat dan berprasangka. Maka janganlah hal ini engkau lakukan dengan dugaan. Kamu sekalian lebih mengerti dalam perkara duniamu (H.R. Muslim)
[6] Sayyid Mujtaba Musavi Lari, Psikologi Islam, Pustaka Hidayah, 1993, hal. 12.
[7] Q.S. Ali Imron : 110
8 Q.S. Ali Imron : 104
9 Q.S. Al Baqarah : 30
10 Dr. Yusuf Qordhowi, Ibid., hal. 241.
11 Q.S. an-Nahl :125